Tragedi Pijat Sensual [NO QUOTES]

Hallo Suhu semua..!”

sory kalo setiap kali rilis cerita, ujung-ujung pasti dihapus.

saya orangnya emang gini, jadi yang suka baca cerita saya silahkan dinikmati kalo gak skip aja.

cerita ini terinspirasi dari kejadian beberapa waktu yang lalu. saat Lilis dipijat oleh tukang pijat langganan kami.

semoga menghibur.

***

“Say, entar kamu dipijatnya jangan pake apa-apa berani ga?”

Tanyaku pada Lilis.

Saat itu kami memang berencana untuk dipijat, kebetulan rutin hampir sebulan sekali kami dipijat bahkan sudah punya tukang pijat langganan yaitu mang Wira.

Mang Wira ini usianya mungkin seitar empat puluh lima tahun, dan satu kampung dengan kami. Makanya saat dipijat biasanya kami gak berani aneh-aneh, takut si mang Wira ini ga bisa jaga rahasia, selain itu kebetulan dia lumayan alim. Tak jarang saat memijat dia menyelipkan konten-konten ceramah.

“Ih Gila kali…!”

“Engga Ah…!”

“Entar dia ember..!”

Respon Lilis, sewot.

Yah, memang selama ini jika di pijat mang wira Lilis gak pernah berani terlalu fulgar. Dia selalu memakai celana pendek, dan kain sarung supaya area intimnya bisa tertutup dengan baik.

“Kamu tetep pake kain sarunglah..!”

“Tapi jangan pake apa-apa lagi…!”

Aku masih berusaha menawar, karena seru saja rasanya mebayangkan Lilis dipijat mang Wira dengan kondisi tanpa busana.

Aku penasaran ingin melihat reaksi mang Wira yang alim itu seperti apa, jika menyadari Lilis telanjang.

“Entar Aku diceramahin gimana?”

Tanya Lilis.

Sepertinya dia masih ragu, walaupun aku yakin dia cukup tertarik dengan ide ku itu.

“Yaelah diceramahin doang..!”

“Selow aja kali…!”

“Kalo dia comel cerita ke orang-orang gimana?”

“Masa iya sih dia ember…!”

“Aman kali…!”

“Kamu tuh ya, kalo udah ada maunya…!”

Lilis cemberut.

“Seru kali say..!”

“Aku pengen liat reaksi dia gimana, kalo tau kamu bugil…!”

“Hehehehehe…!”

Lilis tampak berpikir sejenak, tapi aku yakin dia setuju. Mungkin tinggal membuang keraguannya saja.

“Hmmm….!”

“Ok deh…!”

“Aku juga penasaran sih..!”

Jawab Lilis tersenyum manis. Sesuai dugaan ku.

“Nah gitu dong..!”

Tentu saja aku senang dengan jawaban Lilis.

Tepat jam Sembilan malam akhirnya mang Wira sampai dirumah, kebetulan anak-anak juga udah pada tidur jadi situiasi aman terkendali.

Biasanya aku dulu yang dipijit baru Lilis, tapi karena gak sabar dengan sekenario yang udah dirancang akhirnya Aku meminta Lilis yang dipijat duluan.

Lilis yang sudah paham ga banyak protes, dia langsung saja ke kamar berganti pakaian dengan yang telah direncanakan. Sementara aku ngobrol ringan dengan mang Wira sambil sesekali nyeruput kopi hitam.

Tak berselang lama, Lilis keluar dengan tubuhnya yang sudah ditutupi oleh kain sarung.

Kain sarung itu menutupi area dada sampai paha Lilis, yah untuk memberikan tontonan yang lebih menegangkan sengaja kami memilih kain sarung yang tak terlalu panjang itu.

Sebenarnya penampilan Lilis yang seperti itu saja sudah cukup mendebarkan, karena kulit bersih mulusnya tersaji indah terutama bagian paha, dan area dada serta pantat yang membusung indah.

Entah mungkin karena sudah puluhan tahun menjadi tukang pijat, reaksi mang Wira biasa saja. Padahal aku yang terbiasa melihat Lilis telanjang saja berdebar-debar.

Mang Wira sih pernah cerita, waktu masih muda dia pernah menjadi tukang pijat perempuan malam alias jablay. Mereka itu kalo dipijat gak pernah pake apa-apa katanya, bahasa sederhaanya bugil. Awal-awal mijat mang Wira gak tahan, karena gak bisa fokus mungkin karena darah mudanya juga. Namun setelah konsultasi dengan gurunya, dan diberikan amalan perempuan telanjang itu tampak biasa saja baginya.

Kondisi itu membuat dia sempat khawatir, karena dia tak merasa terangsang melihat wanita telanjang. Namun ternyata kekhawatiran itu sirna setelah dia menikah, karena hasrat birahinya bergejolak saat bersama istrinya.

Itu sedikit inter mezzo tentang mang Wira. Kita kembali kejalan yang benar.

Ritual pijat memijatpun dimulai, diawali dengan mang wira meminta Lilis duduk membelakanginya. Lalu dia memijat sekitar area leher pundak dan kedua tangan Lilis bergantian.

Belum ada tontonan yang mendebarkan saat itu, sampai akhirnya mang Wira meminta Lilis tiduran telungkup diatas kasur lantai.

Ritual pemijatan kembali dimulai dengan memijat kaki kanan Lilis. Diawali dengan memijat telapak kaki, lalu merambat ke betis diulang beberapa kali, sampai akhirnya mengurut area paha Lilis.

Saat mengurut area paha Lilis itulah mang Wira sepertinya tampak ragu, untuk sesaat dia menghentikan urutannya saat sampai di bagian atas paha Lilis mungkin beberapa inci dari pangkal paha.

Dia memang selalu mengurut area paha nyaris mendekati pangkal paha, namun biasanya Lilis memakai celana pendek hingga urutan mang Wira akan terhalang celana, tapi saat itu pasti mang Wira merasakan sesuatu yang lain karena dia tak merasakan adanya kain disana.

Saat itu, kain sarung yang Lilis pakai masih menutupi area pahanya dengan baik.

Mang Wira melanjutkan urutannya, entah apa yang ada dalam pikirannya aku tak bisa menebak tentunya. Namun dia tetap mengurut dengan khusu sambil sesekali menimpali obrolanku.

Aku duduk santai di kursi sofa, sambil sesekali pandanganku melihat acara TV, namun tentunya lebih sering melihat Lilis yang sedang dipijat mang Wira tepat dihadapanku.

Peristiwa mengejutkan terjadi saat mang Wira mengangkat kaki kanan Lilis tinggi-tinggi sambil sesekali menginjak paha Lilis, yah itu memang salah satu ritual pijat yang selalu mang wira lakukan. Dengan terangkatnya kaki kanan Lilis, maka otomatis kain sarung yang Lilis pakai turun hingga mengumpul dipinggang.

Sudah pasti hal itu akan membuat bongkahan pantat Lilis yang tanpa panghalang tersaji indah dihadapan mang Wira.

“Duh… gak pake apa-apa Lis..!”

“Kirain pake cangcut doang..!”

Respon mang Wira, saat asset pribadi Lilis yang menggemaskan itu terungkap. Namun anehnya dia tampak tenang, tak terlihat terkejut sama sekali.

Malah aku yang jantungan, melihat adegan yang cukup erotis itu.

“Eh… iiyya mang…!”

“Lagi pengen aja…!”

Jawab Lilis asal sambil menolehku.

Tampak raut wajah panik dari Lilis, mungkin dia takut diceramahi mang Wira.

“Kamu yang nyuruh Ren?”

Tanya mang Wira, cukup membuatku panik.

Walaupun sudah banyak hal gila yang pernah ku lakukan dengan Lilis, tapi momen itu rasanya begitu menegangkan. Mungkin karena mang Wira kenal kami bahkan dari kecil, karena kita satu kampung. Dan setiap kali memijat biasanya dia ceramah tentang kehidupan, dan rumah tangga.

“Iyya mang..!”

Jawabku singkat.

Sumpah dadaku bergemuruh hebat, menanti ocehan ceramah mang Wira.

“Hah, kalian sama aja kaya pasutri dari kota..!”

“Banyak suami yang suka liat istrinya dipijat bugil..!”

Entah Aku harus senang atau kecewa dengan jawaban mang Wira, karena dengan jawabannya itu artinya dia sudah terbiasa menghadapi momen seperti itu.

“Bener kan Ren?”

Mang Wira kembali bertanya, dengan tegas.

“Iyya sssih mang..!”

Aku gagap dadakan.

“Udah Lis, buka aja sarungnya..!”

“Biar suami kamu seneng…!”

“Saya mah udah biasa ko..!”

Seru mang Wira, sumpah Aku kecewa karena tak sesuai ekspektasi.

“Lepasin aja mang,mager nih..!”

Jawab Lilis, tak sedikitpun menoleh padaku atau mang Wira. Apa dia malu?

Tanpa perlu diperintah lagi mang Wira langsung menarik kain sarung itu, Lilis membantu mempermudah prosesnya dengan mengangkat pinggulnya . Hingga akhirnya kain sarung itu berhasil ditanggalkan, dan membuat Lilis telungkup dikasur lantai tanpa busana.

Buatku tontonan itu cukup menegangkan, apalagi saat Lilis mengangkat pinggulnya supaya kain itu mudah diloloskaan. Karena saat itu pantat gempal dan mulus Lilis terlihat menungging indah dihadapan mang Wira.

Ajaibnya mang Wira biasa saja. Padahal bongkahan pantat Lilis yang mulus dan gempal begitu menggemaskan bagiku.

Seolah tak terjadi sesuatu yang luar biasa, mang Wira kembali melanjutkan ritual pijatnya. Kali ini memijat kaki sebelah Kiri Lilis.

Sumpah, aku dihantui pertanyaan-pertanyaan yang membuatku gila. Apa mungkin mang Wira tak terangsang sama sekali, melihat Lilis yang begitu menggairahkan.

Maka aku memberanikan diri bertanya.

“Mang Punten, mau nanya aja..”

“Mang Wira gak horny gitu liat Lilis.?”

Tanyaku, dengan jantung berdebar kencang.

“Horny tuh apa?”

Yah, aku lupa. Sepertinya mang Wira ga familiar dengan istilah itu.

“Nafsu mang..!”

Jawabku. Jantung masih berderbar kencang, sekaligus penasaran menanti jawaban mang Wira.

Saat itu Mang Wira sedang mengurut Paha Lilis, yang membuat Lilis sesekali merintih dan menggelinjang. Entah karena geli atau keenakan.

“Saya juga Laki-laki normal Ren..!”

“Pasti ada nafsu mah…!”

“Apalagi Lilis badannya masih bagus, mulus juga…!”

“Tapi saya jadi tukang urut udah taunan, udah biasa liat yang kaya gini mah…!”

“Saya kan pernah cerita juga dapat amalan dari guru…!”

“Jadi amanlah…!”

Jawaban yang sangat diplomatis dan lagi-lagi membuatku kecewa.

“Udah gak aneh ya mang…!”

Lilis akhirnya bersuara.

“Tetep aja sih Lis…”

“Kadang ada juga yang bikin naik…!”

“Bisa jadi karena badannya bagus banget, atau iman sayanya yang lagi drop..!”

Seketika hening untuk sesaat. Aku bingung harus berkata apa, Lilis juga sepertinya sama. Habis dia bawa-bawa iman sih.

Tapi pijatan mang Wira terus berlanjut, dan sedang mengangkat kaki kiri Lilis tinggi-tinggi sambil sesekali menginjak paha Lilis.

Adegan itu cukup membuatku panas dingin, karena saat kaki kiri Lilis terangkat maka gundukan selangkangannya yang bersih tampak mengintip.

Aku yakin mang Wirapun melihatnya.

“Pernah nyobain pijat sensual belum Lis?”

Yups pertanyaan mang Wira itu sukses mambuatku jantungan.

Itu pertanyaan yang begitu lama ku simpan dan tak pernah berani ku utarakan pada mang Wira, malah pertanyaan itu keluar dari mulut dia sendiri.

“Bbbelum mang..!”

Jawab Lilis.

Memang Lilis belum pernah pijat sensual, tapi dia sudah sangat paham karena kita sudah pernah lihat dividio, sempat ingin mencoba hanya saja belum ketemu dengan orang yang tepat.

“Saya pernah diminta pijat sensual sama pasutri dari kota.!”

“Karena waktu itu saya belum tau, mereka ngasih tau lewat vidio..!”

“Ternyata gampang aja. Lebih susah ritual pijat saya..!”

“Kali aja kamu mau nyoba Lis..!”

“Udah kepalang bugil juga kan?”

“Katanya sih nambah sensasi..”

“Itu kan yang kalian cari…?”

Mang Wira cerita panjang lebar. Namun tetap tenang, bahkan nada biacaranya datar sajar seperti ngobrol biasa.

Padahal dia sedang menawarkan sesuatu yang pastinya sangat menegangkan dan menggairahkan untukku dan Lilis.

Dadaku bergemuruh seperti Guntur, saat mendengar cerita mang Wira.

Tentu saja itu seperti impian yang jadi kenyataan, melihat Lilis di jamah lebih jauh oleh mang Wira.

Tapi sudah pasti aku tak mau terlihat terlalu antusias.

“Tapi itu pijit aja kan mang?”

Tanyaku, belaga bodoh.

“Ah, masa kamu ga tau Ren…!”

“Gak perlu dijelasin kan?”

Sumpah rasanya kena pukul palu, denger jawaban mang Wira.

“Gimana mau?”

Mang Wira kembali beratanya.

“Gimana say?”

Lilis melempar pertanyaan, sambil menoleh padaku. Namun tetap diposisinya.

“YYaaudah coba ajjjaaa…!”

Jawabku, dan kembali gagap dadakan.

“Kita coba ya..!”

Seru mang Wira, seraya berdiri lalu membuka kancing celana jensnya.

“Tenang Ren…!”

“Emang gak pake baju kalo pijat sensul..!”

“Supaya bisa ngasih rangsangan, ke yang dipijat..”

Mungkin mang Wira menangkap raut penuh tanya dari tatapanku, saat melihat dia menanggalkan celananya.

Lalu setelah celana jeansnya terlepas, diapun menanggalkan kaosnya. Hingga hanya celana dalam hitamnya saja yang tersisa.

Di usianya yang sudah kepala empat, badan mang WIra tampak masih gagah dan tagap. Mungkin karena dia rajin olahraga dan hidup sehat.

Sementara Lilis tak berusaha menoleh sedikiripun, seolah dia membenamkan wajahnya di bantal. Mungkin untuk mengurangi rasa malu.

“Saya mulai ya…!”

Seru mang Wira, kemudian dia melumuri punggung Lilis dengan minyak urut khasnya.

Memang seperti biasanya setelah kaki, maka pijatan akan berlanjut ke area punggung. Namun yang membedakan jika biasanya saat memijat punggung mang Wira akan berada disamping Lilis, saat itu mang wira mengangkangi Lilis dengan bertumpu pada kedua Lututnya.

Aku benar-benar dibuat panas dingin melihat momen itu, apalagi saat memijat punggung Lilis secara sengaja meng Wira sesekali menggesekan selangkangannya ke bongkahan pantat Lilis. Mungkin itu rangsangan yang ingin dia berikan pada Lilis makanya dia menanggalkan pakaiannya.

Ingin sekali ku abadikan momen itu, namun takut mang Wira keberatan.

Tertnyata bukan hanya punggung Lilis yang mendapat pijatan, karena melon kembar Lilispun mendapat remasan dari samping. Bahkan saat meremas melon Lilis mang Wira menempelkan selangkangannya di pantat Lilis, dan sesekali menggerakan pinggulnya maju mundur.

Persis seperti sedang menyetubuhi Lilis.

Aku panas dingin sekaligus tegang maksimal.

“Yakin belum pernah pijat sensual Lis?”

Pertanyaan mang Wira membuyarkan fokusku yang sedang menikmati tontonan erotis itu.

“Iyya bbbbeelum…!”

Jawab Lilis,singkat.

“Ko reaksi badannya kaya yang udah biasa…!”

“Biasanya, cewe yang badannya baru pertama dijamah laki-laki lain.”

“Responnya ga setenang kamu Lis..!”

Aku dan Lilis terbungkam tak mampu merespon pertanyaan mang Wira, karena pada kenyataannya Lilis sudah sering dijamah laki-laki lain.

Dan tentu saja hal itu tak mungkin kami ceritakan pada mang Wira.

“Kamu pernah selingkuh Lis?”

Mang Wira kembali mengejar dengan pertanyaan gila.

“Ih…. Engga atuh mang..!”

“Lilis mah cuman berusaha nikmatin aja…!”

Jawab Lilis diplomatis sekali.

“Yaudah… saya mah nanya aja…!”

“Cuman hati-hati aja sama fantasi..!”

“Kalo sebatas ini sih masih aman…!”

“Jangan sampe kamu kepikiran pengen nyobain kontol lain aja..!”

Yah, wejangan dari mang Wira akhirnya keluar. Namun tentu saja wejangan yang lain dari biasanya.

Aku hanya diam terpaku melihat dan mendengarkan percakapan mereka, sambil konak maksimal.

Lalu mang Wira mundur, dan pijatannya berpindah pada bongkahan pantat Lilis.

Mungkin lebih tepatnya bukan memijat ya tapi meremas-remas bongkahan pantat Lilis, karena penasaran aku melihat selangkangan mang Wira yang hanya ditutupi celana dalam. Ternyata ada tonjolan yang cukup besar disana, bahkan kepala kejantanan mang Wira tampak mencuat .

Gila sepertinya mang Wira sudah ngaceng maksimal.

Apakah karena badan Lilis bagus banget menurut mang Wira, atau imannya yang sedang drop.

Entahlah hanya dia yang tau.

“Tenang Ren…!”

“Saya gak bakalan nyelup sembarangan…!”

“Bisa luntur ilmu saya, kalo maen celup aja istri orang.!”

Seru mang Wira seolah bisa membaca pikiranku.

Sebagai tukang pijat urut profesional yang sudah berpengalaman puluhan tahun, mang Wira sangat sabar dan telaten sekali.

Bahkan saat memijat bongkahan pantat Lilis, dia begitu telaten dan sabar tak langsung menjamah area lubang nikmat Lilis, padahal hal itu tentunya bisa dengan mudah dia lakukan.

Hingga bokong semok Lilis tampak mengkilat oleh minyak urut, sementara Lilis sesekali merintih tertahan menikmati pijatan mang Wira.

Mang Wira begitu pandai memainkan tempo, dengan gerakan perlahan tapi pasti akhirnya jari telunjuknya mulai menyentuh lubang nikmat Lilis yang tampak sudah basah kuyup.

“Argh….!”

Jerit Lilis, merespon saat telunjuk mang Wira akhirnya bermaian-main diarea bibir kemaluannya.

“Ough…!”

“Mmggghh….!”

Akhirnya erangan dan desahan Lilis keluar, saat jari tengah mang Wira berhasil menerobos kedalam lubang nikmat Lilis.

Tubuh Lilis menggelijang, bahkan pinggulnya sesekali bergoyang memutar dan terkadang naik turun. Merespon jemari mang Wira yang mengobok-obok lubang nikmatnya.

Sungguh rasanya tak percaya saja, jika mang Wira pada akhirnya mengobok-obok lubang nikmat Lilis. Padahal sebelumnya saat dipijat tak pernah sedikitpun mang Wira menyentuh area itu.

Saat sedang menikmati adegan erotis Lilis dan Mang Wira, tiba-tiba terdengar suara seseorang memanggilku dari luar.

“Ren… Rendi..!”

Aku lumayan panik.

“Siapa tuh diluar…!”

Seru mang Wira, diapun menghentikan ritual pijatnya dan menyeruput kopi hitam yang kami suguhkan.

Bukan ritual pijat lagi sih sebenarnya.

“Saya liat dulu mang…!”

Kataku, lalu bergegas keluar.

Saat membuka pintu, si jali sudah berdiri tepat didepan pintu.

Dia adalah suami dari tetanggaku, dan kebetulan masih ada hubungan kekerabatan dengan mang Wira.

“Didalem ada mang Wira?”

Tanya si jali.

Aku lumayan dibuat jantungan juga, karena tiba-tiba saja dia menanyakan mang Wira.

Mungkin karena dia melihat motornya terparkir didepan rumah.

“Iyya lagi mijit Lilis…!”

Jawabku.

“Owwwhh…!”

“Punya tespen kan Ren?”

“Minjem dong, mau ngecek strikaan dirumah rusak..!”

Aku lega, ternyata dia bukan sedang mencari mang Wira.

Bisa berabe kalo ternyata dia ingin bertemu dengan mang Wira.

“Tunggu bentar ya gue ambilin dulu..!”

Lalu aku bergegas menuju kamar kecil yang ku fungsikan sebagia gudang, kebetulan berada di samping dapur. Sengaja aku tak menyuruhnya masuk, karena bisa gawat jika dia melihat apa yang sedang dilakukan Lilis dan mang Wira.

Saat melewati Lilis dan mang Wira, ternyata ritual pijat sudah berlanjut.

Namun untuk sesaat aku tertegun ditempat itu, karena posisi mereka sudah berubah.

Lilis sudah rebahan telentang , sementara mang wira sedang mengurut perut Lilis. Sebenarnya urutan diperut adalah salah satu ritual wajib dari mang Wira, namun tentu saja kondisinya saat itu berbeda.

Kedua kaki Lilis ditekuk dan dibuat mengangkang lebar, sementara mang Wira berlutut ditengah-tengah diantara kedua kaki Lilis.

Saat sedang mengurut area perut itu sesekali selangkangan mang Wira menempel dengan selangkangan Lilis, sudah pasti hal itu tak biasa dia lakukan.

Aku gerasak-gerusuk nyari tespen, berusaha secepat mungkin supaya si Jali segera pulang dan aku bisa melanjutkan melihat live show yang sepertinya semakin mendebarkan.

“Wah lagi ngurut…??”

Terdengar suara si Jali dari ruang tengah.

Sial, sepertinya dia maen masuk aja. Padahal aku sudah minta dia nunggu.

Aku bergegas menuju ruang tengah, namun langkahku terhenti diambang pintu gudang saat melihat situasi canggung diruang tengah.