Vacation
Vacation
Starring :
Rayhan Arsyad
Farah Quinn
Rinrin Marinka
Samudera Hindia, Saat ini.
“Ray,” Farah memanggilnya.
“Ya,” sahut Ray lirih.
“Kau baik-baik saja? Naiklah ke atas papan ini biar sedikit mengurangi rasa dingin,” ucap Farah dengan suara lemah.
“Aku tidak apa-apa. Lebih baik aku di sini, papan ini jelas tidak akan bisa menampung kita bertiga. Dari pada nanti terbalik, itu akan jauh lebih berbahaya,” ujar Ray.
“Tapi sampai kapan kita akan di sini?” sambung Marinka dengan ketakutan.
“Aku tidak tahu, tapi kita harus tetap tenang. Sebentar lagi pagi menjelang, kita pasti akan segera ditemukan dan diselamatkan oleh regu pencari,” ucap Ray tak yakin.
Ray menggeretakkan giginya untuk menahan hawa dingin. Air laut yang merendamnya berjam-jam seperti membuat tubuhnya membeku. Dia memang biasa Scuba-Diving, tapi kali ini kasusnya jelas berbeda. Ini adalah lautan lepas, malam hari, dan dia tidak memakai peralatan yang biasa dia pakai untuk menyelam. Ray sudah benar-benar kehabisan tenaga. Hanya semangat dan harapannya-lah yang membuat Ray tetap berusaha untuk menghadapi semua ini. Sejak kecil Ray sudah biasa menghadapi berbagai macam masalah dalam kehidupannya. Tapi mungkin baru saat inilah Ray menghadapi masalah terbesar dalam kehidupannya, yang bahkan tidak akan pernah Ray bayangkan sebelumnya.
Ray tidak pernah membayangkan bahwa suatu saat dia akan terjebak di tengah lautan yang luas ini bersama dua orang wanita yang baru dikenalnya dua hari yang lalu. Dan semua ini tentu bukanlah keinginan Ray, bahkan tidak ada dalam bayangannya bahwa ini akan jadi liburan yang panjang.
Sehabis makan siang Ray segera kembali ke kantornya. Begitu selesai memarkir sepeda motor Kawasaki Ninja-nya, dia segera menuju ke ruangannya yang berada di lantai sembilan gedung itu. Tapi belum sempat dia masuk ruangannya, Sarah Si sekertaris memanggilnya.
“Ada apa?” tanya Ray.
“Kau dicari Bos,” jawab Sarah.
“Bos sudah datang ya? Tumben dia tidak BBM sendiri,” ucap Ray sambil memeriksa Smartphone-nya.
“Mana aku tahu. Sudah cepat sana, dia sudah menunggumu sejak tadi, tampaknya penting,” kata Sarah sambil mendorong Ray.
“Thank You, Say,” ucap Ray sambil mengedipkan mata menggoda.
“Your welcome ,” balas Sarah dengan tersenyum.
Ray lalu segera berlalu menuju ke ruangan Bos-nya. Sementara Sarah masih tetap di tempat sambil memandangi Ray. Rayhan Arsyad adalah nama lengkap dari Ray. Wajahnya yang tampan khas timur tengah serta tubuhnya yang tinggi atletis itu banyak menarik perhatian kaum hawa. Bahkan banyak karyawati di kantor ini yang terpikat akan ketampanan Ray, termasuk Sarah. Sebenarnya Sarah sudah memendam rasa suka terhadap Ray sejak dulu. Tapi waktu itu Ray masih punya kekasih, dan baru-baru ini saja Ray putus dengan pacarnya.
Sebenarnya saat ini adalah kesempatan yang baik bagi Sarah untuk mendekati Ray, apalagi mereka sudah cukup dekat sebelumnya. Tapi Sarah tidak punya keberanian seperti teman-teman sekantornya yang punya keberanian untuk menarik perhatian Ray begitu ada kesempatan.
Sementara Sarah masih tenggelam dalam lamunannya, Ray sudah sampai di depan pintu ruangan Rangga. Dia mengetuk pintu itu pelan. Setelah ada ijin, barulah dia membuka pintu lalu masuk ke dalam ruangan itu.
“Siang Pak?” Ray memberi salam.
Walau Rangga adalah temannya tapi disini dia adalah bos-nya. Maka Ray tetaplah memanggil Rangga dengan kata Pak. Kecuali Rangga yang meminta maka dia akan mengubah panggilan itu.
“Siang juga Ray, duduklah,” ucap Rangga.
Ray lalu duduk di depan Rangga. Sementara untuk beberapa saat Rangga masih sibuk dengan Notebook-nya, setelah itu Rangga berdiri kemudian berjalan ke arah lemari pendingin, mengambil dua kaleng minuman ringan, menyerahkan salah satu kaleng minuman itu pada Ray, lalu Rangga kembali duduk di kursinya.
“Melihat wajahmu yang sudah kembali ceria, tampaknya masalahmu dengan Cynthia sudah selesai,” kata Rangga sambil membuka kaleng minuman yang ada di tangannya.
“Ya kau benar. Awalnya aku memang tidak dapat menerima keputusannya untuk mengakhiri hubungan kami. Aku juga sudah mencoba berbagai hal untuk mempertahankan hubungan kami. Tapi setelah melalui berbagai macam pertimbangan, akhirnya aku sadar tidak bisa memaksanya untuk tetap mempertahankan hubungan kami. Dan sekarang, akhirnya kami benar-benar berpisah dan mengambil jalan hidup masing-masing. Bukankah Life Must Go On!”
“Baguslah kau berpikir seperti itu. Kalau memang sudah tidak mungkin bersama, kenapa harus dipertahankan. Dengan pernyataanmu itu, Apakah itu tandanya kau siap untuk mendapatkan kekasih yang baru?” tanya Rangga dengan tersenyum.
“Entahlah, untuk soal itu aku tidak bisa menjawab Ya atau Tidak. By the way, ada apa kau memanggilku? Pasti bukan hanya soal hubunganku dengan Cynthia kan?”
“Oh ya, tentu saja bukan hanya soal itu. Sebenarnya aku punya satu tugas untukmu,” ucap Rangga.
“Apa? Proyek baru?” tanya Ray.
“Sebentar. Sebenarnya ini bisa dibilang bukan tugas juga. Anggap saja ini satu permintaanku untukmu. Coba kau lihat ini,” kata Rangga sambil memutar Apple Macbook-nya, hingga Ray bisa melihat apa yang terpampang di layar monitor.
Ray membaca e-mail itu, dan dia tahu maksudnya. Tapi tetap saja dia bertanya pada Rangga untuk lebih memastikan. “Ini undangan naik kapal pesiar, lalu apa hubungannya denganku?” tanya Ray.
“Kau mewakili aku menghadiri undangan itu,” jawab Rangga.
“What! Jangan becanda, Ngga!”
“Siapa yang becanda?”
“Tapi di situ tertulis perjalanan berlangsung antara tiga sampai lima minggu. Bagaimana pekerjaanku kalau aku pergi selama itu?”
“Justru itu maksudku. Kau itu sudah bekerja keras hampir sepanjang tahun. Jadi selain menghadiri undangan, perjalanan itu bisa kau manfaatkan untuk liburan. Bagaimana?”
“Tapi bagaimana dengan pekerjaanku?”
“Itu tidak usah kau pikirkan. Bukankah proyek-proyek kita sudah memasuki tahap akhir? Kau cukup tunjuk satu atau dua orang kepercayaanmu untuk mengawasinya. Lagi pula waktunya masih sepuluh hari lagi. Kau masih bisa memberi pengarahan pada orang kepercayaanmu.”
“Mengapa tidak kau sendiri yang menghadiri undangan itu?”
“Aku tidak bisa. Ada sesuatu hal yang harus aku lakukan dan tidak bisa ditunda,” ucap Rangga serius.
“Apakah aku harus datang?”
“Sebetulnya tidak ada keharusan Kalau kita harus datang. Tapi tidak etis rasanya tidak menghadiri undangan yang telah mereka berikan. Lagi pula yang mengundang adalah klien perusahaan kita. Aku hanya tidak ingin mereka menganggap kalau kita tidak menghormati undangan mereka,” kata Rangga.
Ray memandang ke arah Rangga. Ada rasa tidak enak di hatinya jika dia menolak permintaan Rangga ini. Apalagi Rangga tidak memaksanya, padahal sebagai bos, bisa saja Rangga memaksa dia kalau mau. Mengingat hal itu dan juga kebaikan Rangga selama ini akhirnya Ray berkata, “Baiklah aku bersedia menerima tugas ini.”
“Nah begitu dong. Lupakan pekerjaanmu sejenak, dan nikmati saja perjalanan liburan itu. Siapa tahu di antara ribuan penumpang ada seorang wanita yang bisa menarik perhatianmu.”
“Oke Bos, siap laksanakan.”
Setelah transit di Bandara Changi, pesawat yang membawa Ray mendarat di Bandara Katunayake, Colombo. Setelah itu Ray melanjutkan perjalanan menuju ke pelabuhan Colombo menggunakan Taxi. Kini di hadapan Ray berdiri kapal pesiar mewah yang siap membawanya untuk berlayar. Ray takjub memandang kapal pesiar yang diberi nama The Royal Continent itu.
Satu jam sebelum keberangkatan para penumpang dipersilahkan untuk naik. Ray yang memperlihatkan undangan yang dibawanya lalu diantar seorang Porter ke kamar yang telah disediakan untuknya. Setelah menaruh barang yang dibawanya dan berganti pakaian kasual, Ray lalu keluar untuk melihat-lihat apa saja yang ada di kapal pesiar itu.
Ray semakin takjub saat melihat bagian-bagian dalam kapal. Panjang kapal 222 meter, sementara lebarnya 22 meter. Kapal itu mempunyai enam tingkat termasuk bagian mesin di bawah dan geladak bagian atas. Di bagian geladak atau tingkat paling atas ada dua kolam renang, lapangan basket dan volly. Di bawahnya atau tingkat ke lima ada Spa, Bar, Lounge, Restoran, Bioskop dan Fitnes Center.
Di tingkat empat selain untuk kamar penumpang, sebagian juga untuk ruang pertemuan, Bar kecil dan ruang kapten. Tingkat tiga dan dua adalah kamar-kamar penumpang. Sementara bagian bawah adalah bagian mesin, ruang kru dan peralatan lainnya. Setelah puas-puas melihat bagian kapal, Ray lalu menuju ke geladak. Saat itulah ada pemberitahuan bahwa kapal akan segera angkat jangkar untuk memulai perjalanannya.
Cahaya kuning keemasan memancar dari ufuk barat, menandakan Sang surya siap kembali keperaduannya. Diatas geladak kapal sambil berpegangan pada pagar pembatas disanalah sekarang Ray berada. Baru sekitar satu jam kapal pesiar itu meninggalkan pelabuhan Colombo memulai pelayarannya. Ray termenung sendirian tidak seperti orang lain yang sedang berjalan-jalan atau duduk-duduk bersama orang lain.
Hubungannya dengan Cynthia memang telah berakhir. Dan mereka berdua sudah memutuskan dan juga menganggap tidak ada lagi masalah di antara mereka berdua. Tapi disaat sendiri seperti ini kenangan kebersamaan mereka muncul juga. Dan yang masih jadi pertanyaan terbesarnya adalah apa sebenarnya kesalahan dan kekurangannya hingga Cynthia minta putus. Padahal selama ini hubungan mereka baik-baik saja.
Dilihat dari segi fisik dia tampan, tinggi dan atletis. Dari finansial, Ray merasa penghasilannya lebih dari cukup. Bahkan bisa berlebihan andai dia mau menerima tawaran dari perusahaan-perusahaan dari luar. Kalau soal gaya hidup dia juga tidak terlalu berlebihan. Soal minum atau keluar malam masih bisa dibilang wajar. Itu juga kadang-kadang kalau menemani klien. Narkoba dia tidak pernah menyentuhnya, judi juga tidak, main perempuan tidak, gonta-ganti cewek itu dulu sebelum dia mengenal Cynthia. Jadi apa masalahnya?
Tapi setidaknya Ray masih bersyukur masih ada sahabat-sahabatnya yang memperhatikannya. Walau mereka semua sudah sibuk dengan urusannya masing-masing tapi masih sempat untuk memberinya support. Karena support merekalah Ray bisa melupakan masalahnya dengan Cynthia. Mengingat sahabat-sahabatnya, Ray jadi kangen ingin bertemu dengan mereka semua. Entah dimana mereka berada Ray pasti akan selalu teringat dengan Gavin yang pantang menyerah, Dani yang keras kepala, Rangga yang selalu memberi semangat pada kawan-kawannya, dan…
Ray harus menghentikan lamunannya saat ada pemberitahuan dari awak kapal bahwa sudah waktunya makan malam. Dia baru sadar bahwa senja sudah berlalu dan kini malam sudah datang. Ray menengok jam yang ada di tangannya, jarum jam sudah menunjukan angka tujuh.
Ray kemudian berjalan menuju kamarnya untuk membersihkan diri. Saat hendak membuka pintu kamar, dari kamar sebelah yang ditempati Ray keluar dua orang wanita. Satu orang wanita berkulit putih, sementara yang satu lagi berkulit coklat. Saat mereka melewatinya, Ray menoleh sejenak karena merasa pernah melihat kedua wanita itu, dia mencoba mengingat sesaat. Mereka berdua bukankah…! Ah sudahlah bukan urusanku juga, pikir Ray. Dia lalu segera masuk kamar tidak mempedulikan kedua wanita itu lagi.
The Royal Continent, Samudera Hindia. Dua hari sebelumnya.
Pagi itu Ray sudah rapi dan sedang duduk di restoran menikmati secangkir kopi dan sandwich pesanannya. Semalam karena merasa capek, setelah makan malam dia langsung tidur. Dan begitu bangun tidur Ray langsung menuju Fitnes Center, setelah itu dia pergi mandi. Karena itu, hari ini dia merasa badannya bugar dan pikirannya fresh sekali.
Ray sebenarnya sudah selesai dengan makanannya. Tapi karena belum tahu apa yang harus atau akan dilakukannya, maka dia tetap duduk di tempat itu hingga restoran itu menjadi penuh. Saat Ray sedang menikmati cangkir keduanya, dua orang wanita meminta ijin padanya untuk duduk di mejanya yang masih kosong. Tanpa menunggu lama Ray mempersilahkan dua orang wanita itu untuk duduk. Mereka adalah dua orang wanita yang dilihatnya semalam keluar dari kamar sebelah yang ditempatinya.
Ray tentu saja mengenal dua orang wanita yang duduk dihadapannya saat ini, karena mereka berdua adalah dua orang Chef yang terkenal di Indonesia. Ada keinginan dalam hatinya untuk berkenalan dengan dua Chef seksi itu. Tapi Ray menunda keinginannya, saat dia mendengar dua orang wanita di depannya itu sedang membicarakannya. Karena tidak mengira kalau Ray berasal dari Indonesia, maka mereka berdua membicarakan Ray dengan bahasa Indonesia. Rupanya mereka mengira kalau Ray berasal dari negara Uni Emirat Arab.
Merasa tidak enak hati karena menguping pembicaraan orang lain, maka tanpa menunggu lebih lama lagi Ray menyapa dua orang wanita yang ada di depannya, “Maaf sebelumnya jika saya telah menguping pembicaraan anda berdua. Sebenarnya saya berasal dari Indonesia.”
Kedua wanita itu tampak terkejut dan malu. Tapi keadaan itu hanya sesaat. Setelah dapat menguasai diri, mereka segera membalas sapaan dari Ray, “Oh ternyata dari Indonesia juga. Seharusnya kami yang meminta maaf kepada anda,” ucap salah satu diantaranya.
“Tidak perlu meminta maaf. Justru karena itu kita bisa saling menyapa. Oh ya, namaku Rayhan Arsyad, panggil saja Ray,” ucap Ray memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya.
“Marinka,” jawab wanita yang berkulit putih, membalas jabatan tangan Ray.
“Farah,” jawab yang berkulit eksotis, juga membalas jabatan tangan Ray.
“Tanpa kalian memperkenalkan diri saya sudah tahu siapa anda berdua. Siapa yang tidak mengenal Chef Marinka dan Chef Farah,” ujar Ray.
“Ha.. ha… kau bisa saja, Ray. By the way, kau sendirian?” tanya Marinka.
“Itu relatif.”
“Maksudnya?”
“Kalau maksudnya apa aku sendirian di kapal ini, maka jawabannya Ya. Tapi jika pertanyaannya apa aku sendirian saat ini maka jawabannya Tidak. Karena saat ini aku sedang bersama dua wanita cantik,” ujar Ray.
Marinka dan Farah awalnya bingung dengan jawaban Ray. Tapi setelah tahu apa maksudnya, mereka jadi sedikit malu. “Ternyata kau bisa becanda juga, Ray. Aku kira kau itu orang yang selalu serius, seperti yang kita lihat semalam. Ya gak, Far?” kata Marinka menoleh ke arah Farah. Farah Quin lalu mengangguk membenarkan.
“Aku jadi tersanjung karena diperhatikan oleh dua orang seperti Chef ini. Aku juga tidak menyangka bahwa Chef bisa seramah ini. Padahal aku pikir Chef Marinka dan Chef Farah itu orang yang galak, seperti yang aku lihat saat menjadi juri kompetisi memasak di sebuah stasiun TV,” kata Ray dengan tersenyum.
“Dasar kau. Itu hanya akting agar sebuah acara menjadi lebih menarik. Pada dasarnya, ya seperti inilah kami,” ucap Marinka, menjelaskan.
Mereka bertiga lalu ngobrol mengenai bermacam hal. Dari mulai hal umum sampai masalah pribadi. Dari pembicaraan itu Ray menjadi tahu alasannya kenapa Marinka dan Farah berada di kapal ini. Menurut mereka selain untuk berliburan, mereka juga diundang oleh teman mereka yang sekarang menjadi kepala Chef di kapal ini untuk suatu konferensi Chef. Selain itu mereka juga diundang untuk menjadi juri kompetisi memasak tingkat Asia, yang akan syuting di kapal ini yang rencananya akan ditayangkan di salah satu TV khusus Chanel Makanan.
“Kau sendiri bagaimana, Ray?” tanya Farah.
Ray lalu menjelaskan kenapa dia berada di kapal pesiar ini. Tentu ada hal-hal tertentu yang tidak dia katakan pada Marinka dan Farah. Pembicaraan mereka berakhir saat Marinka mengatakan ada pekerjaan yang harus dia selesaikan, begitu juga Farah. Tapi sebelum berpisah mereka berjanji akan bertemu kembali begitu ada waktu luang.
Setelah Marinka dan Farah pergi, Ray lalu kembali ke kamarnya. Tapi karena merasa bosan, dia keluar lagi sambil membawa kameranya. Seharian itu Ray sibuk menjelajah seluruh bagian kapal. Kali ini dia lebih detail melihat dari pada kemarin hanya sekilas. Mulai bagaimana cara kerja mesin sampai standar keamanan kapal dan juga peralatan yang tersedia saat terjadi keadaan darurat.
Sempat juga Ray melihat proses pengambilan gambar acara yang melibatkan Marinka sebagai juri. Lalu juga menengok tempat Farah mengikuti konferensi Chef seluruh dunia. Setelah makan siang dia lalu tidur sejenak, sebelum akhirnya kembali naik ke geladak. Ikut bermain basket, berenang, juga berkenalan dan berbincang dengan beberapa orang sambil melihat sunset di ufuk barat. Dari hasil pembicaraannya dengan beberapa orang, Ray akhirnya tahu kenapa dia bisa sampai berada di kapal ini.
Kapal pesiar ini telah disewa oleh salah satu konglomerat dari Shanghai, Tiongkok yang bernama Raymond LIe. Raymond lalu mengundang para koleganya untuk berlibur menggunakan kapal pesiar ini. Dan pastinya Rangga merupakan salah satu orang yang diundang, karena Rangga tidak bisa datang, maka dialah kini yang berada di kapal ini.
Selain menyewa kapal pesiar ini untuk liburan, Raymond yang juga pemilik stasiun televisi Food Chanel akan menggunakan kapal ini sebagai tempat acara diadakannya kompetisi memasak tingkat Asia dan yang paling utama adalah acara pertunangan putrinya dengan putra milyader dari India.
Selesai makan malam Ray lalu duduk di Bar sambil melihat pertunjukan musik yang sedang berlangsung. Saat itulah Marinka masuk ke tempat itu bersama beberapa temannya. Ray lalu melambaikan tangannya ke arah Marinka. Marinka sejenak berbicara pada salah satu temannya, setelah itu dia berjalan ke arah Ray.
“Hai,” sapa Marinka.
“Hai juga. Bagaimana kegiatannya?” tanya Ray sambil mempersilahkan Marinka untuk duduk.
“Sedikit capek, tapi cukup menyenangkan. Kau sendiri bagaimana?” kata Marinka balas bertanya pada Ray.
“Seperti yang lainnya. Jalan-jalan, makan, tidur, berenang, bermalas-malasan. Mau apa lagi.”
“Tampaknya kau betul-betul menikmati liburanmu?”
“Kalau sampai Bos-mu diundang oleh orang seperti Raymond Lie, pasti kau bekerja di perusahaan besar. Kalau boleh tahu apa nama perusahaan tempatmu bekerja?”
“Tentu, kenapa tidak. Kau mungkin pernah dengar YnS Corps.”
“Wow, YnS Corps. Itu sih bukan besar lagi namanya, tapi perusahaan Super Raksasa. Kalau aku tidak salah, bukankah pemilik YnS Corps masuk dalam daftar majalah Forbes sebagai salah satu orang terkaya di Indonesia, bahkan Asia?”
Ray mengangguk membenarkan apa yang Marinka katakan. “Mau minum?” tanya Ray menawarkan.
“Boleh. Wine saja,” jawab Marinka.
Ray lalu memesan dua gelas Wine. Red Wine untuk dirinya dan Rose Wine untuk Marinka. “Kemana Farah, kok tidak kelihatan?” tanya Ray sambil menunggu pesanan mereka.
“Waktu aku keluar, dia baru mau mandi. Mungkin sebentar lagi Farah menyusul kemari.
Tidak lama kemudian pesanan mereka datang. Mereka menikmati minuman itu sambil memperhatikan orang-orang yang sedang asik berdansa.
“Ray kenapa kau tidak mengajak cewekmu ikut liburan?” tanya Marinka sambil memandang Ray.
Ray menjadi terdiam mendengar pertanyaan itu. Tapi kemudian dia menjawab, “Saat ini aku tidak punya cewek.” Melihat Marinka hanya bengong memandangnya, Ray lalu melanjutkan ucapannya. “Sepertinya kau kurang percaya.”
“Cuma sedikit tidak percaya. Tapi kau Straight-kan, maksudku bukan Gay?”
“Tentu, bisa dibuktikan kalau mau. Sebenarnya aku baru saja putus dengan cewekku,” ujar Ray dengan lirih.
“Sorry Ray, aku tidak bermaksud mengungkit hal itu,” ucap Marinka menyesal.
“Nevermind, I am fine. Bagaimana dengan kau sendiri? Meskipun aku tidak pernah melihat acara gosip, tapi setahuku kau belum punya pasangan?”
“Ya kau benar. Sebenarnya ada beberapa lelaki yang pernah atau sedang dekat denganku. Tapi aku hanya belum merasa ada yang cocok. Jadi ya beginilah, aku masih sendiri di usia yang biasanya dianggap sudah tua untuk seorang wanita. Sebenarnya orang-tua juga sudah mendesakku untuk segera menikah. Tapi karena memang belum ketemu jodoh, mau bagaimana lagi. Kalau sekarang sih aku nikmati dulu kesendirianku, sebelum ada seorang lelaki yang akan mengikatku.”
Pembicaraan menjadi berhenti untuk sejenak. Marinka memesan lagi minuman untuk mereka.
“Tidak takut mabuk?” tanya Ray.
“Tidak apalah sekali-kali mabuk. Lagi pula kalau aku mabuk, aku yakin kau tidak akan membiarkan aku tidur disini.”
Ray hanya tersenyum mendengar hal itu.
“Mau berdansa?” ajak Marinka.
“Tidak terima kasih. Tapi aku tidak bisa berdansa,” tolak Ray.
“Ayolah, aku juga tidak bisa.”
“Baiklah, ayo.”
Rey dan Marinka lalu turun ke lantai dansa. Mencoba menggerakan tubuh mengikuti irama musik. Walau tampak kaku dan aneh mereka berdua cuek saja. Tampaknya Wine yang diminum Marinka sedikit banyak telah mempengaruhi tingkah lakunya. Beberapa saat kemudian mereka lalu berhenti berdansa dan kembali ke meja untuk minum lagi.
Setelah menghabiskan gelas kedua, Ray pergi ke toilet. Tapi saat dia kembali ke mejanya Marinka tidak ada di meja itu. Saat Ray sedang mencari Marinka, Farah datang dengan seorang lelaki. Dilihat dari wajah dan fisiknya tampaknya dia bukan orang dari kawasan Asia. Mungkin orang Eropa atau Amerika.
“Ray kenalkan temanku,” ucap Farah.
“Paul,” ucapnya.
“Ray,” balas Ray.
“Mana Marinka?” tanya Farah.
“Tadi dia di sini. Tapi saat aku kembali dari toilet, dia sudah menghilang,” Ray menjelaskan.
“Itu dia,” tunjuk Farah ke arah orang-orang yang sedang berdansa.
Benar saja, di antara orang-orang itu Marinka tampak bergoyang sesuka hatinya. Dia tampaknya sudah mabuk, hingga tidak mempedulikan keadaannya yang cukup menggelikan.
“Ray, tolong kau bawa Marinka ke kamar ya. Dia kalau sudah mabuk suka membuat heboh. Sebelum itu terjadi sebaiknya bawa dia ke kamar biar istirahat,” ucap Farah.
“Baiklah. Tampaknya aku sendiri perlu istirahat,” Ujar Ray beranjak ke arah Marinka.
Awalnya Marinka menolak ajakan Ray. Tapi dengan sedikit paksaan dan bantuan dari Farah akhirnya Marinka mau juga di papah oleh Ray.
“Hati-hati, Ray!” pesan Farah.
Dengan susah payah Ray akhirnya berhasil membawa Marinka ke kamarnya dan membaringkan tubuhnya di atas ranjang, saat itulah gaun yang dipakai Marinka tersingkap dan memperlihatkan paha putih mulusnya. Ray yang dari tadi kepanasan karena sentuhannya dengan tubuh Marinka kini menjadi merah mukanya. Ditambah lagi efek dari Wine yang diminumnya, membuat jatungnya lebih cepat berdetak dan seperti ada yang bereaksi di bagian bawah tubuhnya.
Sementara Marinka masih mengoceh tidak jelas. Takut kehilangan kontrol, Ray berusaha untuk cepat meninggalkan tempat itu. Tapi baru saja dia turun dari ranjang tangannya sudah dipegang oleh Marinka. Ray lalu berbalik, ternyata Marinka telah bangkit dan duduk di atas ranjang. Mukanya merah, pandangannya sayu, dahi dan lehernya basah oleh keringat.
“Ray temani aku ya?” ucap Marinka.
Ray masih terpaku diam. Ada pertentangan di dalam hatinya, antara menolak atau menerima. Melihat Ray diam saja, Marinka lalu turun dari ranjang walau dengan sempoyongan. Ray menahan tubuh Marinka karena takut terjerembab. Ray masih mencoba bertahan dengan godaan itu. Dia kembali mencoba melangkah ke arah pintu. Tapi Marinka mendahuluinya, hingga kini jalannya terhalang oleh tubuh Marinka.
Untuk beberapa detik mereka masih berpandangan. Tiba-tiba Marinka mendorong dada Ray hingga rebah di ranjang. Marinka menindih Ray. Mata mereka saling berpandangan. Desah nafas bergemuruh hingga terasa di masing-masing wajah dua manusia itu. Bibir mereka makin mendekat akhirnya bersentuhan, mesra sekali.
Kini Ray berani memeluk Marinka. Bibir mereka kini telah bersatu, melepas birahi. Kepala mereka bergerak saling silang memainkan irama nafsu yang makin menggelora, membuat ruangan sejuk itu menjadi hangat. Ciuman Ray bergeser ke leher Marinka, membuat Marinka mendesah menikmati sensasi yang dirasakannya.
“Ahh.. Ray.. ehmm..,” desah Marinka, menggoda.
Marinka melepaskan kancing-kancing kemeja Ray. Dada bidang yang ditumbuhi rambut itu terbukalah sudah. Sudah pasti ciuman dan jilatan lidah Marinka menari-nari disana. Pikiran Ray sesaat kembali ke masa lalu, saat mesih mereguk manisnya cinta dengan Cynthia. Tapi dia segera menepis bayangan itu.
“Rin.. ahh..,” Ray balas mendesah.
Seketika itu juga Ray menarik gaun putih Marinka hingga lepas dan dilemparkannya, entah kemana. Kini dua dada bertemu, dan merapat erat sekali. Marinka memeluk Ray dan mereka kembali berciuman ala orang Perancis.
Keadaan berbalik, kini Ray berada di atas Marinka, melancarkan serangan-serangan indah ke leher dan dada Marinka. Dijamahnya payudara Marinka, diremasnya lembut. Payudara besar yang menggoda siapapun ingin menjamahnya. Sesekali puting kemerahan Marinka dijepitnya diantara telunjuk dan jari tengahnya, membuat Marinka tengadah dan menggeliat liar. Lidah Ray pun menyapu di dada kiri dan kanan Marinka. Tampak basah dan mengkilat diterpa cahaya lampu, sehingga menambah kesan estetis, atau mungkin erotis tepatnya.
Ray kemudian menanggalkan sepatu yang masih dipakai Marinka. Marinka hanya terdiam, menunggu apa yang akan dilakukan Ray selanjutnya. Paha putih mulus Marinka diusapnya ke arah kemaluan yang masih terbungkus celana dalam satin putih berenda dibagian atasnya. Bulu-bulu halus Marinka mencuat keluar dari balik renda transparan.
Ray kemudian menciumi perut Marinka. Dimainkannya lidah Ray di area pusar Marinka yang beranting.
“Oooh.. Ray ohh.. ehmm.. ssp.. aahh,” kembali terdengar desah Marinka, manakala sapuan lidah Ray bergerak semakin ke bawah menuju tepian celana dalam Marinka. Dipeganginya kepala Ray, dan diusap-usap rambutnya.
Ray kemudian menarik celana dalam Marinka. Dilemparkannya sembarang, dan menyangkut di satu patung yang menghias ruang itu. Bulu halus Marinka tercukur rapi membentuk huruf V. Ray mengendus-endus bulu pubis Marinka, membuat Marinka menggelinjang kegelian. Sampailah kini Ray pada labia mayoranya Marinka. Lidah Ray menari-nari disana, namun beberapa saat kemudian Marinka menepiskan kepala Ray.
Marinka mendorong Ray hingga kembali Ray rebah di pinggiran ranjang. Dengan bernafsu dilepasnya ikat pinggang Ray dan ditariknya juga celana Ray. Terlihat batang yang masih tertutup, berdenyut seakan ingin berontak merobek celana dalam yang masih menutupinya.
Perlahan lidah Marinka menari di atasnya. Ray diam mengamati perlakuan Marinka kepadanya.
Sesekali Ray pun tengadah menikmati tarian gemulai lidah Marinka. Sesaat kemudian Marinka berhasil menarik lepas celana dalam Ray, hingga batang Ray pun mencuat ke atas. Bulu lebatnya menghiasi daerah sekitar kemaluan Ray. Kenyataan ini tidak disia-siakan Marinka untuk menyusuri setiap centi batang penis Ray dengan ujung lidahnya, membuat Ray mendesah kenikmatan. Zakar Ray pun tak luput terkena sapuan lidah Marinka yang semakin menggila.
Marinka menghentikan kegiatannya. Setelah mengambil nafas sejenak Marinka meraih kembali batang penis Ray yang sedari tadi berdiri tegak laksana menara Eiffel Paris. Sedikit mengocok, Marinka mengkombinasikannya dengan kuluman-kuluman lembut, dan gesekan giginya. Tangan Ray meremas sprei putih pertanda kegelian yang ditahannya. Irama turun naik kepala Marinka terlihat indah sekali. Semakin cepat, semakin tak kuasa Ray menahan sensasinya.
“Mmmphh.. mmphh.. mmphh,” terdengar Marinka menggumam, karena mulutnya penuh dengan batang penis Ray.
Ray tidak ingin kenikmatan itu cepat berakhir. Diangkatnya kepala Marinka, dan dibaliknya Marinka hingga berbaring. Ray kemudian bergerak ke atas Marinka dan berbalik. Kini mulut Ray berhadapan dengan vagina Marinka yang merah merekah, dan mengkilat karena basah. Marinka pun tak menyia-nyiakan penis Ray yang menggantung di hadapannya. Keduanya saling menjilat, menyedot, mencium, dan melakukan beberapa variasi lainnya. Hingga akhirnya, Marinka berteriak keras.
“Aaauugghh.. aahh.. Ray.. hh.. God.. hngg.. ghh,” sedikit tengadah Marinka berteriak. Giginya mengatup. Panjang sekali lenguhan kenikmatan yang terdengar. Mulut Ray tak luput dari semburan cairan kenikmatan Marinka.
“Stop.. Stop.. please Stop Ray.., aku tidak mau dapet dua kali dengan cara ini,” Marinka memohon.
Ray berbaring, sedangkan Marinka berada di atasnya, ditopang lutut. Marinka memegang penis Ray dan mengusap-usapkannya di bibir vaginanya, hingga akhirnya, ‘Bless..!’ sedikit demi sedikit penis Ray hilang di telan vagina Marinka.
Marinka bergerak turun naik, dan memutar-mutarkan pinggulnya. Ray yang sedari tadi diam, mulai melakukan penetrasi dari bawah, hingga lengkaplah kenikmatan yang diterima Marinka.
Setelah puas dengan posisi itu, kini Ray bangkit, dan membiarkan Marinka menungging. Ray kemudian menyodok vagina Marinka dari belakang. Pantat Ray bergoyang maju mundur. Perut Ray yang menempel di pantat Marinka, menimbulkan bunyi berulang-ulang. Satu tangan Ray memegang pinggul Marinka, dan satunya lagi menarik rambut Marinka ke belakang. Marinka menjadi tengadah, sambil menjilati tangannya sendiri. Sesekali tangan yang telah dijilat diusapkannya ke clitorisnya sehingga menambah rangsangan di daerah miliknya tersebut.
“Mmphh.. Ayoo.. Ray ohh.. hmm.. ahh.. Hmmphh,” gumam Marinka.
Nama Ray dipanggilnya berulang kali. Gumaman Marinka seirama dengan keluar masuknya penis Ray di vaginanya. Ray kemudian membalik Marinka, sehingga Marinka rebahan. Ditusuknya lagi lubang merah merekah itu dengan batang Ray. Kaki Marinka menempel di dada Ray, sehingga memudahkan Ray utnuk melakukan penetrasi lebih dalam lagi. Hingga akhirnya..
“Rin.. I want to cum.. I want to cum..,” kata Ray setengah berteriak.
“Cum inside me honey, I want your juice so bad,” balas Marinka.
“Kkiita bbarenganhh.. sayhh.. Aaarrgghh..Ray ohh..!” lanjut Marinka yang ditutup dengan teriakan nikmat tanda puncak kedua telah diraihnya.
“Aaarrgghh..!” bersamaan dengan teriakan Marinka, Ray pun berteriak.
Tiga sampai empat kali semprotan masuk ke dalam vagina Marinka. Dua semprotan menyembur di perut hingga dada Marinka. Marinka kemudian mengusapkannya ke seluruh permukaan payudaranya. Dijilatnya jari-jari bekas usapan di dadanya.
Ray terkulai lemas dan ambruk di sisi Marinka. Keduanga berciuman mesra. Butiran keringat di muka Marinka membasahi rambutnya juga. Dada Ray pun mengkilat berkeringat. Marinka turun dari ranjang dan menuju kamar mandi. Sesaat kemudian kembali Marinka naik ke ranjang dan menarik bed cover tebal dan hangat, sehingga menutupi keduanya hingga batas dada. Kepala Marinka bersimpuh di dada Ray, dan sesekali menciumi dadanya. Hingga akhirnya mereka tertidur karena kelelahan.
The Royal Continent, Samudera Hindia. Dua puluh jam sebelumnya.
Keesokan harinya saat terbangun Ray tidak menemukan Marinka di sisinya. Hanya sebuah pesan tergeletak di meja dengan isi, “Terima kasih untuk yang semalam. Sampai bertemu nanti sore.” Setelah membaca pesan itu, Ray turun dari ranjang dan pergi ke kamar mandi. Setelah sedikit membasuh muka, dia lalu memakai celananya. Dan kembali ke kamarnya tanpa mengenakan pakaiannya.
Keluar dari kamar mandi Ray menemukan sebuah pesan di bawah pintu kamarnya. Undangan untuk menghadiri pesta pertunangan putri Raymond Lie. Setelah rapi, Ray lalu keluar dan menuju restoran untuk mengisi perutnya yang kelaparan. Seperti kemarin, sehabis makan Ray kembali menjelajahi isi kapal. Bertanya apa saja yang ingin diketahuinya. Yang sedikit menganjal dihatinya adalah saat dia mendengar pembicaraan di antara awak kapal bahwa kemungkinan akan ada badai.
Selepas tengah hari Ray kembali ke kamarnya untuk beristirahat. Menjelang sore dia keluar kamar. Saat itulah dia bertemu Farah yang juga baru keluar dari kamar. “Hai,” sapa Ray.
“Hai juga Ray,” balas Farah.
“Mau ngegym?” tanya Ray, melihat Farah memakai baju sport.
“Yup, mau ikut?”
“Bolehlah, kebetulan dari pagi belum sempat gerak badan,” ujar Ray.
“Bukankah semalam sudah gerak badan,” sindir Farah.
“Eh itu..”
“Santai saja Ray. Kita semua sudah dewasa kok,” ujar Farah tersenyum.
Setelah hampir satu jam berada di ruang Fitnes, mereka lalu keluar menuju kolam renang. Ray dan Farah membatalkan rencana mereka untuk berenang karena ternyata di luar turun hujan, walau tidak terlalu deras. Batal berenang Ray dan Farah lalu duduk di restoran untuk melepas lelah.
“Dapat undangan untuk nanti malam?” tanya Farah.
“Ya. Tapi anehnya aku belum pernah bertemu dengan orang yang mengundangku.”
“Nanti malam kau juga akan bertemu dengannya.”
“Tapi mengapa Raymond Lie harus mengundang banyak Chef untuk hal seperti ini? Apa hubungannya Raymond Lie dengan semua Chef ini,” ujar Ray penasaran.
“Tentu semua ini Chef yang ada di sini tidak semua ada hubungannya dengan Raymond Lie. Tapi hubungannya dengan Angela Lie, anaknya.”
“Maksudnya?”
“Angela Lie itu juga seorang Chef. Tunangannya juga berkecimpung dengan dunia makanan, jadi wajar kalau undangannya kebanyakan para Chef,” ucap Farah menerangkan.
“Hebat! Ayahnya jadi salah satu orang terkaya di dunia, tapi anaknya masih mau jadi seorang Chef?”
“Ya begitulah Angela.”
“Apa kau mengenalnya secara personal?”
“Kenal, tapi tidak terlalu dekat. Marinka yang lebih mengenalnya.”
“Ada apa ini, kenapa sebut-sebut namaku?” tanya Marinka yang tiba-tiba sudah ada di belakang mereka.
“Tidak ada apa-apa, hanya sedang berbicara soal Angela Lie,” ucap Farah.
“Oooh..”
“Apa persiapannya sudah selesai, Rin?’ tanya Farah.
“Sudah. Tinggal pelaksanaannya saja. Semoga semuanya lancar sesuai rencana,” harap Marinka.
“Ya, semoga saja.”
The Royal Continent, Samudera Hindia. Beberapa jam sebelumnya.
Acara pertunangan itu berlangsung sukses. Semua orang bersuka cita, terutama Raymond Lie dan keluarganya. Setelah acara selesai, Raymond Lie lalu mengadakan pesta meriah. Berbagai macam hidangan di suguhkan untuk para tamu undangan. Semua jenis makanan ada. Mulai dari makanan Asia, Eropa hingga Amerika tersaji dengan cantiknya, hingga menggoda selera semua undangan lalu.
Ray, Marinka, Farah dan Paul duduk disatu meja. Ray yang tidak terlaku suka makan, hanya menyantap apa yang benar-benar ingin dimakannya. Mereka kemudian ikut larut dalam pesta itu. Bernyanyi, berdansa, ikut bermain game yang diadakan tuan rumah dengan bermacam hadiah yang cukup menggiurkan.
Diluar hujan yang tadinya hanya gerimis kini turun dengan lebatnya. Cahaya dan suara petir lalu mulai datang bersahutan. Semuanya tampaknya tidak terpengaruh dengan keadaan luar. Suasana baru sedikit terganggu ketika ada pengumuman dari kapten kapal bahwa kapal ini mungkin sedikit akan terguncang karena akan melewati badai di depan, dan para penumpang di harapkan untuk sedikit waspada.
Beberapa saat badai itu benar-benar datang dan sedikit mengombang-ambingkan kapal itu. Semua orang seakan lega ketika badai itu berlalu. Apa lagi ketika terdengar kembali pengumumam bahwa para penumpang di harap tenang kembali. Karena di Samudera Hindia ini jarang sekali terjadi badai. Jadi tidak mungkin badai akan datang secara berturutan. Mereka kembali meneruskan pesta hingga mendekati tengah malam.
Semuanya benar-benar menjadi lega ketika hujan sudah berhenti dan suara petir tidak terdengar lagi. Tapi kelegaan hanya dapat dirasakan sesaat. Saat orang-orang bersiap untuk tidur, badai itu datang kembali. Bahkan lebih dahsyat berkali lipat dari badai yang pertama. Suara menderu-deru terdengar perlahan lalu membesar, seperti banyak pesawat terbang di atas kapal.
Kapal itu terombang-ambing selama berjam-jam oleh gelombang dahsyat yang dibawa oleh badai maha dahsyat. Begitu dahsyatnya badai, hingga kapal pesiar yang biasanya berlayar gagah di lautan luas kini tampak seperti kapal mainan yang dilempar kesana-kemari oleh tangan anak kecil. Bahkan Sang Kapten yang berpengalaman lebih dari tiga puluh tahun seperti tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Semua orang menjerit kaget saat terdengar suara benturan dahsyat. Ray yang tidak bisa tidur karena merasakan firasat yang aneh mencoba melihat keadaan luar menjadi kaget saat melihat bayangan hitam besar menghadang di depan kapal. Dan semuanya semakin histeris saat kilatan petir menampakkan wajah asli bayangan hitam itu. Bayangan hitam itu bukan lain adalah tebing karang yang siap menghadang laju kapal itu. Ray yang melihat dari jendela kapal merasakan kapal mencoba menghindari tebing itu. Tapi tampaknya ada sedikit keterlambatan, hingga benar saja apa yang dikhawatirkan oleh Ray, tiba-tiba terdengar benturan keras yang dahsyat. Lambung kapal menghantam tebing karam itu.
Ray yang menyadari keadaan yang terjadi segera berlari keluar dari kamar. Menggedor pintu sebelah, dan saat pintu terbuka dia segera menarik Marinka dan mengajaknya lari tidak mempedulikan apa yang dipakainya. Sambil berlari menuju dek, Ray bertanya, “Dimana Farah?”
“Dia belum kembali ke kamar, tadi bersama Paul.”
Keadaan menjadi memburuk dengan cepatnya, semua orang berusaha untuk menyelamatkan diri masing-masing. Sesaat setelah benturan, gelombang raksasa menghantam kapal. Orang-orang yang tidak sempat berpegangan terbawa oleh gelombang dan jatuh ke lautan.
Di atas dek kapal keadaan sudah ramai oleh para penumpang. Tidak seperti yang diperkirakan Rey. Angin dan gelombang dahsyat lebih terasa di atas dek ini. Keadaan semakin kacau saat orang-orang berebut untuk naik ke sekoci yang hanya tinggal berapa buah. Sementara kapal mulai terlihat tenggelam perlahan-lahan. Sambil menunggu sekoci yang diturunkan Rey menyuruh Marinka untuk berpegangan erat pada pagar pembatas.
Gelombang tinggi masih terus menghantam kapal, dan gelombang itu membawa penumpang yang nahas serta benda apa saja yang bisa dibawanya menuju ke laut. Saat menunggu antrian untuk naik sekoci, Ray melihat Paul. Karena Paul sendirian Ray lalu bertanya dimana Farah adanya. Sebenarnya Ray ingin memukul Paul, saat mendengar Paul meninggalkan Farah di kamarnya.
“Aku akan mencari Farah, kau tunggu disini,” kata Ray setengah berteriak agar suaranya bisa didengar Marinka.
Ray mengambil tali yang menggeletak di lantai. Lalu dengan cepat dia berlari turun ke lantai empat. Untung lantai itu belum di genangi air. Ray segera mencari kamar Paul, dan dia menjadi semakin panik saat air mulai menggenangi lantai itu. Untunglah tidak lama kemudian dia menemukan Farah menggeletak di lantai. Tanpa membuang waktu dia membopong tubuh Farah dan mencoba segera kembali ke atas dek kapal.
Hal itu menjadi semakin sulit, bukan karena Ray keberatan menggendong tubuh Farah. Melainkan karena air sudah setinggi lututnya, hingga gerakannya tidak bisa cepat. Keadaan menjadi gawat saat ketinggian air hampir setinggi dadanya. Ray semakin bersemangat saat dia sudah melihat tangga yang menghubungkan lantai empat dan lima. Saat jarak tinggal beberapa meter, tiba-tiba arus air menghantam tubuh Ray dari arah belakang. Akibatnya Farah hampir terlepas dari gendongannya.
Dilain sisi, karena hantaman air itu Farah menjadi sadar, dan anak tangga itu kini sudah ada di hadapannya. Ray lalu menaiki anak tangga itu satu demi satu. “Terima kasih, Ray,” ucap Farah.
“Kau sudah sadar, apa ada yang terluka?” tanya Ray.
“Tidak ada yang terluka. Tolong turunkan aku, biar aku bisa jalan sendiri.”
“Kau yakin?”
“Ya.”
Ray menurunkan Farah, lalu sambil menggandengnya Ray mengajak Farah untuk cepat naik ke atas. Di lantai lima Ray dan Farah bertemu Marinka yang hendak menyusul mereka. Ray mencoba berpikir cepat, dia merasa jumlah sekoci tidak akan sebanding dengan penumpang kapal. Dia lalu teringat dengan gudang peralatan keselamatan yang dilihatnya tempo hari. Takut terpisah, Ray lalu mengikat tubuhnya dengan tubuh Farah dan Marinka dengan tali yang ditemukannya.
Dia lalu berlari menuju gudang perlengkapan, sambil mencoba mencari benda yang kira-kira bisa menyelamatkan mereka, sementara Farah dan Marinka mengikutinya dari belakang. Sampai di gudang itu hanya ada beberapa jaket pelampung yang tersisa. Tanpa menunggu Waktu lagi mereka lalu memakai jaket itu masing-masing dua rangkap.
Sementara kapal semakin miring dan hampir setengahnya sudah berada di dalam laut. Sementara masih banyak penumpang yang mencoba naik ke sekoci yang hanya tersisa beberapa buah. Kini kapal itu ini benar-benar sudah tegak lurus. Dan karena tarikan dari bagian kapal yang sudah tenggelam maka kapal itu tenggelam dengan cepatnya. Ray yang sudah merasa tidak bisa berbuat apa-apa lagi, lalu memeluk Farah dan Marinka, kemudian membawa mereka melompat ke laut.
Tubuh mereka masuk dan tenggelam ke dalam lautan. Dan hampir saja terbawa oleh pusaran gelombang andai Ray tidak cepat menggerakan kakinya untuk berenang. Dan jaket pelampung yang mereka pakai sedikit banyak membantu tubuh mereka untuk timbul ke permukaan. Begitu berada di permukaan Ray segera memeriksa keadaan Farah dan Marinka, tubuhnya mereka lemas tapi masih sadar. Dia lalu meminta mereka berdua untuk berusaha berenang.
Sementara di belakang mereka terdengar suara dentuman keras untuk terakhir kali. Kapal pesiar yang mewah dan perkasa itu kini benar-benar tenggelam di lautan luas. Hal itu juga menghasilkan gelombang yang cukup dahsyat hingga menyeret tubuh mereka. Untunglah ikatan tambang itu masih cukup kuat, hingga mereka tidak terpisah jauh. Selain melemparkan tubuh mereka, gelombang itu juga membawa sedikit keberuntungan untuk mereka. Beberapa buah papan yang cukup lebar terlempar ke dekat mereka.
Ray segera meraih salah satu papan itu. Kemudian dia menarik Farah dan Marinka, lalu menyuruh mereka agar berpegangan pada papan bekas pintu itu. Walau masih belum pasti nasib mereka selanjutnya, tapi Ray sedikit bersyukur dengan adanya papan itu mereka bisa beristirahat. Tanpa peduli entah kemana gelombang membawa mereka, mereka bertiga terus berpegangan erat pada papan itu.
Ray tidak tahu entah dimana mereka sekarang atau sampai kapan akan seperti itu, karena semuanya gelap. Hanya ada air dan air, serta Farah dan Marinka yang memeluk erat tangannya. Karena badai sudah mereda, maka Ray menyuruh mereka berdua untuk naik ke atas papan itu untuk menghindari tubuh mereka lebih lama terendam dalam air.
Ray sendiri sebenarnya sudah kedinginan dan hampir tidak kuat. Tapi dia berusaha sekuat usaha untuk menahan hawa dingin itu. Untunglah masih ada Farah dan Marinka, sentuhan tangan mereka masih bisa sedikit memberi kehangatan dan rasa sadar pada Ray. Ray sendiri tidak yakin, apakah dia masih akan kuat menghadapi hal ini seandainya dia sendirian. Dan Ray harus mengalami siksaan hal itu selama berjam-jam.
Untunglah saat ambang kekuatan tubuhnya hampir berakhir. Matahari mulai menampakkan sinarnya. Laut sudah kembali tenang dan damai seperti tidak pernah terjadi apapun beberapa jam yang lalu. Angin juga bertiup sepoi-sepoi hingga papan yang menyelamatkan mereka seperti tidak bergerak.
Samudera Hindia. Saat ini, hari ke 1.
“Whaaa…!” jeritan Marinka menyadarkan Ray dari lamunannya.
“Ada apa?” tanya Ray.
“I..itu..,” kata Marinka sambil menunjuk ke arah belakang Ray.
Serentak Ray dan Farah melihat ke arah yang ditunjuk oleh Marinka.
Sama seperti Marinka, Farah yang melihat pemandangan yang ada di depannya juga menjerit, “Kyaaa…!”
Di permukaan laut tampak potongan kapal, peralatan dan barang-barang penumpang, bahkan beberapa tubuh penumpang kapal yang telah kaku banyak bertebaran di sekitar mereka.
“Apakah kita akan bernasib seperti mereka?” tanya Marinka ketakutan melihat pemandangan di sekitar mereka.
“Sampai ada pertolongan datang aku akan berusaha supaya kita tidak bernasib seperti mereka,” ujar Ray mencoba menghibur mereka berdua.
Pertama Ray berusaha meraih sebuah papan yang cukup lebar, yang bisa dia tumpangi. Kemudian Ray mengikat papan yang baru ditemukan dengan papan yang di tumpangi Farah dan Marinka. Dia juga mengambil beberapa potongan kapal untuk dipakai sebagai dayung. Dengan begitu mereka dapat meraih barang-barang yang bertebaran di sekitar mereka tanpa perlu menggunakan banyak tenaga. Setelah itu mereka memilah-milah barang itu dan menyimpan barang yang masih berguna dan membuang yang tidak mereka perlukan.
Tapi angin yang berhembus tenang itu tidak berlangsung lama. Ketika matahari sedikit meninggi, angin kembali berhembus cukup kencang. Hingga mereka terseret semakin jauh meninggalkan lokasi kejadian. Entah berapa lama mereka terseret oleh hembusan angin. Saat matahari hampir tepat di atas kepala mereka, angin menjadi tenang
Saat itulah Ray berteriak, “Hai coba lihat itu! Sepertinya perahu atau pulau,” ucapnya penuh semangat sambil menunjuk titik hitam di kejauhan.
Farah dan Marinka ikut memandang apa yang ditunjuk oleh Ray. Mereka memang dapat melihat titik hitam itu. Tapi benarkah apa yang dikatakan Ray. Mereka tentu berharap itu bukan sekedar fatamorgana. Atau ilusi yang muncul karena kesadaran mereka yang semakin berkurang.
“Apa itu benar Ray?” tanya Farah dengan suara yang nyaris tidak terdengar.
“Iya Ray, dari tadi kita sudah melihat hal seperti itu. Tapi akhirnya mengecewakan,” sambung Marinka.
“Memang bisa salah. Tapi aku yakin kalau yang ada di depak kita itu sebuah pulau,” ucap Ray penuh keyakinan.
“Baiklah ayo kita kesana. Tidak ada salahnya mencoba,” kata Farah.
Maka dengan menggunakan dayung, mereka berusaha untuk mengarahkan papan yang mereka tumpangi ke arah titik hitam itu. Semakin lama titik hitam itu semakin membesar dan apa yang dikatakan Ray itu memang benar. Bayangan hitam yang semakin membesar itu membuat mereka bisa sedikit tersenyum. Sebuah pulau atau kapal adalah suatu hal yang sangat mereka harapkan.
Mereka semua sudah lelah dan tersiksa baik jiwa maupun raganya karena mereka hampir kehilangan nyawa, dan kini mengapung di tengah lautan yang luas selama berjam-jam. Walau sudah tampak semakin jelas, tapi jarak mereka dengan titik hitam itu masih jauh. Ray meminta Farah dan Marinka untuk lebih semangat mendayung.
Ketika matahari mulai condong ke barat, mereka mulai dekat dengan bayangan hitam itu. Dan kini bayangan hitam itu mulai tampak bentuknya. Warna hijau mulai mengganti warna hitam yang mereka lihat sebelumnya. Dan semakin dekat mereka semakin yakin kalau apa yang mereka tuju adalah sebuah pulau. Warna hijau semakin mendominasi, memanjang dibagian atas. Sementara warna putih dan kuning dibagian bawah.
Semakin dekat mereka kini dapat melihat gugusan bukit atau gunung yang menjulang tinggi serta hamparan pantai yang memutih sebagian. Warna langit mulai bersemu merah saat Ray dapat menjejakan kakinya di pasir pantai pulau itu. Ray lalu membantu Farah dan Marinka untuk turun dari papan itu. Setelah melepas jaket, mereka bertiga menggeletak bersisian di pantai itu.
Rasa hangat dari pasir yang menyengat punggung, seakan memijat tubuh mereka. Sungguh terasa nyaman dan seperti menghilangkan rasa penat di tubuh mereka. Untuk beberapa saat mereka semua diam. Hanya suara nafas yang terengah-engah terdengar dari mulut mereka. Walau merasakan lelah yang amat sangat, namun mereka tetap merasa bersyukur karena masih bisa bertahan hidup sampai saat ini.
“Apa kita telah berhasil kembali kedaratan?” tanya Marinka, dengan nafas yang sudah sedikit teratur.
“Aku tidak tahu ini daratan utama atau bukan. Tapi setidaknya kita masih selamat, itu yang paling utama,” ucap Ray sambil bangkit berdiri.
“Bisa juga ini pulau tidak berpenghuni dan kita masih jauh dari siapa, dan dari manapun,” lanjut Farah yang juga beranjak bangun dan mengedarkan matanya ke sekeliling tempat itu.
“Mudah-mudahan saja ada makanan dan minuman di tempat ini, Marinka berharap.
“Itu juga yang kuharapkan. Untuk itu aku akan berkeliling di sekitar tempat ini untuk menemukan sumber air tawar.”
“Apa tidak sebaiknya kau istirahat dulu Ray?” tanya Farah.
“Tidak apa. Aku memang lelah . Tapi kita harus segera menemukan sumber air untuk kita minum. Aku tahu kalian juga lelah. Oleh karena itu kalian tetap saja di sini untuk beristirahat. Carilah tempat yang terlindung, tapi jangan terlalu jauh dari pantai. Aku akan berkeliling untuk melihat keadaan sekitar, siapa tahu aku dapat menemukan minuman atau makanan.”
Mereka lalu beranjak menjauh dari pantai. Farah dan Marinka lalu duduk di sebuah batang pohon kelapa yang menjulur datar. Sementara Ray meneruskan langkahnya menuju hutan yang ada di depannya. Matahari senja masih memberikan sedikit sinarnya untuk menerangi jalannya. Baru beberapa puluh meter berjalan, Ray mendengar suara air mengalir. Dia lalu berusaha untuk menemukan dari mana asal suara itu. Setelah mencari beberapa lama akhirnya dia menemukan tempat itu. Sebuah kolam air dengan air terjun kecil di atasnya. Airnya tampak jernih. Ray lalu sedikit mencicipi air itu. Airnya tawar dan terasa segar ditenggorokan.
Ray lalu memperhatikan tempat itu. Ada banyak batuan besar yang mengelilingi sekitar kolam. Dan ada diantara bebatuan itu yang saling bertumpukan seakan membentuk Goa. Ray lalu berpikir bahwa Goa buatan itu bisa dipergunakan untuk mereka tinggal selama ada di pulau ini. Ray lalu kembali ke tempat Farah dan Marinka beristirahat sambil membawa air untuk mereka minum.
“Aku menemukan tempat yang bisa kita gunakan untuk beristirahat. Kalau kalian sudah merasa baikan bantu aku untuk membawa barang-barang yang kita kumpulkan tadi siang,” ucap Ray.
Farah dan Marinka membawa barang-barang, sementara Ray membawa kedua papan yang telah menyelamatkan mereka. Satu papan Ray pergunakan untuk alas tidur, sementara yang satu Ray pakai untuk menutupi pintu Goa batu itu agar dapat sedikit mengurangi hawa dingin yang mungkin akan menerpa mereka saat tidur. Mereka semua akhirnya tidur, setelah puas mengisi perut mereka dengan air.
Keesokan paginya Ray bangun lebih dulu dari pada yang lain. Walau tubuh masih sedikit ngilu Ray paksakan diri untuk bangun. Ray yang merasa tubuhnya lengket lalu berjalan menuju kolam. Tanpa mempedulikan hawa dingin dia segera melepas pakaiannya dan masuk ke dalam kolam. Setelah merasa segar dia keluar dari kolam dan memakai pakaiannya kembali. Kini Ray merasa betul-betul segar.
Menyadari mereka bertiga belum makan sejak kemarin, Ray lalu berusaha mencari makanan. Ray memetik beberapa butir kelapa dan beberapa macam buah yang dia temukan di sekitar tempat itu. Sambil menunggu Farah dan Marinka bangun Ray lalu duduk di tepi pantai sambil berpikir apa yang harus dia lakukan.
Sinar matahari mulai tampak di ufuk timur saat Ray mendengar langkah seseorang mendekatinya. Ray menoleh, sedikit terkejut saat Farah berdiri di belakangnya. Bukan karena kedatangannya, tapi keadaan Farah saat itu. Pakaiannya yang robek di beberapa tempat hampir memperlihatkan seluruh tubuhnya yang seksi. Apalagi saat itu sinar mentari seperti menyorot tepat ke tubuhnya, sehingga kulitnya yang eksotis itu terlihat makin menarik.
Sebenarnya keadaan Farah itu sudah dari kemarin. Tentu saja Ray tidak sempat memperhatikan hal seperti itu disaat nyawa mereka terancam. Kini saat keadaan normal, keadaan itu tentu menarik perhatiannya. Farah sendiri cuek walau menyadari keadaan dirinya. Farah lalu duduk di samping Ray.
“Merasa baikan?” tanya Ray.
Farah hanya diam, seperti tidak mendengar pertanyaan Ray. Ray menoleh ke arah Farah. Ray menjadi khawatir melihat keadaan Farah saat itu. Pandangan mata Farah kosong, mukanya tampak sedih, lalu berubah muram, kemudian terdengar isak tangisnya, awalnya lirih lalu makin lama isaknya semakin keras terdengar.
“Kenapa Far?” tanya Ray sambil merangkul Farah mencoba menghiburnya.
Bukan jawaban yang diterima Ray, melainkan tangisnya yang semakin keras hingga bahunya terguncang. Ray lalu membiarkan Farah untuk mengeluarkan air matanya. Dia semakin mengencangkan rangkulannya pada pundak Farah. Merasa mendapat kenyamanan, Farah menjatuhkan kepalanya di dada Ray. Ray membiarkan hal itu sampai tangis Farah mereda sendiri. Hanya isak tangis yang masih sesekali terdengar.
“Kenapa Far?” Ray mengulangi pertanyaannya setelah merasa kalau Farah sudah cukup tenang.
“Aku takut Ray.”
“Takut kenapa?” tanya Ray meski dia bisa menduga apa yang di maksud.
“Aku takut kita tidak bisa pulang. Kalau kita tidak bisa pulang, lalu bagaimana dengan anakku,” ucap Farah dengan takut, sedih, dan gelisah.
“Tenanglah Far. Aku yakin tim SAR pasti sedang mencari kita. Semoga saja tidak lama lagi mereka akan sampai ke tempat ini,” ujar Ray meyakinkan.
“Tapi bagaimana kalau tim SAR tidak pernah sampai tempat ini?” Ucap Farah dengan mata mulai berkaca-kaca lagi.
“Kalau tim SAR tidak sampai sini, mungkin akan ada kapal yang lewat perairan ini. Karena Samudera Hindia merupakan Samudera yang paling banyak dilalui untuk pelayaran,” ujar Ray berusaha untuk lebih meyakinkan.
“Kau yakin? Tapi sampai kapan kita harus menunggu hal itu?”
“Aku tidak tahu Far. Tapi satu yang pasti, aku berjanji kalian berdua pasti akan pulang, bagaimanapun caranya!”
“Terima kasih, Ray. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku jika kau tidak menolongku dan Marinka.”
“Sudahlah jangan terlalu dipikirkan. Kau pasti lapar! Aku sudah mengambil beberapa macam buah untuk kita. Ayo kita isi perut kita dengan buah itu untuk sementara.”
Ray bangkit, kemudian membantu Farah berdiri. Lalu bersama-sama menuju tempat mereka tidur semalam. Sampai di goa itu Ray kembali harus menenangkan Marinka yang juga merasa ketakutan seperti yang dialami oleh Farah. Farah yang sebelumnya sudah tenang kembali terisak melihat Marinka menagis. Akhirnya dengan susah payah, Ray berhasil juga menenangkan mereka. Kemudian dengan sedikit paksaan Ray menyuruh mereka untuk sekedar mengisi perut dengan buah-buahan yang berhasil dipetiknya.
Setelah makan buah-buahan itu, Ray lalu berkata, “Kalian istirahat saja disini. Aku akan mencoba mengitari pulau ini. Siapa tahu ada penghuni, benda atau apapun yang bisa menolong kita untuk kembali ke daratan atau bertahan hidup di tempat ini. Kalau ada sesuatu kalian berteriak saja.”
Setelah berkata seperti itu Ray lalu masuk ke hutan yang ada di belakang goa tempat tinggal mereka. Dengan membawa tongkat kayu yang dibawanya Ray lalu menjelajah hutan berbukit itu. Bukit itu tidak terlalu tinggi, hingga Ray dapat mencapai puncaknya kurang dari satu jam walau dia belum mengenal medan sebelumnya. Sesampainya di puncak Ray lalu mengedarkan pandangannya ke seluruh arah.
Pulau itu ternyata kecil. Luasnya mungkin hanya sekitar lima puluh ribu meter persegi. Ray dapat melihat keseluruhan ujung pulau dari tempat dia berdiri. Hamparan pohon kelapa di sekitar pantai tempat mereka mendarat. Menyambung dengan hamparan pasir putih, lalu gugusan batu koral serta batu karang putih dan terakhir hamparan pepohonan yang menghijau yang kemudian menyatu dengan hamparan pohon kelapa.
Ray juga melihat banyak burung beterbangan di puncak pohon, dan sekitar batu karang mencari ikan. Ray menyadari kini mereka harus menghadapi kenyataan yang ada di depan mereka. Bahwa mereka berada di pulau tidak berpenghuni. Walau pulau ini kecil, tapi dengan keadaan pulau yang seperti ini. Mereka akan tetap bisa bertahan hidup dengan memanfaatkan semua potensi yang ada di pulau ini. Bagi dirinya mungkin tidak masalah, dia sudah hidup sebatang kara. Tapi bagaimana dengan Farah dan Marinka?
Setelah beberapa lama akhirnya Ray turun, kali ini dia turun lewat jalur lain sambil melihat sisi lain dari pulau ini. Menjelang tengah hari Ray baru sampai ke tempat dia meninggalkan Farah dan Marinka. Mereka segera memeluk Ray, begitu melihat kedatangannya.
“Kenapa?” tanya Ray membalas memeluk mereka.
“Kami takut kau meninggalkan kami,” ucap Farah.
“Kenapa kau lama sekali?” sambung Marinka.
“Tenanglah. Aku tidak akan meninggalkan kalian. Mari kita duduk, aku akan berbicara dengan kalian.”
Mereka lalu duduk di papan yang mereka bawa. Setelah diam sebentar, Ray lalu berkata, “Sepertinya kita harus membiasakan hidup di pulau ini sampai ada bantuan yang datang. Kabar baiknya, kita tidak akan kelaparan selama tinggal di sini. Aku tahu kalian berdua mungkin masih shock karena keadaan ini, aku juga mengalaminya. Tapi kita tidak bisa selamanya seperti ini. Kita harus menghadapi kenyataan yang ada. Sambil menunggu bantuan datang, kita harus bertahan hidup. Untuk bertahan hidup kita harus bekerja sama. Karena itu aku butuh bantuan kalian. Kalian mengerti dengan apa yang aku katakan?” ujar Ray memandang mereka berdua.
Keadaan hening untuk sementara. Hanya riak air yang terdengar dari kolam di dekat mereka. “Aku mengerti Ray. Aku akan mengikuti semua petunjukmu, karena aku percaya padamu,” ucap Farah.
“Aku juga percaya padamu Ray. Karena itu aku akan menuruti semua keputusanmu,” lanjut Marinka.
“Terima kasih kalau kalian mau mengerti. Untuk sementara kita tinggal di goa ini, sambil mencari tempat yang lebih baik. Ayo kita periksa barang-barang yang kita temukan, kita manfaatkan apa yang ada.” ucap Ray sambil beranjak ke goa.
Dengan pisau yang ditemukan dalam salah satu koper. Ray lalu membuat tombak dari ranting pohon. Setelah itu dia menuju ke pantai yang banyak di kitari burung untuk mencari ikan. Dengan tombak yang dibawanya dia berusaha untuk menangkap ikan yang berada di sekitar perairan batu karang itu. Dengan susah payah akhirnya Ray berhasil melumpuhkan tiga ikan yang cukup besar. Karena merasa sudah cukup dia lalu berjalan kembali ke goa.
Setelah menyerahkan ikan, Ray kembali ke arah pantai. Di pasir pantai yang cukup lebar dia menulis huruf SOS dengan besar. Lalu membuat semacam umbul-umbul dari sisa kain yang mereka temukan dan menancapkannya di ke empat sisi pulau, juga di dahan pohon yang paling tinggi yang bisa dicapainya.
Setelah selesai, Ray lalu kembali. Ternyata ikan yang dibawanya telah siap santap. Enak rasanya, Walau hanya dimasak sederhana. Apalagi yang memasak adalah dua orang Chef yang terkenal. Mungkin karena sebagian penumpang adalah para Chef, maka barang yang mereka bawa berhubungan dengan dapur. Dari beberapa barang yang ditemukan terdapat satu set pisau, beberapa botol bumbu dapur, tabung gas kecil siap pakai, pemantik api, celemek dan lain sebagainya.
Pulau tanpa nama, Hari ke 3 – 7.
Hari-hari selanjutnya semuanya mulai terbiasa dengan rutinitas kehidupan di pulau itu. Mereka masih tetap tinggal di goa itu, karena Ray merasa belum menemukan tempat yang lebih baik. Dengan daun dan kain mereka membuat semacam alas tidur. Kemudian mereka membagi tugas. Farah dan Marinka akan bergantian memasak, dan yang tidak memasak akan ikut bersama Ray untuk mengumpulkan kayu, daun buat sayur, buah dari hutan. Lalu menangkap ikan dengan tombak, atau kalau beruntung bisa menangkap burung dengan jebakan yang mereka buat.
Hubungan mereka semakin akrab dan intim, jiwa mereka seakan sudah menyatu. Bahkan seakan sudah tidak ada sekat dan jarak diantara mereka. Rasa malu sudah sedikit menghilang. Ya dengan keadaan seperti itu, tidak mungkin pakaian mereka akan di pakai berhari-hari. Kadang-kadang mereka harus mencucinya, dan mau tidak mau mereka hanya memakai celemek untuk sekedar menutup tubuh mereka. Tapi makin lama ketelanjangan bukan hal yang aneh diantara mereka.
Pemandangan pulau itu cukup indah. Cuacanya juga bersahabat. Andai saat ini mereka bukan dalam keadaan terdampar, mungkin mereka akan menganggap ini adalah suatu liburan yang sangat sempurna. Terutama hal itu berlaku bagi Ray. Bagaimana tidak, dia bagai hidup di surga dengan dua bidadari di sampingnya.
Mungkin sebenarnya mereka semua sama-sama tahu apa yang ada dalam pikiran masing-masing, tapi tidak tahu bagaimana cara memulainya. Andai saja mereka berdua, entah Ray dan Farah atau Ray dan Marinka maka hubungan itu akan mudah berlangsung. Untuk Farah dan Marinka mereka mungkin bisa menyembunyikannya. Tapi bagi Ray tentu hal itu sulit sekali, apalagi ukuran penis yang besar akan mudah kelihatan saat dia merasa horny karena melihat tubuh masing-masing.
Pulau tanpa nama, Hari ke 8.
Hari itu adalah giliran Marinka yang memasak. Sementara Ray dan Farah yang mengumpulkan makanan. Setelah mengumpulkan buah dan kayu, mereka lalu menuju pantai untuk mencari ikan. Karena tempat yang biasa sudah berkurang ikannya, mereka mencari sedikit jauh.
Entah apa yang ada dalam pikiran Farah, hari ini dia seperti ingin menggoda Ray. Seperti waktu di dalam hutan, dia pura-pura terkilir kemudian minta digendong Ray. Ray tentu dengan senang hati menggendongnya, tapi akibatnya tubuh bawahnya menjadi bangun. Dan dia harus sekuat hati menahannya agar tidak terlihat Farah maupun Marinka.
Kini saat Ray sedang berusaha untuk menangkap ikan, Farah mengagetkannya hingga ikannya menjadi kabur. Dua kali dia melakukan hal itu, dan Ray tahu Farah sengaja menggodanya. Untuk beberapa saat Ray masih cuek, tapi saat Farah mendorong tubuhnya hingga terjebur ke laut, Ray melayani godaan Farah. Dia menyipratkan air ke arah Farah.
Farah berusaha lari menghindar. Mereka lalu bekejaran di tepi pantai itu. Ketika jarak sudah cukup dekat, Ray lalu menangkap lengan Farah dengan tangan kanannya, sementara lengan kirinya menarik pinggang Farah ke tubuhnya. Farah terjerambab dalam pelukan Ray, Farah berusaha melepaskan diri. Tapi Ray mencium bibir Farah, kemudian memondongnya ke tempat teduh dan membaringkannya di pasir putih pantai itu.
Farah berupaya berontak melepaskan diri, tetapi Farah tidak melakukan perlawanan atau upaya melepaskan diri yang berarti. Sepertinya hanya suatu gerakan manja yang malah makin merangsang birahi dari Ray, seperti gerakan anak perawan yang malu-malu kucing. Ray lalu menindih tubuh Farah di atas pasir yang lembut dan hangat.
Pagi ini Farah tampak sangat menggoda. Cantik dan seksi dalam pakaian hitamnya yang telah sobek di beberapa tempat. Kepalanya menengadah, seakan siap menerima sentuhan. Ray mencoba mencium lehernya, tidak ada reaksi perlawanan. Ray melanjutkan ciumannya ke arah buah dadanya, Farah hanya menggeliat sambil mencakar-cakar dan menarik baju kaos Ray satu-satunya hingga robek, sewaktu mulut Ray mulai menggelitik kedua putingnya, lalu ke bawah, turun keperut sampai ke bawah pusatnya. Persis menggigit halus gumpalan daging di atas pubisnya walaupun masih dibalik bajunya.
Farah mengerang, gigitan halus ditempat itu membuat Farah seperti kesurupan, “Ohhchh Ray, jangan siksa aku,” desah Farah meminta.
“Kaulah yang menyiksaku selama ini, Far,” balas Ray sambil melucuti pakaian Farah.
Farah juga aktif melucuti celana pendek Ray. Dan dia takjub saat melihat penis Ray yang begitu besar. Ray tidak membiarkan Farah mengagumi penisnya. Dia langsung mengecup bibir Farah, kemudian melumatnya. Farah tidak mau kalah, dia membalas lumatan itu dengan tidak kalah ganasnya. Sementara bibirnya melumat bibir Farah, tangan Ray bergerilya ke arah dada. Tangannya menemukan gundukan bukit besar, lalu dielus-elus dan diremasnya buah dada sambil sesekali memelintir putingnya.
“Ooh.. Ray.. ergh.. sshh..,” Farah mulai mendesah menandakan birahinya yang mulai naik, sesekali Farah menelan ludahnya yang mulai mengental.
Setelah puas dengan bibir Farah, kini mulut Ray turun ke bawah. Tampaknya Ray ingin merasakan bagaimana rasanya mengulum buah dada Farah yang terkenal besar. Sejenak Ray memandangi buah dada yang kini tepat berada di hadapannya, ‘Ooh sungguh indahnya, mulus tanpa cacat sedikitpun, seperti belum pernah terjamah lelaki’ pikir Ray. Setelah puas memandangi, Ray lalu mulai menjilati mulai dari bawah lalu ke arah putingnya. Sedangkan buah dada kanannya tetap diremas-remasnya, sehingga semakin terasa kenyal dan mengeras di telapaknya.
“Emmh oh aarghh..!” Farah mendesah hebat ketika Ray menggigit puting susunya. Matanya merem-melek dan giginya menggigit bibir bawahnya.
Setelah puas dengan buah dada, kini jari Ray merayap ke arah selangkangan Farah. Ditempat itu Ray merasakan ada rumput yang tumbuh di sekeliling vaginanya. Lalu jari-jari Ray bergerak ke arah dalam, terasa lubang itu sudah sangat basah, tanda bahwa Farah sudah benar-benar terangsang. Ray mempermainkan jari-jarinya sambil mencari klitorisnya. Mengerakkan jari-jarinya keluar-masuk di dalam lubang yang semakin licin tersebut.
“Aargghh.. eemhh.. Ray.. oohhh..!” kata Farah meracau tidak karuan, kakinya menjejak-jejak pasir dan badannya menggeliat-geliat.
Ray tidak mempedulikan kata-kata Farah. Tubuh Farah semakin menggelinjang dikuasai nafsu birahi. Ray merasakan tubuh Farah menegang dan wajahnya memerah bercucuran keringat, Ray berpikir Farah sudah mau klimaks. Dia mempercepat gerakan jarinya didalam vagina Farah.
“Ohh.. arghh.. oohh..!” kata Farah dengan nafas tersengal-sengal dan tiba-tiba.. “Oohh aahh..!” Farah mendesah hebat dan pinggulnya terangkat, badannya bergetar hebat beberapa kali. Cairan hangat memenuhi vaginanya. “Ohh.. ohh.. emhh..” Farah masih mendesah-desah meresapi kenikmatan yang baru diraihnya.
Setelah memberi Farah waktu sejenak, untuk menikmati orgasmenya, Ray lalu berbisik di telinga Farah, “Giliranku Far.”
Melihat Farah mengangguk kecil, Ray lalu kembali mencumbu Farah seperti yang dilakukannya tadi. Mulai dari melumat bibirnya, mengenyot buah dadanya, dan jari-jarinya yang kembali bermain di dalam vagina Farah.
“Aarghh.. emhh.. ooh…” terdengar Farah mulai mendesah-desah, menandakan dia telah kembali terangsang. Setelah Ray merasa cukup, dia lalu mensejajarkan tubuhnya di atas tubuh Farah. Melihat itu Farah lalu mengangkangkan pahanya, Ray kemudian mengarahkan penisnya ke vagina Farah. Perlahan-lahan Ray memasukkan penisnya, cukup mudah penis itu memasuki vagina Farah karena sudah sangat basah dan licin. Kini Ray mulai menggerakkan pinggulnya naik turun perlahan-lahan.
“Lebih cepat Ray arghh.. emhh..” kata Farah terputus-putus dengan mata merem-melek. Ray mempercepat gerakannya dan terdengar suara berkecipak dari vagina itu. “Iya.. begitu.. aahh.. ter.. rrus.. arghh..” Farah berkata tak karuan.
Keringat birahi telah melumuri tubuh mereka berdua, dan entah berapa lama pergumulan mereka. Dua anak manusia yang berada di tempat asing, yang tampaknya nafsu yang sudah lama terpendam membuat mereka berdua lupa segala-galanya. Baik tempat, waktu, maupun keadaan. Tiba-tiba Farah minta berganti posisi, kini Farah berada di atas. Dia lalu memasukkan penis Ray ke lubang vaginanya, sambil menarik tubuh Ray untuk duduk dan menyedot kedua putingnya.
Farah kemudian menggoyangkan pinggulnya naik turun. “Ray, i want to cum agains.. oohh.. ahh.. aahh.. ahh..” kata Farah sambil mendesah panjang, tubuhnya bergetar dan Ray dapat merasakan vagina Farah dipenuhi cairan hangat yang kemudian menyiram penisnya.
Remasan dinding vagina Farah begitu kuat, hingga membuat Ray merasa keenakan. Dia lalu mempercepat gerakannya, “Ohh Farr..! I want to cum, Farr..!” dan.., ‘croott..’ Ray juga mencapai klimaks. “Aaahh..,” desah Ray membiarkan spermanya keluar di dalam vagina Farah.
Vagina Farah berdenyut ikut memeras sperma yang muncrat dari penis Ray, tak ada setetespun yang tercecer diisapnya semua, dan mereka semakin mengencangkan pelukannya sambil menikmati sisa birahi. Berciuman, berpelukan, lemas dan Farah tersenyum nikmat. Badannya masih telungkup di atas tubuh Ray, sementara penis Ray masih berada di dalam vaginanya.
“Kamu nakal Ray,” kata Farah tersenyum sambil menggelitik dada Ray dengan jari-jarinya.
“Karena kau, aku jadi nakal,” balas Ray juga menggelitik gundukan daging diatas pubisnya.
“Oowwhh.. Ray, stop it,” teriak Farah sambil mengencangkan pelukannya.
Belum lagi keringat dan lendir yang melumuri tubuh mereka mengering, Farah tiba-tiba mencoba untuk berdiri. Tetapi Ray menahannya, “Kenapa Far,” tanya Ray.
“Aku takut Marinka kemari,” ucapnya pelan.
“Kenapa kalau Marinka kemari. Dia tahu juga tidak apa-apa,” kata Ray sambil mengecup bibir Farah. Ray kemudian membalikan badannya, sehingga Farah sekarang terlentang dibawahnya. Lalu dengan penuh kelembutan Ray melumat bibir Farah.
“Terserah kamu Ray, Owwhh”
Setelah medapat persetujuan, Ray makin berani. Dia menggunakan lidahnya untuk membelah bibir Farah, mempermainkan lidahnya. Farah pun mulai berani, lidahnya juga dipermainkan sehingga lidah mereka saling beradu, membuat Ray semakin betah saja berlama-lama menikmati bibir Farah.
Seperti babak sebelumnya, tangan Ray juga beroperasi di dada Farah. Meremas-remas dadanya yang kenyal mulai dari lembah hingga ke puncaknya, lalu dipelintir putingnya sehingga membuat Farah menggeliat dan mengelinjang.
Dua bukit kembar itupun semakin mengeras. Farah menggigit bibir Ray, ketika Ray memelintir putingnya. Ray yang sudah puas dengan bibir Farah, kini mulutnya mengulum dan melumat buah dada Farah. Dengan sigap lidahnya menari-nari diatas bukit yang coklat mulus itu. Tangannya tetap meremas-remas buah dada Farah yang kanan. Mata Farah menjadi redup, dan dia memagut-magut bibirnya sendiri, mulutnya mengeluarkan desahan erotis.
“Oohh.. arghh.. en.. ennak Ray.. emhh..” kata Farah mendesah-desah.
Tiba-tiba tangannya memegang tangan Ray yang sedang meremas-remas dadanya dan menyeretnya ke selangkangannya. Ray paham apa yang diinginkan Farah, rupanya dia ingin Ray segera mempermainkan vaginanya. Jari-jari Ray segera bergerilya di vagina Farah. Ray menggerakkan jarinya keluar masuk dan mengelus-elus klitorisnya membuat Farah semakin menggelinjang tak karuan.
“Ya.. terruss.. aargghh.. emmhh.. enak.. oohh..” mulut Farah meracau. Setiap kali Farah terasa mau mencapai klimaks, Ray menghentikan jarinya menusuk vagina Farah, setelah dia agak tenang, Ray kembali mempermainkan vagina Farah. Hal itu dilakukan Ray berulang kali.
“Emhh Ray.. dont be me mads oohh…! kata Farah memohon.
Mendengar itu membuat Ray merasa kasihan juga, tapi tentu saja tidak akan membuat Farah klimaks dengan jarinya karena dia punya pikiran lain. Ray mengarahkan mulutnya ke selangkangan Farah. Menyibakkan rumput-rumput hitam yang ada disekeliling vagina Farah, dan terlihatlah vagina Farah yang merah dan mengkilap basah, sungguh indah dipandang. Segera Ray menjilati lubang itu, lidahnya dijulurkan keluar masuk.
“Ray.. arghh.. emhh..” desah Farah.
Ketika lidah Ray menyentuh klitorisnya, Farah mendesah panjang. Tubuhnya menggeliat tidak karuan, dan tidak lama kemudian tubuhnya bergetar beberapa kali. Tangan Farah mencengkeram pasir, akhirnya mulut Ray di penuhi cairan yang keluar dari liang kewanitaan Farah.
“Ohmm.. emhh.. ennak Ray.. aahh..” kata Farah ketika ia klimaks.
Setelah Farah selesai menikmati kenikmatan yang diperolehnya, Ray kembali mencumbunya, karena Ray juga ingin mencapai kepuasan. Setelah vagina Farah siap, Ray lalu memasukan penisnya ke dalam vagina Farah. Penis Ray kembali mengaduk vagina Farah untuk kedua kalinya. Dan Farah dengan senang menggoyangkan pinggulnya melingkar dan naik turun, sambil kedua kakinya melilit tubuh Ray. Tidak sampai disitu, Farah juga aktif mencium bibir Ray. Kemudian menarik kepala Ray dan membawa ke dadanya, sepertinya buah dada Farah juga ingin dikulum dan dikenyot.
Farah menjadi sangat agresif dan ganas. Mungkin pelampiasan dari birahinya yang terpendam setelah perceraiannya. Dan tanpa ragu-ragu Ray melayani permainan dari Farah. Sungguh nikmat dan tidak pernah ada dalam bayangan Ray, bahwa wanita yang sempurna dalam paras maupun tubuh, juga sangat sempurna dalam bercinta, kini sedang ada dalam pelukannya.
Farah meminta digendong sambil melingkarkan kakinya dipinggang Ray, agar penis Ray tidak terlepas dari vaginanya, sambil Ray melumat kedua buah dadanya bergantian dengan mulutnya sambil dionjot-onjot. Karena gaya itu sangat menguras tenaga mereka berdua, maka Farah meminta Ray untuk segera menyudahi. Ray lalu duduk di bawah pohon, kemudian mendudukkan Farah di atas selangkangannya berhadapan. Farah membuang kepalanya ke belakang memberikan kesempatan agar kedua buah dadanya dihisap dan diremas Ray.
“Auuww achhh…!” desah Farah saat mencapai orgasmenya yang kedua, dia memburu dengan mengocok vaginanya dengan tumbukan penis Ray menggetarkan seluruh tubuhnya termasuk buah dadanya.
Ray menghentikan gerakannya untuk membiarkan Farah menikmati kenikmatan yang diperolehnya. Setelah itu Ray lalu mencabut penisnya dan menyuruh Farah menungging lalu memasukkan penisnya dari belakang. Farah terlihat hanya pasrah saja terhadap apa yang Ray lakukan kepadanya.
Farah hanya bisa mendesah kenikmatan. Setelah puas dengan posisi ini, Ray menyuruh Farah rebahan kembali. Ray memasukkan lagi penisnya dan kembali memompa vagina Farah, karena Ray sudah ingin sekali mengakhirinya. Beberapa saat kemudian Farah ingin klimaks lagi, wajahnya memerah, tubuhnya menggelinjang kesana kemari.
“Ahh.. oh.. aku mau enak lagi Ray.. arrghh ahh..” kata Farah.
“Tunggu Far, ki kita bareng. Aku juga hampir,” kata Ray.
“Aku sudah tidak tahan Ray.. ahh..” kata Farah sambil mendesah panjang, tubuhnya bergetar hebat, pinggulnya terangkat naik.
Cairan hangat menyiram penis Ray, dan dinding vagina Farah seakan-akan menyedot penis Ray begitu kuat. Dan akhirnya Ray tidak kuat juga, dan ‘croott..’
“Ohhhhh Farr… Akhu.. jugha.. achhhhh..,”
Dan Farah hanya terdiam mendesis. Lama sekali mereka berdiam berpelukan sambil menikmati hangatnya birahi.
“You are great, honey,” kata Farah tersenyum puas.
Ray mengecup mulut itu, sebelum Farah meminta Ray menggendongnya kembali ke goa. Saat melihat Farah digendong Ray, Marinka hanya tersenyum. Tampaknya Marinka tahu apa yang terjadi, tapi dia hanya diam.
Pulau tanpa nama, Hari ke 9.
Keesokan harinya Ray berteriak girang saat melihat sesuatu menuju ke arah pulau itu, saat dia sedang memeriksa jebakan untuk burung di atas pohon. Ray memberi tahu Farah dan Marinka, mereka tampak senang sekali. Lalu bersama menanti di tepi pantai untuk menyongsong hal itu. Mereka semakin gembira saat benda itu mendekat, tampak seperti perahu.
Ternyata itu memang perahu. Memang hanya perahu nelayan kecil. Tapi cukup kalau hanya untuk lima orang. Melihat hal itu mereka menjadi sedikit heran. Dan bertambah heran saat tidak melihat siapapun di atas perahu itu. Karena penasaran, Ray lalu terjun ke laut dan berenang mendekati perahu itu.
Rasa girangnya menjadi kekecewaan saat dia tahu bahwa perahu itu memang tidak ada penumpangnya. Ray lalu mencoba mendorong perahu itu ke arah pantai. Saat tahu apa yang terjadi Farah dan Marinka juga tampak kecewa dan sedih. Setelah Ray mengikat perahu itu, mereka lalu kembali ke goa. Dan Ray memahami kekecewaan mereka, sama seperti dirinya yang juga kecewwa.
Pulau tanpa nama, Hari ke 10 – 20.
Hari-hari selanjutnya kehidupan di pulau itu kembali seperti sebelum datangnya perahu yang terdampar. Farah dan Marinka sepertinya sudah sama-sama tahu, kalau saat salah seorang diantara mereka ikut mencari makanan bersama Ray maka mereka akan bercinta dengan Ray. Yang belum pernah mereka lakukan adalah bercinta secara bersama atau Thresome. Ada keinginan dalam hati mereka masing-masing untuk melakukan hal itu. Tapi mereka belum tahu bagaimana cara memulainya.
Bagi Ray tempat ini adalah surga. Bagaimana tidak, semua kebutuhan dasar manusia bisa dia dapatkan di pulau ini. sumber makanan berlebih, tempat tinggal tidak masalah, mau bercinta dia bisa memilih. Dengan Farah atau Marinka. Itu adalah keinginan Ray. Tapi dia juga tidak ingin menjadi egois. walau Farah dan Marinka tampak senang dan bahagia, tapi Ray tahu apa yang ada dalam hati mereka.
Mereka pasti menginginkan untuk bisa kembali ke daratan. Hal itulah yang menjadi pikiran Ray selama berhari-hari selanjutnya. Ray berpikir, kemungkinan bantuan dari luar tampaknya hampir nol persen. Sudah dua minggu lebih mereka di sini, tapi tidak ada tanda-tanda bantuan itu. Masalah itu membuat Ray berpikir untuk bisa mencari jalan kembali ke daratan.
Pertama Ray berusaha untuk menganalisa kejadian ini dari awal. Kapal itu besar dan canggih. Kalau kapal itu kehilangan kontak, pasti akan segera diketahui lokasi terakhirnya. Dengan diketahuinya lokasi, pertolongan akan segera datang Walau mungkin tidak dapat menyelamatkan seluruh penumpang. Dan dengan tenggelamnya kapal itu, tentu akan dilakukan pencarian besar-besaran untuk para penumpang yang hilang. Tapi kenapa pencarian itu tidak sampai ke pulau ini.
Apakah pulau ini terlalu jauh dari lokasi kejadian. Ray lalu mencoba berpikir dimana kira-kira mereka berada. Mereka mengawali perjalanan dari pelabuhan Colombo. Tujuan atau persinggahan pertama kapal pesiar itu adalah kepulauan Maladewa. Jadi tenggelamnya kapal itu pasti terjadi antara Colombo ( Srilangka ) dan Maladewa.
Ray mmencoba kembali menggunakan nalarnya. Anggap saja kejadian itu di sebelah timur dari Maladewa. Lalu kejadian itu terjadi sekitar pukul 12 malam atau 1 pagi. Kemudian mereka mendarat di pulau ini sekitar pukul 5 atau 6 sore. Itu berarti mereka terseret oleh arus laut selama 17 sampai 19 jam. Di Samudera Hindia kecepatan angin saat keadaan normal adalah 50 kilo meter perjam. Jadi kemungkinan jarak terjauh pulau ini dengan tempat kejadian adalah sejauh 950 kilo meter.
Masalahnya mereka awalnya terseret ke arah mana. Mereka tahu terseret ke arah selatan setelah empat jam dari kejadian. Yang pasti mereka tidak ke arah barat, barat daya maupun barat laut. Sementara kemungkinan yang terjadi adalah pertama mereka ke utara, lalu ke arah selatan. Yang kedua ke arah timur laut, lalu ke selatan. Ketiga adalah ke arah timur, lalu ke selatan. Keempat ke arah tenggara, lalu ke selatan dan yang terakhir adalah mereka menuju arah selatan sejak terseret pertama kali, saat terjun dari kapal.
Diarah manapun pulau ini berada kalau mau ke daratan mereka harus menuju arah barat laut, utara atau timur laut. Saat mereka terseret dan tanpa beban kecepatan mungkin bisa sampai 50 kilo meter perjam. Tapi kalau mereka berusaha menggunakan perahu yang terdampar itu entah berapa kecepatan yang bisa mereka tempuh. Apalagi perahu itu mesinnya tidak bisa digunakan, karena tidak ada bahan bakar.
Apakah mereka harus mengambil resiko untuk melakukan perjalan di samudera yang luas tanpa tahu berapa lama mereka sampai tujuan. Setelah beberapa hari berpikir, akhirnya Ray berencana untuk membicarakannya dengan Farah dan Marinka.
Pulau tanpa nama, Hari ke 21 – 35.
Hari itu adalah hari kedua puluh satu mereka berada di pulau itu. Pagi itu, sehabis sarapan Ray berkata, “Aku ingin berbicara dengan kalian,” ucapnya dengan serius.
Farah dan Marinka berpandangan. “Ada apa Ray,?” tanya Farah.
“Iya, tampaknya serius,” sambung Marinka.
Sesaat Ray memandang mereka berdua, kemudian berkata, “Aku tahu kalian merasa bahagia di pulau ini. Tapi itu karena keadaan yang memaksanya. Aku punya usul, bagaimana kalau kita berusaha untuk pergi dari pulau ini dan kembali ke daratan. Tapi kalian jangan senang dulu. Aku tidak menjamin kita bisa selamat sampai tujuan. Yang bisa kita lakukan adalah berusaha, berharap dan yang terakhir adalah berdo’a. Bagaimana? Kalau kalian setuju dan mau mengambil resiko dengan taruhan nyawa, akan aku katakan rencanaku. Tapi kalau kalian tidak mau dan ingin tetap di pulau ini, maka aku akan menemani kalian selamanya.”
“Kami terserah padamu Ray,” jawab Marinka.
“Kalian jangan langsung memutuskan, berpikirlah satu atau dua hari. Setelah itu baru kalian membuat keputusan.”
“Benar apa yang dikatakan Marinka, Ray. Kami sudah memasrahkan hidup kami padamu. Kau ingin mengajak kami meninggalkan pulau, kami akan mengikutimu walau dengan taruhan nyawa. Bahkan kalau kau ingin kami menemanimu seumur hidup di pulau ini, kami akan dengan sukarela melakukannya,” ujar Farah.
Ray merasa terharu atas jawaban mereka. “Aku sangat berterima kasih atas kerelaan dan kepercayaan kalian yang begitu besar padaku. Baiklah, aku sudah putuskan mengajak kalian untuk berusaha mencoba kembali ke dunia kita. Aku berjanji, kita akan berusaha selamat bersama-sama. Tapi bila tidak, aku yang akan mati lebih dulu dari kalian. Baiklah akan aku ceritakan rencanaku.”
Ray lalu menceritakan apa yang menjadi dasar pemikiran, pertimbangan, maupun keputusannya. Dia lalu mengutarakan rencananya, juga meminta masukan dari mereka berdua. Akhirnya setelah semuanya mengerti, Ray lalu berkata, “Baiklah, dalam dua minggu kita persiapkan semuanya. Aku akan mempersiapkan perahu, Farah mempersiapkan perbekalan, dan Marinka membantu siapa saja yang membutuhkan.”
Mulai hari itu mereka mempersiapkan segalanya. Setelah merasa yakin perahu itu bisa digunakan, maka dia yang mulai belajar cara mengendalikan perahu. Lalu cara menggulung dan mengembangkan layar dengan cepat, layu mengendalikan layar itu. Bagaimana cara mengendalikan perahu saat ombak besar atau angin kencang, cara menghindari batu karang dan lain sebagainya.
Farah dan Marinka juga mempersiapkan apa yang menjadi tugasnya. Mereka mempersiapkan air tawar, lalu buah-buahan, lalu ikan dan daging yang dikeringkan, juga membantu Ray mempersiapkan perahu itu. Tentu juga persiapan fisik dan mental. Selain itu, mereka yang sangat berterima kasih terhadap segala usaha dan kerja keras Ray, setiap malam akan melayani Ray layaknya melayani kekasih atau suami mereka.
Pulau tanpa nama, Hari ke 36.
Akhirnya hari yang mereka tunggu datang juga. Pagi itu mereka mengangkat semua barang yang mungkin akan dibutuhkan saat berada di tengah samudera. Ray yang sudah mengamati pergerakan angin selama di pulau itu tahu kapan saatnya angin akan berhembus ke arah utara. Mereka kini telah bersiap dengan menggunakan jaket pelampung yang pernah menyelamatkan mereka.
“Baiklah, tampaknya sudah tiba waktunya. Sebelum berangkat kita berdo’a dulu,” ucap Ray.
Setelah selesai berdoa, mereka sejenak memandang ke pulau yang pernah mereka tinggali selama lima minggu ini. “Ayo berangkat,” kata Ray.
Bersama-sama mereka lalu mendorong perahu itu ke tengah laut. Begantian lalu naik ke atas perahu itu. Ray masih dilaut untuk memastikan agar perahu itu bisa terbawa oleh angin. Setelah yakin, barulah Ray naik ke atas perahu. Ray lalu menarik tali yang mengikat layar, hingga layar itu membuka lebar.
Setelah layar mengembang maka perahu itu meluncur cukup cepat ke arah utara. Wajah Farah dan Marinka tampak tegang dan gelisah, sementara Ray mencoba untuk tenang. Hari itu perjalanan cukup lancar, perahu bisa terus melaju ke arah utara. Pasti ada sedikit membelok ke timur laut atau barat laut, tapi selama tidak membelok jauh, Ray membiarkan saja.
Ketika sore menjelang malam, angin berubah arah. Ray lalu menurunkan layar, dan menggunakan dayung agar perahu tidak terseret mengikuti arah angin. Malam itu sangat indah, karena bulan hampir terlihat penuh. Dan tampak dekat sekali dengan mereka. Ray meminta Farah dan Marinka untuk bergantian istirahat, dan salah satunya menemani dirinya. Ray meminta mereka menemaninya ngobrol. Karena dia takut akan tertidur kalau berdiam sendirian.
Tentu akan sangat berbahaya kalau semuanya tertidur. Selain ancaman gelombang, bisa saja mereka tercebur ke laut. Untunglah malam itu perjalanan berlangsung aman dan lancar.
Samudera Hindia, Hari ke 41.
Hari kedua dan ketiga perjalanan lancar tanpa ada gangguan. Hari keempat mulai ada gangguan. Selain gelombang yang sedikit membesar, kodisi fisik mereka juga mulai turun. Dehidrasi adalah yang terutama. Tentu saja hal itu terjadi karena disamping harus menghemat air yang mereka bawa, juga matahari yang begitu terik saat siang, seakan membakar mereka. Selain itu mual, demam, halusinasi dan kondisi mental mempengaruhi mereka.
Hari kelima keadaan semakin memburuk, kondisi fisik Ray juga mulai turun. Hal itu mulai diperparah dengan psikis Farah dan Marinka yang semakin turun. Mereka semakin banyak melamun bahkan kadang-kadang mengigau. Hal itu membuat Ray menjadi tidak bisa beristirahat, karena takut terjadi sesuatu pada mereka.
Malamnya menjadi waktu yang paling buruk. Angin bertiup cukup kencang. Gelombang juga lebih tinggi dari malam-malam sebelumnya. Ray terpaksa mengikat Farah dan Marinka menjadi satu. Agar antara satu dan lainnya tidak terpisah. Angin semakin kencang, hingga tiang layar berderak-derak.
Berkali-kali ombak yang meninggi itu menghantam perahu hingga meninggalkan sisa air dalam perahu. Hal baiknya adalah Farah dan Marinka menjadi sedikit sadar. “Ray.. aku takut,” kata Marinka sambil memeluknya.
Begitu juga Farah, dia juga memeluk Ray. Bagi Ray hal ini lebih baik, dari pada mereka hanya diam saja. “Tenanglah, kalian jangan terlalu ke pinggir. Usahakan agar perahu ini tetap stabil. Ikat kuat-kuat jaket kalian. Kita berdo’a saja semoga ada yang melihat tanda yang kita berikan. Karena aku rasa kita telah sampai di lautan yang biasa di lewati kapal yang berlayar,” ujar Ray menenangkan.
Hal itu berlangsung lama, hingga apa yang di takutkan oleh ray terjadi. ‘Kraaak’ tiang layar berderak patah, dan jatuh ke laut, Hal itu membuat perahu oleng dan mereka bertiga hampir terlempar ke laut andai Ray tidak cepat berpegangan.
“Kalian tidak apa-apa?” tanya Ray pada mereka berdua.
“Ya,” jawab mereka.
“Kalian berpegangan pada tiang ini sebentar,” kata Ray, memindahkan tangan mereka yang memeluknya ke tiang layar yang telah patah.
Dia lalu berjalan mengambil tong air yang telah kosong. Mengikat tong-tong itu dan ujung satunya dia ikat pada pada tubuh Farah dan Marinka. “Ini akan jadi pelampung yang cukup baik, kalau terjadi sesua..,”
Belum sempat Ray menyelesaikan ucapannya, sebuah gelombang air laut menerpanya. Ray terjengkang dan jatuh ke laut, untung dia masih sempat berpegangan pada pingiran perahu. “Ray…!” teriak Farah dan Marinka.
Ray berusaha untuk naik dibantu oleh Farah, sementara Marinka memegangi Farah dari belakang. Dengan susah payah, akhirnya Ray bisa naik. “Kau tak apa-apa Ray,” tanya Farah.
“Tidak apa-apa, terima kasih,” jawabnya.
Baru saja Ray berdiri tegak, gelombang tinggi kembali datang. Kali ini gelombang menghantam Farah dari belakang. Karenanya dia terjengkang ke depan dan menabrak Ray. Ray yang tidak siap menjadi kehilangan keseimbangan, hingga dia terjengkang ke belakang dan jatuh bersama Farah.
“Ray, Far…!” teriak Marinka.
Untung bagi Farah, tong air yang telah diikat Ray membuat dia cepat naik ke atas. Ray berusaha tidak panik, dia berenang secepatnya untuk naik kepermukaan. Sampai di permukaan dia menengok kiri-kanan, Ray menjadi sedikit lega mengetahui Farah sudah di tepi perahu. Dia lalu membantu Farah naik ke perahu.
Setelah Ray berhasil kembali naik, mereka berusaha agar tidak banyak membuat gerakan. Nafas Ray sudah kembang kempis. Dia tampaknya benar-benar sudah kehabisan tenaga. Hampir dua hari tidak istirahat tentu membuat staminanya berada di titik rendah, di tambah lagi dengan keadaan ini. Hanya rasa tanggung jawab yang membuatnya tetap kuat untuk berdiri menghadapi ini.
Ray tidak bisa membayangkan bagaimana seandainya mereka kembali terjatuh ke laut. Kekhawatiran Ray sedikit mereda saat gelombang mulai mengecil dan angin kembali sepoi-sepoi. Ray menghela nafas panjang dan meminta Farah dan Marinka untuk beristirahat.
Baru beberapa menit merasa lega, mendadak muka Ray berubah pucat. Dia teringat suasana sebelum peristiwa itu terjadi. Dan dia mendengar suara yang sama seperti saat itu. Suara seperti pesawat terbang, suara itu semakin semakin keras. Tiba-tiba ‘Blaaar..’ ombak tinggi menghantam perahu.
“Oooh… My.. Goods..,” Farah dan Marinka berteriak kaget.
Perahu oleng ke kanan. Ray yang melihat gelombang lain menuju ke arah perahu segera menarik Farah dan Marinka, kemudian mengajak mereka melompat keluar. ‘Byuuur..’ Tepat saat mereka melompat gelombang besar menghantam perahu itu hingga terbalik. Beruntung mereka lebih dulu melompat, kalau terlambat mungkin mereka akan terjebak di bawah perahu.
Farah dan Marinka segera muncul ke atas permukaan, karena tarikan tong air. Farah dan Marinka berteriak-teriak memanggil Ray, karena Ray tidak muncul-muncul ke permukaan. Ray sendiri masih berusaha untuk berenang ke atas, tapi dia merasa tangan dan kakinya sulit untuk digerakkan. Dan tarikan arus di bawahnya menambah beban untuk dirinya berenang ke atas.
Ray terus berusaha, walau dia merasa tenaganya semakin berkurang, lehernya telah menelan beberapa teguk air laut. Kepalanya terasa berat dan matanya berkunang-kunang. Saat itulah kesadarannya menghilang, tangan dan kakinya terasa lemas dan tidak bisa digerakan. Tubuhnya terasa semakin ringan dan melayang. Saat itulah Ray berpikir, mungkin inilah saatnya dia meninggalkan dunia fana ini.
Gambaran peristiwa masa lalu melintas di matanya. Mulai dari masa kecilnya yang tidak pernah mengenal kedua orang-tuanya. Masa sekolah, masa dia bermain, belajar dan bersahabat. Masa kuliah, masa dia mengenal wanita dan mendapatkan cinta pertamanya, Cynthia. Masa kerja, saat di pulau itu dan hingga kini saatnya dia menghadapi kematian.
Tubuhnya terasa melayang semakin ke atas, saat itulah dia melihat Rangga, Dani, Gavin dan.. “Selamat tinggal semuanya,” bisik Ray, dan semuanya menjadi hitam gelap.
Penutup
Ray mencoba membuka matanya, tapi dia segera menutup matanya kembali, karena silau. Setelah beberapa kali mencoba, matanya bisa menyesuaikan. Tapi hanya warna putih yang dia lihat. Apakah dia di surga atau neraka, pikir Ray. Bukan, bantahnya. Karena saat ini dia bisa merasakan sakit dan selang infus di tangannya. Tapi dimana?
“Ray, kau sudah sadar?” suara seorang wanita menegurnya.
Ray mencoba menoleh untuk melihat siapa orangnya, walau dia merasa sudah tidak asing dengan suara itu. “Kau tidak usah bergerak dulu, aku akan memanggil Pak Rangga,” ucap wanita itu, yang bukan lain adalah Sarah, sekertaris dari Rangga.
Mendengar ucapan itu Ray langsung menyadari siapa wanita itu. Tidak lama kemudian Sarah kembali masuk diikuti beberapa orang. Ray menjadi tersenyum melihat siapa saja yang berdiri di depannya. Apakah waktu itu dia tidak berhalusinasi, pikir Ray.
“Syukurlah kau sudah sadar, Ray,” ucap Rangga.
“Ya, kami semua sudah khawatir akan kehilangan kau,” kata Dani.
“A..,” Ray ingin berkata, tapi lebih dulu dipotong oleh seseorang.
“Sudahlah, kau tidak usah bicara dulu. Beristirahat saja,” tegur Gavin.
Ray tersenyum mendengar kata-kata dari sahabatnya itu. Dia merasa bersyukur ternyata masih bisa selamat. Tapi dia lebih bersyukur dan bahagia, karena masih banyak orang yang peduli dan perhatian padanya.
Hari ini Ray di ijinkan untuk pulang. Semua masalah administrasi sudah diurus Sarah. Ray sudah bersiap pulang, saat Sarah yang baru masuk berkata padanya, “Ray ada orang yang ingin bertemu padamu.”
Sarah lalu mempersilahkan orang itu masuk. Ternyata Farah dan Marinka. Merasa ada pembicaraan yang mungkin bersifat pribadi, Sarah lalu mengundurkan diri dan berpesan agar menghubunginya, jika Ray sudah siap untuk pulang ke rumah.
Begitu Sarah menutup pintu, Farah dan Marinka segera memeluk Ray. Ray membalas memeluk dan mengelus punggung mereka. “Bagaimana kabar kalian?” tanya Ray.
“Kami berdua baik-baik saja Ray, dan itu semua berkatmu,” kata Farah, sambil melepaskan pelukannya.
“Kau sendiri bagaimana?” sambung Marinka.
“Aku baik-baik saja. Ini bukan hanya karena aku seorang. Tapi karena usaha kita semua,” ujar Ray.
“Terima kasih, Ray. Sampai kapanpun aku tidak akan lupa hal ini,” kata Farah.
“Apakah kita akan tetap berteman?” tanya Marinka.
“Tentu, selamanya. Mungkin kita bertiga bisa liburan lagi bersama-sama,” ujar Ray.
“Oke,” Jawab Farah dan Marinka berbarengan.
“Bagaimana kalau sekarang kalian ikut ke rumahku? Kita buat pesta,” kata Ray sambil memeluk dan meremas pantat mereka.
“Why not,” bisik mereka, sambil membalas meremas pantat Ray.
“Atau kita berpesiar di Samudera Atlantik atau Pasifik dengan Royal Carribean,” ucap Ray sambil tersenyum.
Mendengar kata-kata itu mereka melapaskan pelukannya, tersenyum, kemudian serentak menjawab, “Never!”