Terjebak di Amanika
PEMBUKAAN Setelah menamatkan cerita berjudul “Tak Seindah Kisah Cinta di Dalam Novel”, saya memutuskan untuk hadir kembali dengan cerita baru yang bergenre survival. Ini adalah genre yang baru kali ini saya coba, jadi silakan bagi yang ingin memberikan masukan dan saran, baik dalam hal isi cerita, ilustrasi, atau yang lainnya. Sebagai informasi, semua nama tempat di cerita ini adalah fiksi dan khayalan semata. Saya hanya menyebutkan nama Indonesia di sini agar kita merasa dekat dengan ceritanya. Namun apabila saya menyebut “Presiden”, bukan artinya itu presiden Indonesia saat anda membaca cerita ini. Karena itu, dimohon para pembaca bisa bijak untuk tidak membandingkan apa yang saya tulis di sini dengan kejadian dan kondisi di dunia nyata, karena saya tidak ingin membahas hal tersebut di sini. Saat ini saya akan fokus menamatkan cerita ini sekaligus membuat lanjutan untuk cerita “Pengkhianatan Sahabat” yang stuck di Season 2. Saat ini cerita tersebut masih digembok momod, dan saya baru akan meminta lepas gembok saat lanjutannya sudah selesai dibuat. Jadi mohon ditunggu dengan sabar. Akhir kata, selamat menikmati.
Part 1: Pantai
Mobil van berwarna putih tampak baru saja berhenti di depan lobby sebuah resort mewah yang berada di kawasan timur Indonesia. Tanpa menunggu lama, para penumpang di dalamnya pun langsung turun. “Ahhh … Akhirnya sampai juga. Kalau masih lanjut satu jam lagi, kayaknya kaki gue bakalan kram deh,” ujar seorang pria berusia 40 tahun yang mengenakan kaos berwarna biru dan celana jeans. “Usia memang gak bisa bohong, Pak Doni. Udah waktunya cek kesehatan tuh,” seorang pria yang lebih muda menimpali dari arah belakang. Meski begitu, ia sendiri sebenarnya merasa sedikit pegal di beberapa bagian tubuhnya, hingga harus melakukan sedikit peregangan. “Jangan begitu, Mas Tomi. Saya sudah tua gini, masih kuat kok naik pesawat dan mobil berjam-jam kayak tadi,” seorang pria tua tampak bergabung dengan kedua laki-laki tersebut, dan membanggakan dirinya yang terlihat masih fit meski rambutnya sudah dipenuhi uban dan wajahnya sudah berhiaskan keriput di sana sini. “Jelas aja Pak Karjo kuat. Di jalan tidur mulu sih,” ujar pria yang dipanggil Pak Doni tadi. Mereka bertiga pun saling menertawakan candaan mereka masing-masing. Entah karena benar-benar merasa hal itu lucu, atau hanya menutupi kenyataan bahwa mereka merasa begitu lelah sepanjang perjalanan tadi.
Belum sempat ketiga pria tersebut mengobrol lebih lanjut, seorang perempuan muda dengan tubuh tinggi semampai tampak keluar dari lobby resort untuk menyambut mereka. “Selamat siang Bapak Ibu semua, selamat datang di Resort Hostina. Silakan masuk dulu ke dalam karena kami sudah menyiapkan hidangan selamat datang untuk semuanya,” ujar perempuan tersebut sambil menampilkan senyum yang begitu manis. “Wihh, cantik banget tuh guide-nya Tom. Mau dihajar apa?” Pak Doni berbisik ke telinga Tomi, khawatir kata-katanya didengar rombongan yang lain. “Hussshh, berisik banget sih ini bapak-bapak genit,” gumam Tomi gusar. Meski dalam hati, ia juga mengakui bahwa kecantikan perempuan yang menyambut mereka tadi memang bisa dibilang melebihi para perempuan yang sering ia lihat di ibu kota.
***
Di dalam lobby resort, mereka langsung diarahkan untuk menuju ke ruangan yang berisi beberapa meja makan. Di atas meja-meja tersebut, sudah disediakan berbagai jenis minuman segar mulai dari jus jeruk, soda, hingga kopi dingin yang bisa dinikmati oleh rombongan yang baru sampai tersebut. Dipimpin oleh Pak Doni dan Tomi yang memang terlihat paling tengil di antara mereka semua, peserta rombongan tersebut pun langsung menyerbu. Perjalanan panjang dari ibu kota tampaknya membuat mereka benar-benar kehausan. Mereka menikmati minuman sambil memandang ke arah luar ruangan tersebut, di mana telah tersaji pemandangan pantai yang begitu indah. Ruang makan tersebut hanya ditutupi oleh kaca berukuran besar yang memanjang dari lantai hingga langit-langit, sehingga seperti tidak ada batas antara mereka dengan pantai. “Bagaimana Bapak Ibu, cukup segar minumannya?” Sang perempuan cantik pun kembali ke hadapan mereka semua. “Sudaaaaaaaaahhhhh …” Ujar rombongan tersebut kompak. “Baiklah kalau begitu. Perkenalkan nama saya Karina, perwakilan dari tour yang akan memfasilitasi kegiatan Bapak Ibu selama berlibur di sini. Seperti yang kalian bisa lihat, Resort Hostina ini memang masih sepi, karena baru dibuka beberapa bulan lalu. Jadi bisa dibilang, Bapak Ibu semua adalah salah satu pengunjung pertama resort yang indah ini,” ujar perempuan bernama Karina tersebut dengan begitu lancar. Ia nampak sangat cantik dengan kaos berwarna hitam yang begitu ketat membungkus tubuhnya yang sintal, hingga payudaranya yang bulat pun jelas tercetak. Hal itulah yang membuat Pak Doni seperti tidak bisa memalingkan wajahnya dari bagian dada perempuan tersebut. “Heh, mingkem kali, Pak. Jangan ngowoh begitu,” ledek Tomi. “Dasar lo, Tom. Gak bisa lihat orang seneng apa?” Balas Pak Doni. “Selain saya, kegiatan kalian nantinya juga akan dipandu oleh Raymond dan Johan, yang mungkin kalian sudah kenal sejak bertemu di bandara tadi,” Karina pun memperkenalkan dua orang lelaki yang menyambut rombongan tersebut di bandara, dan mengantar mereka ke resort dengan van. “Untuk siang ini tidak akan ada kegiatan, sehingga kalian ada waktu untuk istirahat. Namun nanti malam kami sudah menyiapkan sajian barbeque dan hidangan seafood, jadi saya harap Bapak Ibu bisa berkumpul kembali di tempat ini sekitar pukul 7 malam. Jangan lupa juga sesuaikan jam kalian dengan waktu lokal di sini ya.” Beberapa peserta rombongan yang menyadari bahwa mereka telah berada di zona waktu yang berbeda pun mulai memeriksa jam tangan dan smartphone, demi memastikan bahwa waktu yang tertera di sana sudah sesuai dengan waktu lokal yang berbeda satu jam dengan ibu kota. “Sekarang, saya mau membagikan kunci kamar untuk kalian, sesuai dengan susunan kamar yang telah diberikan oleh Pak Harso kepada saya. Yang pertama, ini kamar untuk Pak Harso dan Bu Suyati.” Nampak pasangan suami istri yang sudah berusia kepala lima, menghampiri Karina dan mengambil kunci kamar yang diberikan kepada mereka. “Suiiittt suiiittt … bulan madu yang ke-berapa puluh neh Pak Harso?” Teriak Pak Doni. Pria tua yang dipanggil Pak Harso itu hanya tersenyum, sambil mengacungkan tinju ke arah asal suara. Semua peserta pun tertawa melihat adegan tersebut, termasuk Karina. “Untuk kamar kedua, ini untuk Bu Nabila dan Pak Rama.”
Sepasang suami istri kembali berdiri dan menghampiri Karina. Kali ini, mereka tampak jauh lebih muda. Sang pria baru berusia 35 tahun, sedangkan perempuan berjilbab yang terus digandengnya berusia 3 tahun lebih muda darinya. Bila disandingkan, sang perempuan juga tampak sedikit lebih pendek dari sang suami. Kini, tidak terdengar sahutan aneh dari Pak Doni atau peserta yang lain, tetapi berganti dengan suara batuk yang dibuat-buat. “Ehemm … ehemmm … eheeemmmmmm.” Nabila dan Rama pun hanya tersenyum saat menerima kunci kamar dari Karina dan meninggalkan ruang makan tersebut. “Kamar ketiga, ini untuk Bu Gendis, Widi, dan Rini.”
Tiga orang perempuan pun langsung berdiri menghampiri Karina. Gendis yang paling tua di antara mereka, tampak mengenakan jilbab panjang dengan gamis yang menutup seluruh tubuhnya. Sedangkan dua perempuan lain terkesan lebih modis dengan kaos dan celana panjang, dengan rambut panjang yang diikat. Keduanya tampak mempunyai paras yang mirip satu sama lain. “Dan yang terakhir, kamar untuk Pak Doni, Pak Karjo, dan Tomi.” Pak Doni langsung bergerak cepat untuk mengambil kunci dari tangan Karina, mewakili kedua rekannya yang lain. Karena itu, ia pun bisa berdiri di hadapan perempuan cantik yang sedikit lebih tinggi dari dirinya tersebut. “Kalau Mbak Karina, kamarnya di mana?” Perempuan itu hanya tersenyum. “Kalau saya kamarnya rahasia, Pak. Biar gak ada kucing garong yang tiba-tiba masuk.” Hal itu praktis memancing gelak tawa Tomi dan Pak Karjo, yang langsung mendorong Pak Doni agar segera ke kamar. Raymond dan Johan yang masih berada di ruang makan tersebut pun tak bisa menahan senyum mereka.
***
Di dalam kamar, Nabila dan Rama tampak langsung mengeluarkan pakaian mereka dari koper, dan memindahkannya ke lemari. Setelah selesai, sang perempuan tampak duduk di sisi ranjang, memandang ke arah jendela yang telah ia buka tirainya lebar-lebar. Bentuk jendela di kamar itu serupa dengan di ruang makan tadi, sehingga Nabila kembali bisa memandang ke arah pantai yang indah, langsung dari dalam kamar. “Bagus banget ya Mas, resortnya,” ujar Nabila. Sang suami pun ikut duduk di sebelah Nabila dan merangkul pundak perempuan tersebut. “Iya, bagus banget. Kalau bukan karena outing kantor kamu ini, sepertinya kita gak akan kepikiran untuk datang ke sini ya?” “Hee, iya Mas. Pak Harso memang cukup royal kalau urusan jalan-jalan begini.” “Memangnya dia juga yang nyari dan nemu tempat ini?” “Katanya sih ada nasabah yang kenal sama pemilik resort ini, jadi kemudian dikenalkan dengan tour lokal milik Mbak Karina tadi. Jadi, semua akomodasi dan aktivitas selama di sini langsung diurus sama Mbak Karina, kita tinggal bayar aja.” “Iya, memang lebih enak seperti itu. Eh, tapi kenapa yang ikut cuma segini, Sayang? Bukannya karyawan di kantor kamu ada lebih banyak ya?” “Ada beberapa yang gak mau ikut, alasannya karena terlalu jauh dan takut kecapekan. Ada juga yang alasannya takut meninggalkan keluarga terlalu lama. Dan Pak Harso juga memberikan pilihan untuk dapat uangnya saja kalau tidak mau ikut jalan-jalan, sepertinya banyak yang memilih opsi itu karena butuh uang, hee.” “Iya juga sih. Tapi kalau alasannya takut meninggalkan keluarga, kan bisa diajak saja keluarganya. Buktinya kamu bisa ajak aku ke sini.” “Ya, tapi kan harus bayar sendiri, dan gak murah. Dan aku rasa Pak Harso akhirnya mengizinkan bawa keluarga karena ada yang menolak ikut deh. Jadi daripada sepi kan, mending ditambahin keluarga aja. Tapi kalau semuanya ikut, mungkin justru keluarga dilarang diajak.” “Pak Harso kan bawa istrinya, kamu sama aku, Bu Gendis sendiri. Kalau Rini setahu aku bukan karyawan kantor kamu, kan?” “Ya bukan lah, Mas. Dia mah masih anak kuliahan, sebentar lagi lulus katanya lagi skripsi. Dia adiknya Widi, anak front office di kantor. Katanya pengin jalan-jalan sebelum lulus kuliah, jadi kakaknya bela-belain bayarin adiknya biar bisa ikut ke sini.” “Oh, kalau Pak Doni dia gak bawa istrinya, ya?” “Duh, Mas bagaimana sih? Kan aku sudah pernah cerita kalau Pak Doni itu sudah cerai sama istrinya yang ketahuan selingkuh. Makanya dia sekarang bujangan, satu kamar sama Tomi dan office boy kantor Pak Karjo.” “Oh iya, Mas lupa. Pak Harso gak bawa anaknya, ya?” “Gak bawa, Mas. Anaknya kan lagi sekolah di Amerika. Jarang pulang ke sini, biar irit ongkos mungkin.” “Oh …” jawab Rama. Mereka berdua pun terdiam, sama-sama memandang pantai dan ombaknya yang terus menyentuh pasir di bibirnya. Terdengar gemericik air yang terus menerus bergerak tanpa henti, menghadirkan suasana yang begitu tenang dan teduh di kamar tersebut. Meskipun masih terhalang kaca, tetapi aroma garam yang khas dari daerah pinggir pantai kental sekali tercium oleh sepasang suami istri tersebut. Tak butuh waktu lama hingga keduanya sadar, betapa romantisnya suasana tempat itu. Perlahan, Rama memulai inisiatif dengan mengarahkan tangannya ke paha sang istri, yang masih tertutup celana panjang. “Ihh, mas nakal banget sih, baru juga sampai,” ujar Nabila sambil memukul tangan suaminya dengan manja. Namun bukannya berhenti, sang suami malah merebahkan tubuh Nabila ke atas ranjang. “Habis aku udah nggak tahan, Sayang.” Dengan lembut, Rama melepaskan hijab yang dikenakan sang istri, hingga rambutnya yang panjang tergerai bebas. Pria tersebut sangat menyukai rambut Nabila yang sedikit ikal, dan langsung membelainya mesra. Tak lama kemudian, Rama langsung menindih tubuh dan mengecup bibir istrinya yang ranum. Tangan kanannya yang bebas langsung menggapai payudara Nabila yang nampak menonjol dari kemeja lengan panjang berwarna krem yang sedang ia kenakan. Sementara tangan kirinya sibuk membelai leher sang istri yang terbuka. “Ahhh, Mas Rama … Enak banget Mas diremes-remes toket aku begitu,” erang Nabila sambil meraih kancing kemeja sang suami dan berusaha melepaskannya satu per satu. Melihat birahi sang istri juga sudah mulai naik, Rama pun membantu melepas kemejanya sendiri, serta kaos singlet berwarna putih yang ia kenakan di baliknya. Setelah itu, ia langsung mengarahkan puting dadanya ke arah mulut Nabila. “Jilatin donk, Sayang. Ahhh …” Sang perempuan dengan menurut langsung mengeluarkan lidahnya yang hangat untuk menjilati puting sang suami. Sesaat kemudian, Rama seperti merasa tersengat listrik yang membuat tubuhnya mengejang. Ia tampak suka sekali diperlakukan seperti itu oleh istrinya yang cantik jelita. “Sluuurrrrrppphhh … Hmmmmppp.” Rama memegang kepala sang istri agar terus menjilat dadanya yang mulai berkeringat, sedangkan lengan sang istri secara otomatis bergerak merangkul pundaknya. Awalnya hanya puting yang sebelah kanan, tetapi berlanjut ke yang sebelah kiri. Pria tersebut tampak memejamkan mata, seperti ingin terus menikmati rangsangan demi rangsangan yang diberikan sang istri. Apalagi ketika sang istri mulai mengarahkan lidahnya ke ketiak Rama. “Ahhhh, aku gak tahan, Nabila sayaaaaaaaannggg ….” Puas diperlakukan seperti itu, Rama langsung melepaskan kemeja sang istri. Begitu kemeja tersebut terbuka, ia langsung menjilati dada perempuan tersebut. Bra berwarna hitam yang dikenakan istrinya langsung disingkap, sehingga puting payudaranya yang berukuran mungil menonjol keluar. Pria tersebut kemudian mengeluarkan lidahnya, dan memainkannya dengan liar di puting payudara sang istri. “Sluuurrrrrppphhhhh …. hhhhmmppphhh, ahhhhhhh,” Rama memutar-mutar lidahnya di sekitar puting payudara sang istri, dan sesekali menggigitnya lembut. Sambil terus mengemut dan menjilati payudara istrinya, Rama mengarahkan tangan Nabila yang halus ke arah kemaluannya yang masih tertutup celana jeans. Ia menggosok-gosokkan tangan Nabila ke selangkangannya yang semakin penuh dan sesak, karena isi di dalamnya kian membesar. “Kocokin kontol aku, sayaaaang, ahhhh …” Paham keinginan sang suami, Nabila langsung melepas ikat pinggang sang suami, dan resleting celana panjangnya. Dengan cepat, celana tersebut pun langsung meluncur ke lantai. Tak lama kemudian, celana dalam yang dikenakan Rama pun telah terlepas, sehingga kemaluannya yang tidak terlalu besar langsung menonjol keluar. Dengan sigap, Nabila langsung mengelus-elus penis sang suami, sambil menikmati jilatan, hisapan, dan kuluman di payudaranya yang telah terbuka. Semakin sang suami mempercepat kuluman, semakin cepat pula Nabila mengocok kemaluannya. Keduanya seperti telah larut dalam birahi yang ingin segera mereka tuntaskan. Saat merasa penisnya telah tegak maksimal, Rama langsung melepas kaitan bra sang istri, dan menarik celana panjangnya ke bawah. Celana dalam Nabila pun langsung melorot, dan sang suami tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengelus-elus kemaluan sang istri yang terbuka dengan jemarinya. “Ahhh, geli banget kalau dielus di situ massssss ….” “Di situ di mana sih, sayang?” “Di memek aku mas, ahhhhh …. Mas nakal ihhhhh.” “Kamu sudah basah banget, Sayang. Sudah pengin yah?” “Pengin apa, Mas. Ahhhhh …” “Pengin dibikinin dedek.” “Ahhhh, pengin banget Maaassssss ….” Memang sudah lama pasangan suami istri tersebut mendambakan buah hati. Namun, sejauh ini mereka belum mendapat rezeki dari Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu, mereka pun tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk berlibur ke kawasan timur Indonesia ini untuk mencoba peruntungan mendapat momongan. “Aku masukin kontol aku ya, Sayang,” ujar Rama sambil menggesek-gesekkan penisnya di bibir kemaluan sang istri yang masih berwarna kemerahan. Nabila hanya mengangguk, sambil meremas seprai ranjang yang sudah langsung berantakan, meski keduanya baru beberapa jam berada di sana. Matanya pun terpejam saat penis sang suami menyeruak masuk ke liang senggamanya. Meski tidak terlalu besar, tetapi Nabila tetap merasa cukup, selama sang suami tidak mengurangi intensitas persetubuhan mereka dalam sebulan. Sebagai istri yang setia, ia tentu tidak punya pilihan lain selain mencari cara memuaskan diri dengan kondisi penis sang suami. “Ayo terus genjot, Mas Rama, aku suka banget mas, ahhhhh …. Makin cepet, Masssssss.” Rama merasa makin bersemangat mendengarkan desahan demi desahan sang istri yang lama-lama semakin binal. Meski selalu berpenampilan alim di luar, keduanya memang selalu menggunakan kata-kata kotor saat bersetubuh, demi memuaskan fantasi mereka berdua sebelum menjemput kenikmatan. Itulah mengapa Rama kemudian semakin terpacu untuk memberikan kepuasan kepada perempuan cantik yang sedang ia tindih di atas ranjang. Kulit Nabila yang putih tampak bersinar karena pancaran sinar matahari yang masuk melewati jendela kamar. Keringatnya yang mulai bercucuran membuat Rama semakin merasa bergairah untuk menuntaskan hasratnya di kemaluan sang perempuan. Aroma parfum perempuan tersebut yang semerbak kini mulai digantikan oleh wangi kemaluannya yang khas. Pria tersebut kemudian mengangkat kaki sang istri agar selangkangannya semakin terbuka lebar, membuatnya semakin mudah menghujamkan kemaluannya di selangkangan sang perempuan. Ia pun menurunkan wajahnya, agar semakin dekat dengan wajah sang istri. Bibir Nabila dikecupnya, dijilatnya dengan lidah, dan diemutnya perlahan. Tangannya pun tak henti-henti meremas payudara perempuan tersebut yang terbuka bebas. “Enak banget ngentotin kamu, Nabila, ahhh … Tubuh kamu nikmat banget, ngghhhhh.” “Terus, Mas Rama, ahhhh … Semprot sperma kamu di memek aku, Mas, ahhhhh.” “Memek kamu sempit banget, ahhhh … aku sukaaa …” Pasangan suami istri tersebut mulai mengeluarkan kata-kata kotor demi menaikkan libido pasangannya. Keduanya sudah tahu sama tahu, kalau itu artinya mereka berdua telah hampir sampai di puncak kenikmatan. Rama sudah merasakan bahwa ada gejolak yang berusaha untuk keluar dari kantung kemihnya. Karena itu, ia pun memperkuat dekapannya pada tubuh sang istri, dan memasukkan kemaluannya ke dalam selangkangan sang istri sedalam mungkin. “Ahhhhhhhhhhhhh ……. aku keluar sayaaaaaaaaaaaaaaaaaannnggghh.” Lenguh Rama sambil melepaskan beberapa gelombang sperma yang menyemprot dinding vagina sang istri dengan kencang. “Kamu juga keluar kan, Sayang?” Bisik Rama di telinga sang istri. Nabila pun mengangguk, meski seperti ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya. Rama langsung ambruk setelah hasratnya tuntas. Ia ikut merebahkan tubuh di samping sang istri, lalu memeluk tubuh indahnya yang masih tanpa busana. Di sela-sela rasa lelah yang melanda tubuhnya, ia masih sempat memainkan puting payudara sang istri, meski kian pelan seiring kesadarannya hilang. “Beruntung sekali aku mempersunting kamu, Nabila. Sehingga aku bisa menikmati tubuh indahmu kapan saja aku mau.” “Aku juga beruntung bisa menikah dengan kamu, Mas,” ujar sang istri sambil mengecup mesra bibir sang suami tercinta. Mereka berdua langsung masuk ke dalam selimut, demi menghilangkan rasa letih setelah bepergian jauh, dan rasa lemas setelah bertempur di atas ranjang. Mereka pun langsung tertidur pulas, tanpa membersihkan diri terlebih dahulu, karena tahu tidak akan ada seorang pun yang mengganggu mereka. (Bersambung)