Teka-teki
Ruangan itu sangat mewah, sebuah ruangan putih besar dengan pilar-pilar marmer dan singgasana kayu. Di atasnya, duduk seorang pria gendut dengan rambut hitam mengkilat. Sebuah mahkota bertatahkan berlian bertengger di atas kepalanya yang kecil. Di sebelahnya, berdiri tiga orang gadis yang tampaknya adalah anak-anak perempuannya. Mereka semua punya rambut hitam mengkilat sama sepertinya dan mengenakan pakaian yang sama juga, sebuah jubah sutra biru yang sangat mewah. Pintu berderit terbuka. Dengan cepat seorang pengawal mengumumkan,
“Argus, Maharaja Kroya datang!”
Pria di singgasana tersenyum pada anak-anak perempuannya. “Aku tidak sabar untuk melihat raut mukanya.”
Argus, si Raja Tua, masuk dan menyapukan pandangan ke seluruh ruangan. Dia begitu seram dan serius sehingga membuat raja yang satu lagi, yang sedang duduk santai di atas singgasana, terlihat konyol. Jenggot lancip Argus begitu kelabu dengan rambut putih kasar mencuat tak teratur di sela-sela mahkotanya yang kuning menyilaukan. Tubuhnya kurus karena dimakan usia, tapi meski begitu kesan tegap dan galak masih melekat kuat pada dirinya. Cahaya kejam masih menari-nari di matanya yang sipit. Argus membungkuk dengan enggan kepada pria di singgasana.
“Raja Calculus, kudengar kau sudah memecahkan teka-teki kecilku?”
Calculus tersenyum.”Sama sekali tidak kecil, Argus. Lihat nilainya, kau bersedia membayar seribu batang emas bagi siapa saja yang bisa memecahkannya. Benar kan?”
Argus mengangguk. “Tentu saja.”
Dari belakang, dua orang pengawal berbadan gempal maju sambil susah payah mengangkat peti kayu besar. Mereka meletakkan peti itu di dekat kaki Calculus dan membukanya. Penuh sampai hampir tidak muat, tampak tumpukan emas yang bening berkilau. Calculus bersiul kagum.
“Kau pasti membuat kerajaanmu bangkrut demi hadiah sebanyak ini, kawanku.”
“Itu bukan urusanmu.” sahut Argus.
Calculus mengangkat bahu. “Teka-teki itu cukup sederhana sebetulnya. Salah satu penasehatku yang memecahkannya.”
“Ayah!” gadis yang tertua memperingatkan, seorang gadis yang cantik dan menarik, yang memiliki tubuh paling tinggi di antara saudara-saudaranya.
Calculus tidak menghiraukannya. “Mendekatlah, kuberi tahu jawabannya.”
Argus menunduk saat Calculus berbisik di telinganya. Matanya langsung melebar begitu mendengar jawaban yang diberikan oleh Calculus.
“B-bagaimana kau bisa tahu?” dengan gemetar Argus memandang laki-laki gendut yang ada di depannya.
“Mudah saja.” Calculus merona saking senangnya karena tahu jawabannya benar. “Apa yang berjalan dengan empat kaki di pagi hari, dua kaki di pagi hari, dan tiga kaki di malam hari? Teka-teki yang sangat gampang.”
“Pria cerdik, penasehatmu itu.” kata Argus.
“Oh memang. Dia guru anak-anakku. Pria paling pandai yang pernah kutemui.” Calculus tergelak.
Ekspresi Argus berubah dingin. “Tapi begini, emas ini hanya untuk orang yang memecahkan teka-teki. Dan hanya mungkin ada satu pria semacam itu di dunia ini. Kau menampung Galilea.”
Calculus berhenti tertawa dan bergeser tak nyaman di singgasananya yang empuk.
“Bagaimana kau bisa tahu namanya?”
“Dia bajingan!” teriak Argus. “Dia pernah bekerja di istanaku, Calculus. Dia tidur dengan istriku dan mempengaruhi adikku agar memberontak melawanku. Saat rencana busuknya gagal, dia melarikan diri. Aku terus mengejarnya selama ini.”
“Aku tidak tahu apa-apa tentang itu. Tak kukira dia ternyata seperti itu. Tapi Galilea sangat berguna, dia sangat pintar.” Calculus mencoba membela.
“Aku menawarimu pilihan,” kata Argus. “Serahkan buronan itu padaku, dan emas ini jadi milikmu. Atau ambil resiko menjadikan aku musuhmu. Kau tentu tidak menginginkan kerajaan kecilmu ini berperang dengan Kroya bukan?”
Calculus memucat. Laki-laki itu kelihatan begitu ketakutan di tengah-tengah ruang singgasananya sendiri. Bisa saja dia memanggil pasukan untuk menangkap Argus, tapi akibatnya akan fatal, kerajaan dan rakyatnya akan musnah diserang oleh Kroya. Dan dia tidak mau itu terjadi. Jadi Calculus cuma duduk saja di atas singgasananya sambil berkeringat dingin.
“Ayah?” anak perempuanya yang tertua berkata, “Ayah tidak bisa…”
“Diam, Aelia.” Calculus memilin jenggot keritingnya. Dilihatnya lagi emas yang berkilauan di bawah kakinya. ”Ini tidak benar, Argus. Tapi tidak ada lagi yang bisa kulakukan.”
Argus tersenyum, “Aku yakin kau akan bersikap bijaksana.”
Calculus mengangguk. “Baiklah, kau akan mendapatkan pria itu. Sebentar lagi pengawalku akan membawanya kesini.”
“Ayah!” lagi-lagi Aelia berkata. Kali ini sambil memegang pundak ayahnya. “Teganya…” tapi isyarat mata dari dua saudaranya membuatnya urung untuk mengutarakan maksud. Cepat gadis itu mengubah nada suaranya dan berkata lebih manis, “Hmm, p-paling tidak biarkan kami menjamu tamu kita terlebih dahulu. Setelah perjalanannya panjangnya, beliau semestinya diberi mandi air panas. Saya akan merasa terhormat untuk menyiapkan mandi beliau sendiri.” Sambil berkata, Aelia mengangkat sedikit jubahnya, memperlihatkan pahanya yang putih mulus.
Sang Raja Tua menggeram, “Kurasa mandi tidak ada salahnya.”
Dia tersenyum mesum sambil membayangkan tubuh mulus Aelia yang menggelinjang nakal dalam pelukannya. Tujuan utamanya kesini segera terlupakan.
“Ya, boleh juga. Kalian semua, layani raja Argus dengan baik.” Calculus menyuruh semua putrinya, bukan cuma Aelia.
Argus tersenyum makin lebar melihat tiga orang bidadari turun mendekati dirinya.
“Ke arah sini, Tuan.” kata Aelia. Dengan mesra, dia membimbing Argus keluar ruangan.
Di depan pintu, Argus berteriak, “Akan kujumpai kau saat makan malam, bersama tawanan yang kuminta.”
Calculus cuma mengangguk. Pria itu lebih tertarik melihat tumpukan emas di dekat kakinya daripada urusan tawan-tawanan. “Bawa ke kamar.” perintahnya pada dua orang pengawal yang berjaga di depan pintu.
Bersama saudara-saudarnya, Aelia membawa Argus ke kamar mandi yang dihiasi ubin mozaik. Uap memenuhi udara. Keran yang mengucurkan air memenuhi sebuah bak mandi besar hingga penuh. Aelia menaburkan kelopak mawar ke dalamnya. Kay, si nomor dua, menuangkan semacam sabun yang langsung berbusa begitu menyentuh air. Sementara Silena, si bungsu, membantu Argus untuk melepaskan pakaian.
“Jadi apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanya sang Raja.
“Tentu saja mandi, Tuan.” jawab Silena sambil menarik celana laki-laki itu ke bawah. Penis Argus yang mencuat keluar meloncat mengenai pipi Silena, membuat gadis cantik itu memekik kaget. “Auw!”
“Cuma mandi?” Argus memegang penisnya dan menggoyang-goyangkannya di depan Silena. “Nggak mau yang lain?” tanyanya menggoda.
Wajah Silena merona. “Kalau itu, terserah Tuan saja.”
Argus memeluk gadis itu dan mencium bibirnya ringan. “Layani aku dengan baik, ya.” Dan laki-laki itu menempelkan kepalanya di dada Silena yang bulat. Terasa padat sekali meski ukurannya tidak begitu besar.
Silena membuka jubahnya dan menyodorkan payudaranya pada laki-laki itu. Penis Argus yang ada di genggaman Silena langsung menegang saat melihatnya.
“Buah dada yang indah,” kata laki-laki itu. “Bulat, padat, dan putih mulus.” tanpa sungkan, Argus segera meremas-remasnya.
Silena diam saja ketika Argus menunduk dan menciumi payudaranya. Tapi dia agak merintih ketika beberapa kali kumis kasar Argus menggesek dan menggelitik tonjolan putingnya.
“Hisap. Hisap yang kuat.”
Silena menarik kepala laki-laki itu dan menekannya kuat pada payudaranya. Putingnya sudah terasa keras sekali. Dengan penuh nafsu Argus menjilat. Dia menghisap dan menyedot benda mungil kecoklatan itu kuat-kuat. Sesekali dia juga menggigit dan menjepitnya dengan gigi hingga membuat Selina kembali merintih keenakan.
“Tidak tertarik untuk ikut?” tanya Argus pada Aelia.
“Iya, nanti. Aku selesaikan ini dulu.” Aelia memperlihatkan wadah bunga di tangannya yang masih sisa setengah.
“Kamu?” Argus menoleh pada Kay.
Si Nomor Dua itu menggeleng.
Argus mengangkat bahu, “Yah, terserah.” Dan kembali dia meremas dan menciumi payudara Silena, bergantian kiri dan kanan.
Si Bungsu itu cuma bisa melenguh dan mendesah diperlakukan demikian. Penis Argus yang berada dalam genggamannya diremasnya kuat-kuat.
“Sudah keras.” Bisik gadis itu.
Silena kemudian menunduk dan mulai menjilatnya. Dimulai dari ujung helm hingga pangkalnya. Bahkan telornya yang keriput menggelambir tak luput dia sedot dan hisap-hisap. Silena melakukannya terus hingga benda panjang hitam itu basah oleh air liurnya.
“Besar sekali.” gumam Silena saat melihat penis itu mengembang ke ukuran yang sebenarnya. Dia membuka mulut dan dengan perlahan-lahan menelannya.
Argus yang cuma tertawa saat mendengar pujian Silena, tampak sangat menikmati sekali saat gadis itu mengulum dan menghisap penisnya. Tubuh lelaki tua itu gemetar setiap kali Silena memainkan lidahnya. Lama-lama, itu membuat Argus tak tahan. Dia mengankat tubuh Silena dan membaringkannya di lantai. Argus cuma menggunakan handuk dan jubah sebagai alas. Tak peduli dengan Aelia dan Kay yang menonton, laki-laki tua itu menindih tubuh Silena. Argus mencium bibir dan leher Silena yang jenjang. Gadis itu membalas dengan ganas hingga tak lama merekapun terlibat dalam ciuman yang panas dan dalam. Bunyi kecipak bibir yang beradu bercampur dengan desahan lirih yang penuh kenikmatan memenuhi kamar mandi mewah itu.
“Auw,” rintih Silena saat Argus kembali meremas dan menciumi buah dadanya.
Laki-laki tua itu menjilati putingnya dan menghisapnya begitu keras hingga membuat benda mungil itu merona kemerahan. Di saat Silena sudah hampir tak tahan, Argus melepaskannya. Raja tua itu kembali ke atas, menuju bibir dan leher Silena. Argus menciumi kening, pipi, hidung gadis itu. Silena sedikit menggelinjang saat lidah Argus yang kasap bermain-main menggelitik lubang telinganya. Di leher Silena juga tampak beberapa berkas merah hasil cupangan laki-laki tua itu. Argus turun dan kembali menuju buah dada Silena. Laki-laki itu seperti tidak pernah bosan untuk bermain-main dengan bulatan kembar itu. Apalagi sekarang payudara itu terlihat makin padat dan bulat. Putingnya juga makin keras, membuat Argus jadi makin ketagihan.
“Indah. Indah sekali.” kata laki-laki tua itu.
Dengan tangan masih meremas-remas, Argus turun ke bawah. Ciumannya sekarang berputar-putar di perut Silena yang ramping. Dia menjilat dan menggelitik pusar gadis itu.
“Ahh,” Silena merintih kegelian. Spontan dia mendorong kepala Argus ke bawah, menuju ke selangkangannya. Di situ lidah Argus bakal lebih berguna.
“Wow,” Raja Tua itu takjub melihat belahan kemaluan Silena.
Benda kemerahan itu nyaris bersih tanpa bulu. Gundukannya juga besar, dengan lubang yang sempit seperti perawan. Sangat menggairahkan sekali. Argus jadi tak tahan untuk segera merasakannya. Pasti rasanya bakal sangat nikmat sekali. Pelan-pelan Argus mendekatkan kepala dan menciumnya. Baunya wangi sekali. Argus membuka benda itu dengan ujung jari dan menjulurkan lidahnya.
“Auuhhh,” tubuh Silena melejit dan dia merintih saat raja tua itu mulai mengorek-orek isi vaginanya.
Gadis itu tidak pernah menyangka Argus ternyata lihai dalam melakukan oral. Laki-laki itu menggerakkan lidahnya dengan buas, mencium dan menjilati vagina Silena hingga membuat gadis muda itu merintih minta ampun.
“Sudah, Tuan. Sudah. Aku tak tahan.” Silena berusaha menarik kepala laki-laki itu. Tapi Argus tetap bergeming. Dia terus menyerang vagina Silena. Argus sudah terlanjur suka dengan vagina gadis itu. Laki-laki itu ingin menunjukkan bahwa dialah yang berkuasa sekarang.
“Uhhhh, hentikan. Sudah. Aku tak tahan.” Silena merintih makin keras. Tubuhnya melejit ke atas dengan muka merah padam menahan gairah. Dan rintihan itu makin menjadi-jadi saat Argus menemukan klitorisnya. Sedikit sentuhan saja sudah mampu membuat Silena mendesah, apalagi ini dengan lidah, sehingga akibatnya pun bisa ditebak, Silena menjerit dan merintih-rintih dengan hebat. Tubuhnya bergelung dan berputar-putar kesana-kemari.
“Hentikan, Tuan. Nanti ada yang mendengar.” Aelia memperingatkan karena melihat keadaan mulai tidak terkendali.
Argus menarik kepalanya. “Memangnya kenapa. Aku tamu angung, harus mendapatkan pelayanan yang terbaik.”
Dibentak seperti itu membuat Aelia terdiam. Tapi untunglah, Argus tidak meneruskan perbuatannya. Laki-laki itu berdiri, dan sambil memandangi tubuh telanjang Silena, dia mengurut-urut penisnya. Sepertinya dia sudah akan melakukan penetrasi. Argus meluruskan tubuh Silena dan membentangkan kaki gadis muda itu lebar-lebar. Dengan sedikit membungkuk, Argus mengarahkan penisnya ke lubang kemaluan Silena yang masih tampak tertutup rapat.
Tepat saat itulah, tiba-tiba…“Jangan, Tuan.” Aelia menahan gerakan Argus. “Lakukan denganku saja.” kata gadis itu lirih.
Argus menoleh. Dibawahnya, Silena dengan sigap segera menyingkir dan pergi menghindar. Tempatnya kini digantikan oleh Aelia, kakaknya. Gadis itu masih mengenakan jubahnya, tapi kain sutra tipis itu sudah tersingkap di bagaian bawah, memperlihatkan paha mulus dan kemaluan Aelia yang berbulu lebat.
“Kenapa?” tanya Argus keheranan.
“Silena masih perawan. Dia masih belum menikah.”
Argus mengangguk mengerti. “Kalau kamu?”
“Aku sudah. Tapi suamiku gugur di medan perang.” Aelia membuka belahan kakinya.
Argus memandangi kemaluan Aelia yang terbuka lebar di depannya. Memang terlihat sekali perbedaannya. Punya Silena tadi kelihatan masih utuh belum terjamah laki-laki. Beda dengan punya Aelia yang sedikit ‘acak-acakan’, tanda sudah pernah digunakan. Argus jadi agak malas jadinya.
“Aku ingin Silena, si Perawan.” kata Raja Tua itu memaksa.
“Tidak bisa, Tuan. Bulan depan dia menikah. Kalau sampai ketahuan tidak perawan, bisa batal pernikahannya.” jelas Aelia.
“Aku tidak peduli.” Argus tetap bersikeras.
Tahu kalau Argus tidak bisa dibujuk, Silena segera pergi dengan menyelinap diam-diam. Di saat yang sama, Aelia berusaha untuk terus meyakinkan si Raja Tua. “Coba dulu, Tuan. Tubuhku juga tidak kalah nikmatnya dengan adikku.”
“Tidak mau.” Argus sudah akan berdiri, tapi Aelia menahan tangan laki-laki itu.
“Kumohon, Tuanku.” Dan sambil berkata begitu, Aelia mencium bibir kakek tua itu dan melumatnya dengan rakus.
Argus yang awalnya berusaha untuk menolak, demi merasakan kelincahan dan kehangatan bibir Aelia, akhirnya ikut terhanyut juga. Dia pun membalas sentuhan gadis itu. Dengan penuh nafsu, Argus mencucup dan menghisap bibir Aelia yang tipis.
“Hmm, boleh juga.” gumam laki-laki itu saat bibir mereka terlepas.
Aelia cuma tersenyum mendengarnya. Gadis itu sekarang menunduk untuk menggarap penis Argus. Benda itu sudah agak turun ketegangannya. Aelia membuka mulut dan mengulumnya. Dia menghisap dan menjilati penis hitam itu hingga benda itu bangun dan menegang kembali. Ukurannya bahkan kini lebih besar karena Aelia sudah sangat ahli melakukannya. Bahkan Argus pun memujinya.
”Tidak rugi untuk ukuran orang yang sudah menikah. Nikmat sekali hisapanmu.”
“Tuan tidak kecewa kan sekarang?” tanya Aelia.
“Tergantung, apa ‘mulut’ yang ini juga sama-sama enaknya.” Argus memegang kemaluan Aelia. Benda itu terasa hangat dan basah.
“Silakan dicoba. Aku jamin Tuan tidak akan kecewa.” janji Aelia.
Argus pun mengarahkan penisnya. “Kupegang kata-katamu.” Dan bersamaaan dengan itu, sang Raja tua mendorongnya masuk.
“Auw,” Aelia merintih saat vaginanya robek oleh ketegangan penis Raja tua itu. dia berpegangan pada pinggiran bak untuk menahan rasa nikmat yang menjalari seluruh tubuhnya.
Sementara Argus tanpa ampun, terus mendorong penisnya hingga benda itu lenyap masuk seluruhnya ke dalam kemaluan Aelia. “Uhh,” laki-laki itu merintih saat merasakan penisnya dijepit erat oleh kemaluan Aelia.
“Bagaimana?” Aelia bertanya.
“Enak. Nikmat sekali.” Argus mendengus. Dan perlahan-lahan laki-laki itu mulai menggoyang pinggulnya.
Aelia merintih saat merasakan gesekan antara dinding vaginanya dengan penis itu. Dia menggelinjang. Rasanya sungguh sangat nikmat sekali. Penis pria tua itu seperti mangaduk-aduk dan mengobrak-abrik seluruh kemaluannya. Meski ukurannya tidak begitu besar, tapi penis itu bergerak dengan lincah membuat Aelia terus merintih dan merintih. Di sebelah mereka, sambil menonton, Kay menyingkap jubahnya dan meremas-remas payudaranya sendiri. Argus tersenyum saat melihat apa yang dilakukan gadis itu. Pemandangan itu membuatnya makin bersemangat untuk memompa sang Kakak. Dengan kecepatan penuh dan tenaga bak binatang liar, Argus terus menusuk-nusukkan penisnya. Jubah sutra yang masih menutupi tubuh Aelia, ia tarik hingga sobek. Selanjutnya, sambil menggoyang pinggulnya, Argus berpegangan pada buah dada gadis muda itu. Tak disangka, di balik tubuhnya yang kurus, ternyata Aelia memiliki payudara dengan ukuran yang cukup besar. Bentuknya juga masih sempurna, bulat, padat, dengan puting mungil kecoklatan. Argus jadi tak tahan. Apalagi disebelahnya, ada Kay yang sedang bermastrubasi. Gadis muda itu menonton sambil mendesah-desah. Tangan kirinya sudah masuk ke balik celana dalam, sementara yang kanan sibuk meremas-remas kedua payudaranya.
Argus memompa penisnya makin cepat. Keringat sudah bercucuran dari tubuhnya yang keriput. Kemaluan Aelia yang basah dan hangat benar-benar memanjakannya. Dia sangat menikmati persetubuhan itu. Bahkan tak lama, Argus sudah menggeram.
“Jangan sekarang,” Aelia berusaha mencegah tapi terlambat.
Diiringi jeritan tertahan, Raja tua itu menembakkan spermanya ke rahim Aelia. Tubuhnya mengejang-beberapa kali sebelum akhirnya ambruk menindih tubuh Aelia.
“Goyang terus.” Aelia meminta.
Gadis itu terus menggoyang-goyangkan pinggulnya, sementara tidak ada respon sama sekali dari si kakek tua. Setelah beberapa menit, gadis itu akhirnya menyerah, padahal dia sudah sangat-sangat teransang. Ditambah beberapa detik lagi saja, dia sudah akan orgasme. Argus mencabut penisnya dan duduk di sebelah Aelia. Sambil meremas-remas payudara Aelia, laki-laki itu berkata,
“Terima kasih, Putri. Pelayanan yang luar biasa. Sangat-sangat memuaskan.”
“Sama-sama, Tuan.” Aelia menyahut malas.
Di sebelah mereka, Kay dengan cepat merapikan kembali pakaiannya yang berantakan.
“Bersihkan ini.” Argus memberikan penisnya yang basah pada Aelia.
“Jadi, anda sudah sepuluh tahun mengejar mangsa anda, Tuan?” tanya Aelia sambil menjilati penis itu. “Anda pasti lelaki yang bertekad kuat.”
“Aku tidak pernah melupakan dendam.” Argus bergidik saat Aelia menjilati ujungnya, “Ayah kalian bijaksana, mau memenuhi tuntutanku.”
“Anda tahu, Tuan?” Aelia berhenti menjilat. “Galilea sudah mengira Anda akan datang. Dia sudah menyadari kalau teka-teki ini adalah jebakan, tapi dia tidak dapat menahan diri untuk tidak memecahkannya. Sudah sifatnya seperti itu.”
Argus mengernyitkan dahi, “Galilea bicara tentangku padamu?”
“Ya, Tuan.” Aelia tersenyum misterius.
“Dia pria yang tidak baik, Putri.” Argus merasa ada yang tidak beres. “Adikku sendiri jatuh ke dalam tipu dayanya. Jangan dengarkan dia.”
“Dia genius.” kata Aelia. “Dan kami lebih peduli pada nasibnya daripada nasib anda.” Ada ancaman dalam suaranya.
Argus mencoba duduk tegak, tapi Aelia segera mendorongnya kembali duduk, menempatkan laki-laki itu tepat di tengah-tengah ruangan. Di depan pintu, Kay tampak berjaga-jaga.
“Apa mau kalian?” tuntut Argus. “Kenapa kalian melakukan ini?”
Aelia tersenyum.”Galilea baik pada kami, Baginda. Dan saya tidak suka anda mengancam ayah kami..” sambil berkata begitu, Aelia menekan sebuah tombol di dinding. Di dahului bunyi gemerisik, tiba-tiba lantai yang dipijak Argus menghilang dan menyeret tubuh laki-laki itu ke bawah, langsung ke laut lepas.
“Selesai.” Aelia melongokkan kepalanya ke dalam lubang gelap seukuran manusia yang ada di depannya.
Pintu kamar mandi terbuka dan masuklah Silena dengan diikuti seorang pemuda paruh baya bertubuh kurus. Rambut jabrik tak terawat dengan pakaian kumal menumpuk begitu saja di atas tubuhnya. Dialah Galilea, orang yang di cari-cari oleh raja Argus.
“Kematian yang tak menyakitkan.” gumamnya pelan. ”Lebih daripada yang layak diterimanya. Terima kasih, Putri-putri.”
Aelia memeluknya. ”Anda akan pergi sekarang?”
“Ya, aku takut aku sudah membawa masalah bagi kalian.” Galilea merasakan payudara Aelia yang besar mendesak dadanya dengan lembut.
“Oh, jangan cemaskan kami. Ayah pasti akan senang mengambil emas Pak tua itu. Kroya juga jauh dari sini, dan anda lah musuh dia satu-satunya. Dengan sedikit memutar balikkan fakta, pasti Anda lah yang disalahkan, bukan kami. Kerajaan akan tetap aman.” kali ini Silena yang berbicara. Gadis itu cuma memakai jubah tipis untuk menutupi tubuhnya yang telanjang.
“Syukurlah. Aku jadi bisa tenang untuk pergi.” Galilea memandangi ketiga gadis cantik yang ada di depannya.
“Kemana Anda akan mengasingkan diri?” Kay bertanya. Hanya dialah wanita yang berpakaian sedikit sopan dalam ruangan itu.
“Ke tempat yang jauh, tempat dimana aku dilahirkan.” kata Galilea.
“Dimana letaknya?” Aelia bertanya penasaran.
“Sebaiknya Putri tidak usah tahu.” Galilea mengusap punngung Aelia.
“Apa Anda tega meninggalkan kami?” Silena bertanya. Dia sudah mau menangis.
“Tentu saja tidak. Lihatlah, siapa juga yang tega meninggalkan gadis seperti kalian?” Galilea menunjuk tubuh montok ketiga putri cantik itu.
Ketiga saudara itu saling berpandangan. Memang benar, setiap laki-laki normal pasti akan tergoda melihat tubuh mulus mereka.
“Kalau begitu jangan pergi.” Aelia merajuk. Dia menarik tangan Galilea dan menempelkan ke payudaranya.
“Tidak bisa, Putri. Nanti kerajaan akan hancur.” Galilea menarik kembali tangannya.
“Apa tidak ada kata-kata perpisahan?” tanya Kay. Dan gadis itu membuka jubahnya.
“Kenapa harus kata-kata?” Aelia menyela. “Kita bisa merayakan perpisahan ini dengan hal yang lebih baik.” Dia menarik tangan Galilea dan menyentuhkannya ke vagina Kay yang basah.
“Ya, kalau itu aku setuju.” Kay tersenyum dan dengan cepat mempreteli baju yang dipakai oleh galilea.
“Tung-tunggu dulu,” Galilea memperhatikan jam tangannnya. “Nanti aku bisa ketinggalan kapal.”
“Masih ada waktu.” Kay meraih penis Galilea dan mulai mengulumnya.
“Iya, kapal terakhir masih 40 menit lagi.” Aelia menarik kepala laki-laki itu dan mencium bibir Galilea dengan panas.
“A-aku…” laki-laki itu pun tidak bisa menolak ketika Kay membungkuk dan memberikan kemaluannya. “Hmm, baiklah, kalau itu yang kalian inginkan.” Dengan berpegangan pada pinggul Kay, Galilea menusukkan penisnya dari belakang.
Silena yang tidak bisa ikut acara itu berniat pergi dari ruangan. Tapi sebelum berlalu, dia sempatkan untuk bertanya pada Galilea, “Apa jawaban teka-teki itu?” tanyanya penasaran.
“Jawabannya ada tepat di depan matamu, Putri.” jawab Galilea penuh teka-teki.
END