When The Sun Goes Down (NO SARA)
Setelah sebelumnya menulis satu universe sendiri yang terdiri dari sekian banyak cerita, kali ini izinkan ane memulai lembaran baru dengan cerita dan konsep yang lebih segar. Sekarang ane juga nggak sekosong pas pandemi, jadi ane gak bisa update serutin dulu. Ditambah sekarang dengan GF yang protektif banget (meski untung konsep cerita yang ini lolos hahahahaha). Tapi ane akan berusaha untuk update serutin yang ane bisa. Terimakasih buat suhu-suhu yang beri ane respon positif di karya-karya ane sebelumnya, dan semoga cerita kali ini bisa menghibur pula. AND PLEASE DON’T PIRATE MY STORY AGAIN.
Alrighty, then. Without further ado, here goes:
Episode 1: When the Sun Goes Down
===== “Eh, Dil! Maneh malem ini ikut ngeliput, teu?” ujar salah satu rekan kerjaku. “Nggak, euy! Aku nggak ambil jatah malem ini, ada agenda lain soalnya.” jawabku sembari memutar kunci motor yang telah tertanam. “Walah! Panggungan lagi, ya pasti?” “Nggak, atuh. Kemaren baru manggung, kan aku. Modar kalo malem ini masih liputan lagi juga.” Rekan kerjaku terlihat kecewa. Mungkin ia akan meliput acara dimana kami diundang sebagai media partner sendiri karena aku memutuskan untuk tidak ikut karena aku juga sudah berkali-kali mengambil jatah tiket konser gratis. Ia yang tadinya bersemangat pun sentak lesu dan genggaman pada press-card di tangannya tidak sekencang sebelumnya. “Aku duluan, ya kang!” ===== Beberapa bulan ini menjadi ajang perkenalanku kepada kehidupan yang sesungguhnya. Jujur aku saja bahkan tak menyangka bila aku bisa mendapatkan pekerjaan setelah aku lulus. Dengan aku lulus tepat waktu saja sudah mengejutkan satu fakultas. Bagaimana tidak? Siapa sangka seorang Fadi Hardhan yang terkenal dengan kehidupannya di luar perkuliahan –terlebih merintis karir di dunia musik– bisa memiliki gelar sarjana di akhir namanya, apalagi langsung mendapatkan pekerjaan tak lama setelah aku lulus. Pekerjaanku juga tak jauh dari apa yang aku minati. Kini aku bekerja sebagai pekerja freelance dibawah nama tim redaksi dari media musik di Bandung. Meski memang gajinya tidak seberapa karena aku juga bekerja freelance, aku cukup menikmati kehidupan pekerjaan ini. Dengan aku kerja freelance juga membatku bisa tetap fokus merintis karir di band-ku saat ini. Memang agak melelahkan dengan gaji yang tak seberapa. Namun ketika aku bisa dibayar menonton musisi-musisi favoritku dengan embel-embel “kerja” dan terus bermusik, I’m living the dream now, what more could you ask? Tentu orangtuaku tidak begitu mendukungku untuk terus menjalani kehidupan seperti ini, meskipun aku juga mendapatkan DNA musik dari mereka. Ayahku dulu gagal menggapai impiannya untuk menjadi rockstar meski ia sangat ahli dalam bergitar hingga kini menjadi seorang kolektor gitar setelah pensiun, dan ibuku juga dulu merupakan penyanyi paduan suara. Keduanya bertemu di sebuah acara pentas seni dan tiga tahun kemudian mereka menikah dan satu tahun setelahnya aku terlahir ke dunia, dan menjadi satu-satunya anak mereka hingga saat ini. Mereka juga memiliki ekspektasi besar kepadaku dan selalu berusaha untuk
memberikanku fasilitas terbaik meski kami bukan dari golongan orang kaya. Namun selera musikku yang mengarah kepada aliran-aliran keras seperti hardcore dan semacamnya menjadi tembok pemisah antara aku dan kedua orangtuaku. Mereka pun juga sebenarnya membebaskanku, tapi melihat kemana visiku dan kondisi pasar di industri musik membuat orangtuaku meminta untuk mempertimbangkan kembali. Ditambah juga dengan status kerjaku dengan gaji yang standar di daerah dengan UMR yang lebih rendah dari tempat kelahiranku, Jakarta. Wajar, aku sudah harus bisa berdiri dengan kedua kakiku sendiri dan harus menghidupkan keluargaku nantinya. Tapi selagi idealismeku masih bisa selaras dengan apa yang menjadi kondisi di sekelilingku, kenapa nggak? ===== Aku telah sampai di kediamanku. Sore ini cuacanya cerah, dan penghuni kosanku memanfaatkan waktu senja ini dengan nongkrong di halaman asri yang selalu dirawat oleh bapak kos, menikmati pancaran halus langit jingga. Kosanku memang bukan kosan yang megah, namun untuk ukuran segini sudah lebih dari cukup. Kamar yang luas, halaman yang hijau, rooftop yang sering digunakan untuk tempat berkumpul, ditambah dengan fasilitas-fasilitas yang lengkap. Kosanku juga terhitung bebas. Tak jarang aku melihat ada alas kaki wanita di depan pintu kamar tetanggaku di malam hari yang mungkin menjadi nilai plus bagi penghuni. Sayangnya saja kebanyakan penghuninya bersikap individualis, namun mungkin masuk akal juga mengingat di kos ini tidak semuanya mahasiswa atau pekerja. Diantaranya juga masih ada yang saling berteman antara satu sama lain. Sebagai pribadi yang berasal dari Jakarta dan tidak memiliki keluarga di Bandung, aku menyewa kos sebagai tempat peristirahatan. Kos ini memiliki fasilitas yang cukup mewah yang membuatku rela menyisihkan sepertiga penghasilan bulananku. Bahkan saat aku berkuliah saja kosanku tidak semewah ini. Namun aku merasa diriku pantas untuk bisa memiliki fasilitas ini. Setelah memasuki kamarku, aku langsung melempar tasku kesamping dan melompat ke kasurku tanpa mengganti pakaian terlebih dahulu. Aku memang menikmati kehidupanku di kantor dan diluarnya, tapi aku begitu benci dengan apa yang harus aku lalui untuk mendatangi tempat itu. Kemacetan di kota ini begitu gila dan melelahkan. Acara tadi malam sangat meriah. Waktu terus berjalan dan putaran botol minuman keras terus berlanjut hingga aku dan yang lain menggila. Efeknya? Aku begitu kelelahan hari ini dan aku masih harus menghadapi kerasnya kemacetan kota Bandung. Di kantor saja aku benar-benar tidak melakukan apa-apa selain bekerja. Biasanya aku masih bisa mencuri waktu untuk nongkrong bersama kang Dayat yang menjadi editor di media ini. Atau aku bisa menyempatkan diri untuk berbincang dengan teh Laras, rekan terdekatku di kantor dan seringkali menjadi partnerku ketika kami harus meliput. Malam ini aku juga tidak bisa beristirahat selama yang kumau karena teman-teman band-ku ingin merayakan rilisnya lagu terbaru kami di berbagai streaming platform dan acara kemarin yang menjadi gig terbaik yang pernah kami mainkan. Entah apakah akan ada alkohol lagi malam ini, namun lambungku mungkin tak akan kuat menerimanya lagi. Speak of the devil, seseorang membuka pintu kamarku. “Woy! Tidur bae, lu!” Ujar temanku sambil melempar serenceng makanan ringan tepat ke wajahku. “Anying, ketok dulu kalo mau masuk, ngentot!” Balasku kesal. “Yaelah, Dil. Udah lama kenal juga kan, kite.” Jawabnya dan kini mereka semua berjalan menghampiriku dan duduk diatas karpet. Ah, sial. Setidaknya biarkan aku tidur sejenak. ===== Unwanted. Itulah perasaan kami semua pada saat itu hingga kami membuat gerakan pemberontakan semasa
pendidikan putih abu-abu kami. Band ini didirikan saat aku bertemu dengan Seno di ekstrakulikuler musik SMA. Pertemuan pertama kami juga begitu lucu bila diingat. Kala itu kami tanpa ada rencana mengenakan kaos merchandise Turnstile yang sama, band hardcore asal Amerika Serikat. Tawaan saat itulah yang menjadi awalan dari persahabatan kami hingga saat ini, bahkan sempat mengontrak bersama semasa kuliah kami sebelum kami berpisah karena Seno yang mencari kos lebih dekat dari kampus dan aku yang juga harus pindah ke kos karena tak sanggup mengontrak sendiri. Kami pun mulai sering melakukan jamming bersama memainkan musik-musik hardcore saat latihan. Namun pada saat itu kami mendapat kritikan pedas dari senior dan siapapun yang ikut jamming bersama kami karena kami dinilai tidak pantas untuk menjadi perwakilan ekskul untuk perlombaan atau momen apapun, hanya karena aliran musik yang ingin kami mainkan. Semenjak saat itu, kami memulai pergerakan kami dan di tongkrongan kami bertemu dengan Morris yang meski tidak menyanyikan lagu-lagu keras, tetapi ia memiliki suara teriakan yang pas untuk band kami. Kami pun mengajaknya untuk bermain bersama kami meski harus kami sogok dengan alkohol karena ia tidak begitu berminat awalnya. Untungnya bagi kami juga saat itu ada senior yang juga tertarik untuk bermain bersama kami, namun sayangnya setelah ia lulus kami harus kehilangan sosoknya. Meski hal ini merupakan momen langka, kami akhirnya bisa mendapatkan kesempatan untuk bermain di acara sekolah, dan kami menjadi anomali pada saat itu dimana beberapa penampil lainnya memainkan lagu-lagu reggae dan RnB. Namun, kamilah yang menjadi pemeriah acara dan menjadikan momen itu sebagai satu-satunya momen dimana ada yang ber-moshing di dalam acara sekolah kami. Namun kerusuhan sehat itu dipotong oleh pihak sekolah meski kami belum selesai menampilkan performa kami. Kami mendapat sedikit permasalahan dari pihak sekolah dan dari ekskulku juga sudah lepas tangan seolah mereka tak ingin memiliki urusan apapun dengan kami. Akan tetapi, semua orang —yang menyukai musik keras— terus menyuarakan nama kami dan mengharapkan penampilan kami. Memasuki masa perkuliahan, kami mulai memfokuskan band ini dan mulai merintis karir di dunia musik. Kami bahkan bersikeras untuk berkuliah di kota Bandung supaya kami tidak begitu jauh terpisah dan menjadikan kota ini sebagai titik awal karir kami. Di saat inilah kami dipertemukan dengan Umair berkat Morris yang kuliah terpisah dengan kami. Sudah empat tahun band kami berjalan dan dari koneksi-koneksi yang kami dapat dari gig-gig underground di kota ini, kami sudah memiliki ribuan pengikut di media sosial kami dan ribuan pendengar bulanan di streaming platform. ===== “Cheers!” Seperti dugaanku, Morris datang membawa dua botol alkohol keras untuk menemani malam kami. Namun aku yang sudah kelelahan lebih memilih untuk membeli bir karena aku sudah tidak kuat. Seno juga seorang straight edge, tidak merokok dan bukan pemabuk, yang membuat Morris dan Umair harus meneguk minuman haram itu berdua. Satu botol telah ditenggak, dan mereka berdua sudah mulai teler. Aku dan Seno yang tidak ‘naik’ kini fokus bermain game Moba Analog di hape kami. Morris juga sudah mulai meracau tidak jelas dengan Umair yang menghasilkan komunikasi tingkat tinggi dan hanya orang sedeng yang bisa memahami pembicaraan mereka. Kelucuan itu juga membuat fokusku sedikit buyar yang membuat Seno emosi. “Fadil! Balik ke base, bego!” Teriaknya yang masih begitu fokus menatap layar. “Ahhh… kalooo lu maunya sama siapa, Mir…” ucap Morris tiba-tiba yang membuatku tak kuat menahan tawa. “Aduh, bentar anjing. Gak kuat gua!” Jawabku cekikikan tak kuat menahan tawa. “Ah, babi! Kalah, kan?!” Balas Seno yang meluapkan kekesalannya. Seno membanting hapenya ke kasurku dan ia langsung melahap satu potong Pizza yang kubeli. Akupun juga langsung menaruh hapeku dan membakar sebatang rokok sembari melihat kebodohan yang diciptakan oleh Morris dan Umair. Umair juga sudah nyaris tak sadarkan diri dan Morris terus menggodanya dengan kondisinya yang sudah mulai tidak jelas. “Udah, lah Mir! Kalo mau muntah mah… muntah ajaa!” Ledek Morris. “Berisik lu, ah! Gua ‘ge masih sadar ini!” Balasnya sewot. “Mir… kita kan udah kenal empat tahun, nih… paham banget gua, mah ama elu!” Jawab Morris terus meledek Umair meski sangat tidak jelas. “Udah lah, Mir… Muntahin aja… kita belom masuk ke bahasan serius, nih! Masih ada satu botol juga!” Dengan Morris yang terus-terusan meledek Umair dan memberi gimmick memuntahkan sesuatu di depannya, Umair mulai tidak tahan. Tiba-tiba Umair beranjak dari duduknya dan melompat ke kamar mandi dan membanting pintunya kencang. Belum lama setelah itu juga aku mulai mendengar suara muntahan yang sedikit satisfying meski agak menjijikan. “Yah, keluar siluman WC-nya.” Candaku yang membuat Morris tertawa kencang. Setelah memuntahkan isi perutnya, Umair akhirnya keluar dari kamar mandi dan ia langsung merebahkan dirinya diatas karpet. Morris yang masih belum puas pun kembali membuka botol yang tersisa dan
menuangkan cairan laknat itu untuk dirinya sendiri. “Nah… mulai kali, ya…” mulainya. “kan udah rilis album, nih… kita nggak ada niatan mau bikin showcase, gitu?…” “Lah, ayo aja gua mah.” Jawab Seno mengiyakan. “Mau showcase dimana aja? Jangan di Bandung doang lagi, cok.” “… sampe Bali kali, ya…” “Wah, ngaco lu, Ris. Itu mah lu doang yang berangkat sisanya kagak.” Bantahku. “Kalo mau showcase juga belom kita nyari crew-nya, nyari band yang mau ikut ama kita, budget juga perlu gede kalo kita mau sekalian tur ala-ala.” “Oh iya, ya.” Balas Seno. “Sponsor kita juga gimana?” “Kata gua, mah kita perlu manajer dah sekarang.” Ujarku. “Udah, Dil… Urusan manajer-manajeran udah aman sama lu… Masalah duit juga gampang… Gua tombokin…” sanggah Morris. “Udah, Ris. Lu tidur aja, udah. Lu ngomongin beginian jangan sambil mabok.” Perintahku sembari merebahkan Morris. “Ah, mau ngentot, gua!” Jawabnya kencang dan sembari ia berbaring ia membuka ponselnya. Dengan Morris yang kini sibuk dengan hapenya, aku dan Seno yang masih bisa berpikir jernih melanjutkan pembicaraan kami. Kami juga memiliki pemikiran yang sama. Dengan momentum yang kami miliki saat ini juga kami harus gencar mempromosikan EP terbaru kami. Mengadakan showcase adalah hal yang baru bagi kami. Meski kami sering diundang untuk bermain di berbagai acara, kami tak pernah mendirikan acara sendiri. Hal ini juga disebabkan oleh kondisiku yang kini sudah lulus dan hasil dari panggungan band juga aku sarankan untuk dialokasikan ke masing-masing personil dengan persentil yang lebih besar dibanding kepada pemasukan band. Hal itu juga terkadang menghambat kami dalam beberapa hal, terutama produksi merchandise. Modal yang tak besar dan peminat yang ‘naik-turun’ kadang membuat kami tak bisa tak bisa membuka slot pre-order yang banyak, meski penjualan merchandise juga menjadi sumber pemasukan terbesar kami. “Terus kita belom ada tawaran manggung lagi, nih?” Tanya Seno. “Beloman, sih. Cuma kata gua kalo emang mau nyari dana sambil nunggu sponsor mending kita kencengin merch lagi, terus liat minat dari audiensnya. Misal kita taro di tenant buat jualan pas kita manggung dan demand-nya gede, baru kita produksi gede lagi.” Jelasku. “Nah, ada gak panggungannya?” “Nah, belom ada.” Bahkan dua orang yang masih bisa berpikir jernih juga tidak bisa memecahkan masalah ini. Benar apa kata orang. Jangan berharap bisa kaya dengan cepat bila memilih untuk menjadikan musik sebagai karir. “Dah, ah! Mau cabut dulu!” Teriak Morris tiba-tiba mengejutkan kami. “Anjing, mau kemana, lu?” Tanyaku heran. “Mau ngewe dulu bray, hahahah.” Jawabnya santai tanpa beban. “Lah terus ini Umir balik ama siapa entar, sat?” Balasku. “Lu masih kuat nyetir mabok gini?” Sambung Seno. “Gua dijemput, kok. Mobil gua tinggal disini entar pagi gua balik lagi.” Jawabnya sembari merapihkan diri. “Enak juga hidup lu, Ris. Duit banyak, ampe memek juga yang ngejemput lu bukan lu yang jemput memek.” Gurau Seno. “Eh, nggak, nggak, anjing! Urusin Umir dulu baru lu cabut!” Sanggahku. “Dah, ah. Gua cabut dulu, ya.” Morris beranjak meninggalkan kamarku, dan bertepatan dengan kepergiannya, suara gemuruh siluman WC terdengar dari belakang kami. “Hoeeeek….” Aku dan Seno pun langsung menoleh kearahnya. Benar saja, Umir telah memuntahkan segala isi perutnya tepat diatas karpetku yang baru saja kuambil dari laundri. Satu hal yang pasti, aku akan menggunakan kas band untuk menyuci karpetku. =====
Episode 2: “Deer in the Headlights ====== Kehidupan pasca-panggung kembali dimulai. Sebuah band ternama asal kota ini sedang mengadakan konser tur. Aku bersama teh Laras dan beberapa rekan menjadi pihak yang diberangkatkan sebagai tim media partner untuk meliput acara ini. Untungnya bagiku dan teh Laras, kami lebih dituntut untuk mendokumentasikan acara dan mengonsepkan konten karena teh Laras memiliki posisi sebagai social media strategist dan aku yang menjadi bagian dari tim redaksi sering ditarik oleh teh Laras untuk membantu. Aku dan teh Laras memang dekat sejak aku magang dan kini menjadi pekerja tetap disini. Ia juga memiliki paras yang cantik, namun sayangnya dari awal aku mengenalnya ia sudah memiliki hubungan yang langgeng dan harmonis dengan pacarnya yang membuatku tak memiliki kesempatan. Meskipun begitu, aku selalu menganggapnya sebagai kakak berhubung aku anak tunggal. Tiap ada permasalahan aku juga selalu bercerita kepadanya. Ia bahkan tau seluk beluk kisah cintaku yang selalu kandas, dan ia juga banyak membantuku dalam perihal romansa.
===== Selagi band pembuka mengisi acara, aku dan teh Laras yang sudah melaksanakan tugas kami untuk saat ini sedang menikmati rokok di luar venue. “Rame, euy band pembukanya juga.” Ucap teh Laras selagi menikmati rokoknya. “Band pembukanya juga udah punya nama di Bandung, teh. Stage-act-nya juga pecah banget, emang.” Jelasku. “Kamu tau itu band-nya?” Tanyanya. “Dua-duanya kenal, cuma aku lebih kenal sama yang setelah ini. Dulu kita pernah satu panggungan, cuma gatau deh mereka masih inget sama aku atau nggak.” Jelasku. Kami kembali diam, dan aku terus melihat kepada pintu masuk venue dan orang-orang yang memenuhi akses tersebut. Untuk band rock, band ini memiliki basis penggemar wanita yang cukup besar. Berkali-kali aku memerhatikan kearah perempuan yang kunilai menarik. Namun bila tak datang bergerombol, mereka pasti datang dengan lelaki di genggamannya. Aku juga tidak punya nyali untuk mengajak perempuan asing berkenalan, terutama di tempat seperti ini dengan posisiku yang sedang bekerja. Entahlah, meski aku diberkahi dengan berbagai kelebihan, romansa selalu menjadi kekurangan dariku. Meski aku diberkahi dengan paras yang tampan dan postur tinggi dan ideal, aku tidak pernah sekalipun memiliki hubungan, kecuali bila TTM termasuk kedalam kriteria ini. Berkali-kali aku berupaya untuk mencari pacar dan hasilnya kalau tidak gagal, ya terhenti di hubungan tanpa status. Meski semasa kuliah juga aku cukup aktif dalam berbagai acara kampus, hal itu tidak membantuku untuk meninggikan nama pada kaum hawa. Entah mungkin hal itu malah membuat mereka segan atau apapun, atau mungkin aku yang tidak sadar. Seleraku terhadap perempuan juga berbeda dengan yang lain, mungkin Seno yang paling mendekati. Aku tidak seperti Morris yang bisa “membungkus” perempuan tiap ia pergi clubbing dan jelas bagaimana preferensinya. Aku lebih tertarik kepada wanita-wanita berhijab dan jujur aku masih merasa profesiku sebagai musisi hardcore dengan stigma-stigmanya sama sekali tidak membantu. “Bengong wae. Ngeliatin siapa, kamu?” Tanya teh Laras iseng. “Hah? Oh, nggak, kok.” Jawabku kaget. “Liatin cewek mulu, kamu mau nyari pacar disini? Kerja dulu!” Ledeknya. “Iyalah, teh. Profesionalisme ini mah.” “Tapi kalo berani, mah ajak aja kenalan.” Suruh teh Laras asal menunjuk ke salah satu perempuan yang sedang memasuki venue. “Ih, kok tau aja aku ngeliatinnya yang itu?!” Bisikku ke samping telinganya. “Selera kamu banget, cewek begitu mah. Paham juga, aku.” Jawabnya bangga. “Kayak cewek kamu yang mantan ketua BEM itu.” “Ah, HTS-an doang itu, mah.” Jelasku. “Lagian juga gak mungkin bisa satu.” ===== Hubunganku dengan mantan ketua BEM itu menjadi hubungan terdekatku dengan perempuan dalam sudut romansa. Banyak juga yang tak menyangka bila aku bisa dekat dengannya, tapi hubungan kami juga berjalan dengan lancar meski tak ada kepastian. Dia juga beberapa kali kuajak menonton penampilanku dan bahkan sudah berkenalan dengan anggota band serta keluargaku. Namun sayangnya, semenjak mengenal personil-personil band-ku ia mulai merasa bahwa tak mungkin dia bisa hidup di lingkungan seperti itu. Terutama, ia sangat tidak suka dengan Morris. Bahkan hubungan kami harus berakhir ketika aku diberi pilihan berat: dia atau Morris, dan demi keberlanjutan karirku juga aku dengan berat hati harus melepasnya pergi da kini ia sudah bertunangan ditengah gempuran skripsiannya. Sedikit cerita tentang Morris juga, Morris adalah playboy di dalam band. Tak jarang aku melihat Morris berkenalan dengan perempuan di acara yang kami datangi. Ia merupakan anak orang kaya juga, dan Morris tak pernah takut untuk kehabisan uang. Pola hidup Morris juga begitu kacau. Kuliahnya berantakan tak terurus karena ia terlalu sering melupakan pendidikannya dan terlalu bersenang-senang seolah tak ada hari esok. Sifatnya juga sedikit mengarah ke hal-hal yang problematik, terutama di kehidupan ranjang. Bagi “mantan”-ku, hal itu sangat tidak bisa diterima dan bahkan ia tak rela bila aku selalu berada di dekatnya. Namun, aku paham bagaimana me-manage Morris dan dibawah arahanku, Morris juga tidak berani bertingkah. Sayangnya hal itu tidak cukup untuk meyakinkannya. ===== “Udah lah, teh. Gak usah dibahas lagi.” Ucapku mematahkan pembicaraan karena aku tak mau mengingatnya lagi. “Bahahaha, gamon kamu, ya? Yaudah, dehh.” Ledeknya lagi. Selagi kami menghabiskan rokok kami, penonton mulai berbondong-bondong masuk ke venue dan mulai terdengar suara cek line dari dalam. Sepertinya band pembuka berikutnya akan melanjutkan acara malam ini. Sepengetahuanku juga, band selanjutnya akan memainkan musik beraliran metal dan akan ada moshing pada band kali ini. “Dil, udah mau mulai, tuh.” Ucap teh Laras. “Oh, iya. Ayo masuk teh.” ===== Pertunjukan pun kembali dimulai. Aku dan teh Laras langsung melaksanakan tugas kami untuk mengunggah live-report ke media sosial kami. Sebagai bagian dari media juga, aku dan teh Laras beserta rekan-rekan lainnya mendapat spot di paling depan dan dijaga oleh keamanan. Mendengar permainan mereka, jiwa kerasku mulai menggebu-gebu dan aku sangat ingin menikmati pertunjukan ini. Melihat penonton di belakangku juga, semangatku untuk turun kedalam mosh-pit juga semakin menggebu-gebu. Tapi aku tak enak juga dengan teh Laras dan aku tak mau meninggalkannya sendirian. “Teh, udah di-upload belom?” Tanyaku tak tahan. “Udah, nih.” “Teh laras mau keluar, nggak?” “Kenapa, sih?! Mau moshing kamu, ya?” Tanyanya gemas. “Hehehe.” “Hish. Yaudah, aku disamping yaa. Atributnya juga dilepas jangan lupa. Gak enak kamu bagian dari media tapi malah ikut moshing.” Jawabnya mengingatkanku layaknya seorang kakak mengingatkan adiknya. Setelah melepas atribut dan menitipkan barang-barang ke teh Laras, aku langsung melompat-lompat dan memasuki mosh-pit. Berada di dalamnya membuatku bisa mengekspresikan segala emosiku. Aku bukan orang yang bisa marah begitu saja kepada siapa saja dan dimana saja. Meski aku selalu diberi label “bocah keras” karena kisah-kisah perkelahian dan aliran musikku, aku tidak pandai dalam menceritakan keluh kesahku. Aku hanya bisa bercerita ke sebagian orang. Untungnya bagiku, aku memiliki Seno dan teh Laras sebagai teman dan sosok kakak bagiku karena ia selalu mau mendengar ceritaku. Aksiku pun mulai menyulut bara orang di sekitarku. Ayunan tangan dan kakiku berkali-kali mengenai mereka dan andrenalin kami semakin terpicu. Namun indahnya moshing adalah segala bentuk kekerasan yang terjadi adalah konsensual, mau sesakit apapun, in the end we just wanna have a laugh. Beberapa lagu telah mereka mainkan, dan menjelang lagu terakhir aku menepi ke teh Laras dan mengambil napas. “Okeh, ini lagu terakhir dan kita bakal nge-cover satu lagu yang sangat penting buat kami, dan mungkin buat kalian semua juga!” Ucap vokalis, dan drummer mulai melakukan cue sebelum memulai lagunya. Intro drum yang padat dan cepat ini, gitar dengan tuning Drop B, dan riff yang ikonik ini…. Tak salah lagi. Ini adalah “Dilarang di Bandung” oleh Seringai! Lagu ini merupakan lagu sakral bagiku. Ayahku pernah memutarkan lagu ini saat aku masih berusia dini dan momen mengetahui lagu ini akan selalu abadi di ingatanku. Jiwa musisiku pun ikut menggebu, dan alih-alih kembali ke dalam mosh-pit, aku memberontak kedepan dan menaiki panggung. Ketika aku menaiki panggung, banyak orang yang terlihat heran. Bahkan ada beberapa tim media lainnya yang kebingungan mengapa ada pers yang menaiki panggung. Aku melihat kearah rekanku juga dan mereka terlihat cekikikan melihat bocah kecilnya memberontak dan menaiki panggung. Sam yang menjadi vokalis band ini juga terlihat kaget. Namun setelah melihat wajahku, ia tertawa kencang melihat orang yang pernah berkenalan dengannya langsung berlari menghampirinya. “LAH, DIL?! HAHAHAHAHAHA!” tawanya kencang. Penonton pun juga terheran-heran. Siapa pengganggu satu ini yang tiba-tiba menaiki panggung. Namun beberapa orang yang mendengarkan musikku juga ada yang terlihat terkejut dan menyorak-nyorakkan namaku. “ANYING, ETA FADIL, BANGSAT!” “FADIL UNWANTED ‘TEA?!” Melihat reaksi dari penonton, Sam pun langsung memberikanku mic, dan ia memberi ucapan sambutan sebelum aku menggantikan perannya. “FADIL DARI UNWANTED, SEMUANYA!” [Now Playing: Seringai – Dilarang di Bandung] “Satu tragedi takkan hentikan kami Dan birat ini membekas di sini Menjadi pengingat apa yang terjadi Tak bisa menjarah pikiran ini” Mereka yang dibawah pun makin menggila. Semangat mereka bisa meruntuhkan gedung yang pengap ini. Banyak yang terjatuh dan melayang kesana-kemari dan berusaha untuk melompat dari atas panggung. Melihat itu, semangatku pun makin berapi-api dan menghembuskan seluruh oksigen yang tersisa di paru-paruku. “Mereka tak peduli Kekang suaramu Kini terberengus,” Aku yang ingin kembali ke mosh-pit pun menjatuhkan mic yang kupegang, dan aku mengangkat kedua tanganku sebelum aku kembali melompat kebawah dan menghantam orang yang ada di bawahku selagi bait singkat namun bermakna dan memukul sangat keras itu dikumandangkan oleh seluruh penikmat musik ini. “DILARANG DI BANDUNG!” Untungnya lompatanku dapat ditahan oleh orang dibawahku, dan beberapa orang langsung membantuku berdiri sebelum aku yang masih memiliki andrenalin tinggi memutuskan untuk melakukan crowdsurfing. Kamera pun ikut mengarah kepadaku, dan flash kamera selalu mengikutiku kemanapun aku dihempaskan selagi aku masih diatas orang-orang dan Sam kembali memimpin kerusuhan ini. Selagi aku crowdsurf, aku melihat ada sesosok perempuan yang juga menyorotkan kameranya kepadaku. Awalnya kupikir itu teh Laras, namun sekilas aku melihat wajahnya yang dibalut dengan kerudung. Dari kameranya juga terlihat kalau ia menggunakan kamera yang mahal.
Tak mungkin itu teh Laras. Musik terus berlanjut hingga penghujung penampilan. Aku pun juga harus kembali mengatur napasku karena akan ada satu penampilan terakhir dari band utama. Namun sebelum itu, aku kembali menyempatkan diri beranjak ke panggung untuk bertegur sapa dengan Sam. “Buset, Dil! Lu kenapa gak ngomong lu dateng hari ini?” Tanyanya. “Tau gitu gua kasih tiket, lu!” “Gua aja gak tau lu masih inget ama gua apa kagak, Sam! Hahaha.” Candaku selagi menjabat tangannya. “Ya inget lah, anying! Mau ke backstage gak, lu?” Ajaknya. “Lah entar kan gua yang ngewawancara lu pada bentar. Gawe gua di acara ini!” Jelasku. “Lah, si bangsat! bisa-bisanya lu naik ke panggung padahal lagi ‘gawe!” Jawabnya kaget. Setelah itu, aku kembali menghampiri teh Laras yang hanya menggeleng-gelengkan kepala melihatku yang sudah lusuh. Akupun kembali mengenakan atributku dan mengikuti massa, kami meninggalkan venue untuk mengambil napas segar. Menginjak rumput di luar, hawa berganti begitu saja, dari yang tadinya panas dan pengap kini menjadi dingin khas Bandung di malam hari. Aku dan teh Laras berjalan menghampiri teman-teman kami yang berangkat bersama kami, dan mereka semua mentertawakanku yang sudah uring-uringan. “Hahahahahah, cape, Dil?” Ledek salah satu rekanku. “Menurut maneh aja, sat!” Jawabku bercanda. “Lagian, kerja mah kerja, moshing mah moshing! Hahahahaha.” Olok rekanku yang lain. “Gak bakal dimarahin ama bos juga, kan? Hahahaha.” Balasku yang kini merebahkan diri di lantai. Selagi aku berbaring, aku membuka hapeku dan aku melihat notifikasi di Inst*gram-ku yang membludak. Beberapa penonton merekam penampilanku di panggung dan menautkan akunku di story-nya. Beberapa diantaranya dari rekanku dan ada nama-nama asing yang tak kutahu. Namun aku lebih tertarik melihat foto-foto yang diabadikan menggunakan kamera. Harusnya akan menjadi hasil yang menarik. Aku juga perlu konten baru untuk feeds-ku yang selalu didominasi oleh aku sedang memainkan gitar, ini adalah suatu hal yang baru. Akan kutodong rekanku untuk mengirimkan foto-fotonya kepadaku. Selagi kami mengobrol, pandanganku teralihkan kepada sosok perempuan yang sempat kulihat tadi. Saat aku berada diatas aku tidak bisa melihat wajahnya. Aku mulai memperhatikan parasnya yang cantik dan pakaiannya yang modis dibalut dengan jilbab dan cardigan. Wah, cantik banget cewek ini. Dugaanku juga benar. Ia menggunakan kamera yang bahkan bila kutaksir harganya pasti lebih mahal kameranya daripada gitarku. Mungkin ia bagian dari media lain yang juga diundang, namun aku tak melihat ia mengenakan atribut atau kartu tanda pers. Teh Laras pun paham denganku. Ia juga ikut memperhatikan perempuan itu bersamaku dari kejauhan. Melihat raut wajahku, ia terlihat cekikikan dan menyenggol bahuku. “Kalo ada Seno pasti dia bakal bilang tuh cewek tipe kamu banget, Dil.” Candanya. “Aduh, ketauan lagi.” Balasku kaget. “Ajakin kenalan atuh, Dil. Itu juga dia sendirian, kok.” Suruhnya. “Ah, malu, euy.” “Alah. Kamu naik panggung begitu tadi berani, ngajakin cewek kenalan ciut.” Ledeknya. “Ah, diem ah, teh!” Balasku tengsin. “Udah, Dil. Ajakin kenalan dulu, sana!” Teh Laras pun langsung mendorongku, dan aku yang masih malu terus ditahan olehnya. Rekan-rekanku yang paham dengan perbuatan teh Laras juga ikut meledekku dan beberapa menarikku kearahnya. Aku sudah tidak memiliki tenaga dan akhirnya aku hanya pasrah dan mengumpulkan keberanian untuk mengajaknya berbincang. Aku berjalan mendekatinya, dan ia juga menyadari kedatanganku dari kejauhan. Selagi pandangan kami bertemu, ia memberikanku senyuman yang sangat manis. Akupun ikut melemparkan senyum kearahnya dan merapikan rambutku yang berantakan. Ia memiliki wajah yang sangat cantik. Kulitnya cerah bersinar. Struktur wajahnya juga ideal dengan matanya yang sangat indah. Postur tubuhnya juga ideal, tidak kurus namun tidak gendut, dan lekukan tubuhnya sangat menawan. Satu hal yang sangat kusadari juga, ia memiliki payudara yang cukup besar dan bokong yang padat dan dikemas dengan pakaian yang sangat pas. Benar-benar tipeku. “Halo, kak. Tadi aku liat kakak ngefotoin yang pas band-nya Sam main, ya?” Sapaku sembari menjulurkan tangan mengajaknya bersalaman. “Eh, halo, kak. Iya, nih.” Balasnya. Oh, fuck. Suaranya juga sangat manis. “Tadi kakak yang naik ke panggung kan, ya? Keren, euy pers jadi screamer gitu.” Lanjutnya. “Oh iya, ya. Aku udah pake atribut media sekarang, hahahaha.” Candaku membuatnya tertawa kecil. “Fadil.” “Tiara.”
“Kamu orang dari media juga, Ti?” Tanyaku. “Nggak, kok kak. Aku, mah masih kuliahan.” Jawabnya. “Walah, aku yang media juga kayaknya kameranya kalah mahal sama punya kamu, nih.” Candaku lagi. “Hahahahaha. Iya, kak ini aku juga kerja sambilan jadi freelance fotografer, sambil nabung juga buat beli kamera ini.” Jelasnya. “Oh, iya? Ini berarti kamu dibayar sama pihak acara?” Tanyaku lagi. “Oh, nggak. Aku emang pengen nonton aja, cuma ada kenalan orang dalem jadi boleh bawa kamera sama merekanya juga minta fotonya nanti. Buat portofolio aku juga soalnya.” Jelasnya. “Minta bayaran, atuh ke acara. Mumpung acara gede, nih.” “Oh, jelas itu, mah kak.” Balasnya yang membuat kami berdua tertawa. “Aku boleh liat foto-foto yang tadi, nggak Ti?” Izinku. “Oh, boleh kak.” Jawabnya menyodorkan kameranya kepadaku. Aku langsung mengambil kameranya dan melihat foto-foto yang ia tangkap. Jujur aku terkesima melihatnya. Meski masih menimba ilmu di perkuliahan ia memiliki potensi yang jauh lebih dari itu. Bahkan melihat foto-fotonya, tekniknya jauh lebih bagus dari rekan-rekanku. Pantas saja pihak acara juga rela membayar Tiara. “Wah, bagus banget ini.” Pujiku. “Aduh jadi malu, nih.” Candanya tersipu malu. “Aku boleh minta fotonya nggak, Ti?” Tanyaku lagi. “Bayar juga nggak, nih kayak band yang lain?” Balasnya. “Yaudah kalo bayar aku minta ke Sam aja deh nanti, hahahahah.” Candaku. “Kalo di-uploadnya ke akun pribadi kakak juga tetep harus bayar, sih. Hahahahah.” Balasnya menimpal candaanku. “Hahahahah. Yaudah, dehh. Kalo dibayarnya pake makan siang aja gimana?” Tanyaku mulai memasuki permainan pedekate. “Wah, hahaha. Nanti ada yang marah, gak kak kalo kakak makan siang sama cewek lain?” Ledeknya. “Oh, iya. Aku juga harusnya nanya dulu, ya. Tiara gabakal dimarahin sama gandengannya?” Balas ledekku. “Yang marah, sih kayaknya Papah Mamah aku kalo kak Fadil ajak aku makan keluar gak izin ke mereka dulu, kak. Hahahaha.” Candanya lagi. Setelah itu, kami mengobrol cukup panjang. Tiara pun juga bercerita tentang kuliahnya sementara aku menceritakan profesiku sebagai musisi dan media meski aku tak langsung menunjukkan akun band-ku, biar aku melihat responsnya dahulu, daripada dinilai tidak sopan atau haus publikasi. Kami juga terus mengobrol hingga akhirnya MC meminta penonton untuk kembali memasuki venue. Aku melihat kearah rekan-rekanku, dan mereka juga sudah bersiaga untuk memasuki venue. Beberapa diantaranya memasuki mendahuluiku dan aku melihat teh Laras juga tersenyum meledek kearahku selagi aku mengobrol dengan Tiara. Tak terasa, ternyata kami mengobrol cukup lama. “Kak, masuk yuk. Udah mau mulai band-nya.” Ajaknya. “Eh, Ti.” Potongku. “Mau tukeran IG, nggak?” Ia tersenyum manis mendengar pertanyaanku. Tiara langsung mengeluarkan hape dari tasnya dan membuka akun Inst*gram-nya dan memberikan hapenya kepadaku. Ia juga langsung meminta hapeku untuk mencari akunnya. “Boleh, kak.” Setelah kami saling mengikuti akun masing-masing, aku dan Tiara bersama memasuki venue. “Ti, aku mau lanjut kerja dulu, ya!” Pamitku. “Oke, kak! Semangat, ya!” Balasnya. “Semangat juga buat portonya!” Jawabku selagi kami berpisah. ===== Momen tadi menjadi pertama dan terakhir kalinya aku bertemu dengan Tiara. Setelah acara selesai, aku dan rekan-rekan bergegas memasuki backstage dan aku beserta teh Laras melaksanakan tugas kami. Setelah itu juga aku menyempatkan diri untuk berbincang dengan Sam. Tak kusangka, mereka masih ingat denganku dan mereka semua memuji karya-karya yang kutulis bersama Unwanted. Setelah selesai berbincang dengan mereka, aku juga langsung bergegas keluar dan kembali ke venue. Sayangnya, sudah sepi, dan tidak ada lagi penonton. Orang-orang yang kutemu hanya vendor sound yang sedang mengemas barang dan membersihkan venue. Aku beranjak keluar, dan meski masih terdapat penonton yang sedang beristirahat, aku tak menemukan Tiara. Sayang sekali, padahal aku ingin mengobrol lagi dengannya. Setelah penampilan selesai juga, aku mencari Tiara karena aku ingin mengajaknya ikut ke backstage, namun tekanan dari teh Laras dan massa yang terlalu banyak membuatku tak bisa menemukan keberadaannya. “Dil, aku balik bareng kamu boleh, nggak?” Tanya teh Laras mengejutkanku yang masih termenung. “Eh, boleh Teh.” Jawabku kaget. Membawa rasa kecewa, aku bersama teh Laras langsung pergi meninggalkan lokasi menuju ke parkiran sebelum kami pulang. Di jalan kami juga tak banyak berbincang. Aku sudah kelelahan dan teh Laras juga sepertinya sama. Kesunyian ini berpadu harmonis dengan dinginnya udara malam hari yang menyelimuti kami. Indahnya kota Kembang di malam hari juga mendampingiku yang masih membayangkan sosok Tiara. Suaranya yang manis, parasnya yang cantik, semua itu tak bisa keluar dari pikiranku. Akupun kembali mengingat perbincangan kami tadi. Awalnya aku hanya tersenyum membayangkannya. Namun tiba-tiba aku menyadari sesuatu yang membuatku panik dan akupun membuka pembicaraan di perjalanan pulang bersama teh Laras. TADI GUA NGAJAK TIARA MAKAN SIANG, YA?! “Teh, mau nanya dong.” Mulaiku. “Menurut teh Laras lancang gak, sih kalo aku tadi kayak gitu?” “Hah, kamu ngapain emang?” Tanyanya. “Gak tau, teh. Tadi aku keceplosan ngajak dia makan siang.” Jelasku. “Buset, nggak nyangka aku, Dil.” Jawabnya membuatku makin panik. “Aku salah, ya teh?…” balasku lesu. “Nggak. Aku nggak nyangka aja kamu yang cupu bisa se-berani itu.” Jawabnya tak seperti dugaanku. “Ih, teh Laras! Panik tau, aku!” “Hahahahaha. Ya tergantung, Dil. Kalo emang konteksnya bercanda, mah aman-aman aja atuh.” Jelasnya. “Bercanda, sih. Tapi kan takutnya dia nggak nangkep.” Balasku. “Ya, kalo misalnya respon dianya positif berarti dia fine, dong? Malah bisa jadi kartu As kamu. Kalo dia tiba-tiba bercanda nanyain makan siang lagi pas kamu ketemu lagi sama dia, langsung aja kamu todong ajak.” Perintahnya menjelaskan strategi kepadaku. “Nanti, deh kalo chat-an.” Jawabku. “Buset! Kamu, Dil?! Kamu minta tukeran kontak?! Hahahahahah, nggak nyangka aku!” Ledek teh Laras. “Nggak kontak, teh. Tukeran IG tadi. Tapi aku tengsin banget, sumpah!” Jelasku lagi. “Yaudah, tuh dia aja mau mutualan sama kamu.” Balasnya. “Iya, sih.” “Udah, gak usah dipikirin lagi. Nanti kalo bingung atau gimana tanya ke aku lagi aja!” Balas teh Laras. “Okee, siap teh!”