Liburan Semesterku

Ini adalah cerita aku yang ke 3. Cerita ini adalah cerita fiktif dan fiksi. Tokohnyapun juga fiktif. Walaupun ada tokoh dari agama tertentu, tapi aku tidak bermaksud menjelekkan agama tersebut.

Mungkin cerita ini tidak akan panjang. Bagian-bagian cerita hanya ada beberapa episode. Kalau nagih update, dimohon nagihnya setelah 30 hari dari tanggal rilis. Itu agar mengurangi spam penagih dan trit ini tidak dikunci. Silahkan kalian menulis komentar positif atau negatif tentang cerita ini. Apapun komentarnya, aku tetap melanjutkan cerita. Janganlah meniru adegan-adegan negatif yang ada di dalam cerita ini. Lakukanlah hubungan badan yang aman dengan pasangan kalian. Terimakasih.

BAGIAN 1​
Alhamdulillah, ujian semester mata kuliah terakhir untuk semester ini akhirnya berakhir. Aku tinggal menunggu hasilnya 2 minggu kemudian. Aku sangat bersyukur bisa menguasai dan menjawab soal-soal ujian ini. Aku yakin, nilaiku pasti memuaskan. Aku menunduk melihat jam tangan di pergelangan tangan kananku menunjukkan pukul 9:45 pagi. Masih ada sisa 15 menit untuk memperbaiki apa yang sudah kutulis di lembar jawaban ini. Kulirik samping kiri dan kanan teman-temanku masih serius menjawab soal ujian ini. Di depanku, white board hanya tertulis kalimat motivasi dan semangat kejujuran dalam menjawab soal. Aku merenung sejenak melihat kalimat tersebut. Memang benar, kejujuran itu penting. Dalam menjawab soal ujian, kami diwajibkan untuk tidak mencontek ataupun bertanya ke teman-teman dan harus percaya diri dalam menjawab. Benar sih, menurutku nilai baik itu percuma kalau didapat dari mencontek. Kalau jadi aparatur sipil negara, bisa dipastikan mereka yang suka mencontek pasti kelakuannya koruptif. Aku diberi makan dan dibelikan pakaian oleh orang tuaku dari hasil yang halal. Salah satu ustad pernah berdakwah, barangsiapa yang dalam hidupnya pernah makan atau minum dari yang haram, maka kelakuan dan imannya mudah goyah. Barang-barang tersebut mendarah daging di dalam tubuhmu. Seperti kata pepatah, karena nila setitik rusak susu sebelanga. Hmm… mungkin itulah ortuku selalu mengamalkan itu supaya anak gadisnya ini tidak macam-macam. Aku disekolahkan tinggi-tinggi sampai kuliah di Universitas ternama di Indonesia dan masuk top 20 besar universitas terbaik di Dunia, masak aku mengecewakannya. Huh sial!!!! Aku melamun. Kulihat jam tangan menunjukkan pukul 9:47. Kukira sudah jam 10. Ya sudah, menurutku aku sudah cukup yakin. Aku kemudian berdiri lalu berjalan menyerahkan soal dan lembar jawabanku ke profesor yang duduk mengawasi ujian. Setelah menyerahkan, aku mengambil tas yang kuletakkan di depan kelas, lalu membuka pintu kemudian menutupnya kembali. Leganya….. Aku berjalan menuju lantai bawah melewati beberapa ruang kelas. Kubuka ponsel yang ada di tasku. Setelah membuka pola layar, kemudian aku membuka pesan yang masuk. Mama: ” Gimana ujiannya?” Seperti biasa, mamaku memang ortu yang perhatian. Mungkin kelak kalau aku nikah dan punya anak, aku juga akan sepertinya. Aku: ” Alhamdulillah sudah kujawab semua ma. Tinggal menunggu hasil ujiannya” Aku tap kirim ke mamaku. Beberapa saat kemudian, mamaku membalas. Mama: “Mudah-mudahan nilainya lebih bagus dari semester lalu. Mama jadi tidak sabar ingin melihat perkembangan nilai anak gadis mama” Aku: ” iya ma” Mama: “Cepat pulang ya, mama sudah masakin makanan spesial buat kamu” Aku: “makasih mamaku sayang. Sebentar lagi saya pulang. I Love you mama” Aku masukkan ponsel ke kantong kemejaku, kemudian lanjut berjalan ke kantin. Aku memesan minuman dan duduk di salah satu kursi. Beberapa saat kemudian pesananku tiba. “Anggu” suara pria dari kiri memanggil namaku. “Lama ya nunggu?” Tanyanya. Dia Arya, teman sekelas dan sejurusan denganku. Tadi dia ujian bareng sama aku, tapi dia duduknya di pojok belakang. “Enggak kok, cuma 10 menitan” jawabku. Dia kemudian duduk di kursi di hadapanku. “Maaf ya, tadi aku masih menjawab soal-soal ujian” ujarnya. “Iya gak apa-apa. Kamu gak mesan minum? Tenang aja, biar aku nanti yang bayarin” ujarku. “Makasih, aku sudah bawa minum sendiri” ujarnya mengeluarkan botol minuman bersoda dari tasnya. “Gimana, kamu mau ikut nggak?” Tanyanya. “Aduhh.. gimana ya. Aku takut orang tuaku gak ngijinkan” jawabku. “Sudah, tenang aja. Aku dan teman-teman yang lain bakal meyakinkan dan minta ijin ke orang tuamu kok” ujarnya. “Iya deh. Barangkali berhasil” ujarku. Semalam tiba-tiba Arya whatsapp ke aku dan mengusulkan ide liburan bareng. Salah satu teman kuliahku, Arya yang sama-sama jurusan antropologi denganku berencana mengajakku pergi ke suatu tempat. Katanya di sana ada suku pedalaman yang akan mengadakan ritual unik sekali dalam 49 tahun. Dia ingin kesana mengajakku dan teman-temanku yang lain jalan-jalan sekaligus ngumpulin bahan penelitian untuk tesis S2 nya. Ya sudah deh, lagian bahan penelitian tesisku sudah ada. Tapi karena rasa kemanusian ingin menolongnya, juga pengen jalan-jalan akupun setuju untuk ikut. “Gimana ujiannya? Pasti nih nilainya bagus lagi” Ujarnya. “Iiih.. sok tau” ujarku. “Beneran, aku lihat di kelas tadi sepertinya kamu sangat serius dan tidak terlihat kebingungan gitu. Aku iri dan ingin melebihi nilaimu. Gimana sih cara belajarmu” ujarnya. “Biasa aja sih, aku cuma membaca berulang ulang buku pelajaran sampai ingat dengan sendirinya” ujarku. “Sama, aku juga begitu, tapi aku tetap kesulitan menjawab soal-soal tadi” ujarnya. “Hihihi entahlah. Mungkin sewaktu kamu baca, kamu sambil melamun hihihi” ujarku. “Hahaha Anggu anggu… kamu ngaco” ujarnya. “Ya udah, aku cabut dulu ya. Ojek daringnya udah nunggu di depan kampus” ujarku kemudian berdiri. “Tumben, biasanya kamu bawa mobil” ujarnya. “Mobilku lagi di bengkel. Udah ya, aku tunggu di rumah” ujarku meninggalkannya menuju ke depan kampus. Aku melihat tukang ojeknya lagi di pinggir jalan melihat layar ponsel. Setelah kulihat pada aplikasi di ponselku, nama, jenis motor, dan nomor polisinya sesuai, akupun nyamperin dia. Dia kemudian melihat menyadari kehadiranku. Dengan ramah, mas tukang ojeknya kemudian menyerahkan helm. Setelah kukenakan helm tersebut, lalu aku naik. Hari ini aku pakai celana panjang, jadi duduknya tidak perlu miring ala cewek. Kalau naik mobil, aku pakai rok panjang dan hijab syar’i. Kadang pula pakai gamis. Kerudung yang kugunakan juga simpel. Biar mudah pakai helm dan saat dilepas juga tidak banyak merusak penataan kerudungku. Dalam perjalanan, kami tidak saling berbicara. Aku salah satu penumpang yang taat aturan. Aku khawatir pembicaraanku dengan pengemudi ojol bisa mengurangi konsentrasi dalam berkendara yang beresiko mengakibatkan kecelakaan. Siang ini cuaca lagi mendung, sehingga jalanan perkotaan tidak begitu panas. Di ponsel menunjukkan angka 35 derajat. Berbeda dari hari-hari sebelumnya yang bisa mencapai 39 derajat di jam yang sama. Mudah-mudahan aja sebelum sampai rumah tidak turun hujan. 36 menit berlalu, akupun sampai di depan gerbang rumah. Aku turun dari motor lalu melepaskan helm kemudian menyerahkan ke mas ojol. Seperti biasanya, mas ojol memintaku untuk memberikan rating bagus. Aku iyakan aja. Hihihi. Aku tidak lupa mengucapkan terimakasih, lalu ia pergi. Aah….. lega. Akhirnya sampai juga. Aku melangkahkan kaki menuju pintu gerbang, kubuka pintu gerbang, kemudian setelah masuk kututup kembali. Aku melanjutkan langkah kakiku ke pintu depan lalu melepaskan sepatu dan kujinjing membawanya ke kamarku di lantai atas. Sesampainya, kuletakkan sepatuku ke tempat sepatu di dekat pintu, lalu kuletakkan tas dan melepaskan jam tangan. Rencananya aku mau ganti pakaian, tapi karena Arya mau ke sini, jadi aku berpakaian seperti ini aja tanpa melepas jilbabku. Ahh… haus banget. Aku mengambil botol air mineral lalu meminumnya. Ah… lega… Beberapa saat kemudian, pintu kamar diketuk. “Angguuuu…….. ayo makan sayang. Makanannya sudah siap di atas meja makan” ujar mamaku. “Iya ma… sebentar lagi saya nyusul” ujarku. Aku kemudian ke kamar mandi, membuka jilbab dan membasuh muka di wastafel. Debu kotor ibu kota membuat wajahku sedikit kusam.

 

Setelah kubasuh, aku bersihkan air yang menempel di wajahku dengan handuk. Kemudian kukenakan jilbab lalu keluar kamar menuju ruang makan di lantai bawah. Makanan di atas meja sudah siap. Aku kemudian duduk dan mengambil piring. Kubuka tutup mangkok stainless ukuran keluarga. Uap mengepul dibarengi aroma harum masakan opor ayam pete super pedas. “Makan yang banyak ya sayang” ujar mama dari arah dapur membawa segelas jus melon. “Ih… mama. Kalau gendut nanti gimana? Liat nih, badan sudah segini masak kurang sih ma” Ujarku memencet-mencet pinggang serta perutku. “Kamu jangan keseringan diet, sekali-kali berat badanmu ditambah” ujar mama meletakkan jus melon dari sebelah kanan. “Kapan-kapan aja deh ma” ujarku. Mama kemudian duduk di kursi sebelah kanan. Aku sudah mengambil nasi satu setengah centong dan opor ayam. Kemudian mengambil sendok dan garpu. Perutku langsung keroncongan melihat makanan spesial dari mama. Sebelum kusantap, tidak lupa aku membaca do’a. Lalu langsung menyantap makanan yang ada dihadapanku. 13 menit kemudian, aku menghabiskan makanan di piringku. “Kamu sudah punya pacar?” Ujar mama tiba-tiba. “Belum ma” Ujarku. “Tidak ada yang cocok ya?” Tanyanya. “Iya ma” ujarku sambil mengambil jus melon. “Sejak kamu putus, kamu sepertinya lebih ceria” “Kok mama tahu sih?” “Kalau tidak tahu, bukan Mama dong. Mama ingin setelah kamu wisuda, kamu nikah. Umurmu sudah 25 tahun, sudah cukup matang untuk membangun rumah tangga” ujarnya. Iya sih. Sejak tahun lalu aku putus, aku merasa lebih tenang. Aku sendiri yang mutusin, karena dia orangnya terlalu posesif. Aku kan jadi risih diatur-atur. Mungkin dengan putus, aku jadi tidak terkekang oleh ucapan-ucapan dia. Benar, umurku sudah 25 tahun. Banyak omongan-omongan disana sini yang membicarakanku. Walaupun aku tahu, tapi aku cuekin. Ngapain juga membalas ucapan mereka. Biarkan saja omongan mereka menjadi amal ibadahku dan mempermudah saat masuk pintu Surga. Aku menoleh ke arah Mama, ia sedang membaca majalah perempuan bulanan langganannya. “Ma, saya minta ijin untuk liburan sama teman-teman. Boleh ya ma?” Tanyaku setelah kuhabiskan minuman jus melon dan segelas air putih. “Ke mana?” Tanyanya. “Ke….” TING TONG TING TONG Bel rumah berdering. Akupun segera menuju depan untuk membukakan pintu. Setelah kubuka pintu, kulihat Arya bersama 2 orang teman sekelas berdiri didepan pagar. Akupun membukakan pagar lalu mempersilahkan mereka masuk. “Kenalin ma, mereka adalah teman-teman sekelas saya” ujarku. “Tante, saya Arya” “Saya Toni” Mereka satu persatu bersalaman sama Mama. Hanya Ria yang tidak memperkenalkan diri. Itu karena Ria sering ke rumahku untuk bermain maupun belajar semenjak sama-sama kuliah S1. Setelah lulus S1, aku kemudian membantu koperasi milik papa selama 2 tahun. Aku membantu ke-5 cabang koperasi yang tersebar di sudut-sudut ibu kota. Papa nyaranin aku untuk segera kuliah S2, tapi karena ada masalah di perusahaan papa, aku akhirnya menundanya. “Tante, kami disini ingin meminta ijin untuk mengajak Anggu liburan ke desa kakek saya selama 3 hari” ujar Toni. “Maaf ya, tante tidak bisa” ujar mama “Mamaa…..” ujarku. “Firasat mama nggak enak. Kamu jangan liburan keluar kota dulu ya nak” ujar mama. “Tapi maaa….” Ujarku kecewa. “Tenang saja tante, saya akan menjaga Anggu kok” ujar Ria. “Tapi…” ujar mama. “Tante, percayalah. Tidak hanya Ria, kami semua akan saling menjaga satu sama lain” ujar Arya. “Tuh kan ma…..” ujarku. Kulihat mama diam dan balik badan menuju kamar. “Duh, gimana nih. Kamu sebelumnya sudah bilang apa nggak?” Tanya Arya. “Udah… bentar ya, aku samperin mamaku dulu” ujarku kemudian bergegas menyusul mama. Sesampainya di depan kamar, aku membuka pelan pintu. “Mama……” ujarku pelan. “Kalau kamu pergi, pergilah. Mama khawatir anak gadis mama satu-satunya akan pergi jauh yang mama belum kenal. Ditambah semalam mama bermimpi kehilangan kamu” ujarnya. “Mama… percayalah. Saya akan kembali. Mimpi mama hanya sekedar bunga tidur. Percayalah ma, saya juga akan selalu ibadah dan berdoa” ujarku sambil bersimpuh memegang tangannya yang duduk di pinggir ranjang. Aku kemudian meninggalkan mama sendiri di kamar dan menuju ke teman-teman. “Anggu.. gimana?” Ujar Ria. “Mama memberi ijin” ucapku sambil tersenyum. Aku terpaksa berbohong. Sesuai dugaan sewaktu aku makan tadi, mama melarangku untuk pergi. Dia khawatir denganku karena aku akan pergi ke tempat yang tidak dikenal, tapi dengan terpaksa mama mengiyakan kepergianku. Nomor orangtuaku aku blokir untuk sementara. Aku kan juga pengen jalan-jalan. Masa di rumah terus! Haduh, kenapa sih kok tumben aku berani berbohong dan membantah nasehat mama. Padahal aku sudah diberi makanan, minuman, serta pakaian yang halal. Jangan-jangan salah satu temanku pernah mentraktir dengan uang hasil gak baik. Duh, jangan berpikir seperti itu. Aku seharusnya berhusnudzan.

Kami keluar rumah menuju taksi daring. Tujuan kami menuju ke bandara. Kamipun berbegas menuju ke pesawat. Tadi dalam perjalaan macet banget. Itu dikarenakan ada kecelakaan beruntun dan terpaksa putar balik mencari jalan lain. Untunglah kami tidak terlambat. Sambil ngos-ngosan, kamipun sampai dipesawat. Di pesawat, kami tertawa. Wah gimana kalau telat? Liburan plus penelitian jadi tertunda. Tapi gak apa-apa, semua sudah suratan takdir. Sesampai di bandara yang kami tuju, kami lanjut menaiki mobil butut lokal yang disewa untuk sekali antar. Katanya sih murah daripada taksi daring. Saat melangkah keluar pintu, aku merasakan hawa dingin yang gak enak. Apakah ini sebuah pertanda? “Anggu, kamu kok murung?” Ujar Ria. “Nggak.. yuk jalan” ujarku segera menggapai tangan kiri Ria menuntun ke mobil. Toni duduk di depan disamping pengemudi. Aku duduk bertiga di belakang bersama Ria dan Arya. Awalnya Arya ingin duduk di tengah, tapi gak aku bolehin karena aku ingin ngobrol bareng Ria. Gak enak dong ngobrol sama sahabat dan sesama cewek ditengah-tengah ada Arya. Hihihi. Akhirnya Arya bersedia duduk di samping kanan. Aku duduk disamping kiri dan Ria berada di tengah. Dalam perjalanan, aku dan Ria saling ngobrol tentang rencana setelah lulus S2. Sesekali aku berbincang bersama Toni dan Arya. Banyak banget deh yang kami ceritakan. Arya malah tanya apakah aku punya pacar apa belum. Kalau belum dia mau daftar. Hihihi aku pikir-pikir dulu deh. Soalnya dia bukan tipeku. >,< Perjalanan yang kami lakukan cukup jauh, aku dan Ria sampai tertidur. Ria tidur menyandar bahuku. “Teman-teman… bangun.. bangun” ujar Toni. Berjam-jam lamanya akhirnya mobil ini sampai juga. “Eh, disini ya tempatnya?” Ujar Ria. “Belum, kita jalan sebentar ke sana” ujar Toni. Kamipun menuju arah yang ditunjuk Toni. Kami menuju pelabuhan. Jam menunjukkan pukul 10 malam. Aku kini menaiki kapal feri. Katanya sih perjalanannya cukup panjang. Kami tidur sambil terombang ambing akibat ombak. Pagi harinya, Arya muntah. Untunglah aku gak mabuk laut. Jadi aman. Hihihi. Kami lanjut naik delman. Dari keramaian kota kecil, deoman kami sudah melewati pintu selamat datang. Kata Tony, kita masih naik perahu motor kecil. Benar-benar perjalanan yang jauh. Dari naik mobil, naik pesawat, naik mobil lagu, naik kapal laut, naik delman, lalu terakhir naik perahu motor. Tak terasa, delman sampai ke tujuan. Kami menuruni jalan menuju ke sebuah hilir sungai. Untuk menuju ke lokasi, kami harus menyewa perahu motor dengan waktu tempuh sekitar 5 jam. Karena medannya sulit, hanya perahu yang bisa mengakses desa tersebut. Ya, desa tersebut berada di sebuah pulau kecil. Kulihat pria yang mengemudikan perahu motor ramah. Kutanya, apakah dia warga asli desa tersebut, katanya tidak. Kamipun menaiki perahu tersebut. Aliran sungainya tenang. Warnanyapun termasuk jernih dengan dasar yang gelap. Katanya sih sungai ini dalamnya sekitar 4 sampai 6 meter. Woow dalam juga. Aku takut tenggelam, soalnya aku gak bisa berenang. Pemandangan di sebelah kiri dan kanan tampak indah. Tumbuhan khas hutan hujan tropis yang asri dan rindang memanjakan mataku. Udara yang kuhirup juga segar. Burung serta satwa liar berkaki empat juga terlihat minum air sungai di tepian. Perahu ini tampak mengarungi sungai dengan maksimal. Suara mesinnya berdesing nyaring. Sampai akhirnya perahu ini mengarungi lautan dan membelah ombak yang rendah. Udaranya berubah sedikit agak asin. Mungkin karena gesekan udara dari arah depan menerpa lapisan laut lalu menerpa ke tubuh kamu. Dari menikmati pemandangan pepohonan, kami tidak melihat apapun. Hanya garis cakrawala mengelilingi kami. Untunglah, perahu ini ada penutupnya, jadi tidak silau oleh sengatan cahaya matahari. Tanpa terasa kami yang berjumlah 4 orang akhirnya sampai di desa tersebut. Dua cowok dan dua cewek termasuk aku. Kulihat jam menunjukkan pukul 11 siang. Di sana kami disambut ramah oleh penduduk setempat. Dengan bantuan Toni kami bisa berkomunikasi dengan mereka. Aku tidak menyangka, bahasa daerah di tempat ini unik. Intonasi, dialek, serta tutur katanya halus. Mungkin karena lingkungannya yang subur, pengaruhnya sangat besar terhadap bahasa. Sesuai rencana, kami akan menginap selama 3 hari di sini. Aku perhatikan mereka seperti tidak terpapar oleh dunia modern. Pakaian mereka hanya dari pelepah pohon dan dedaunan yang dikeringkan. Rumah serta peralatan keseharian mereka begitu sederhana. Untuk makan mereka peroleh dari berburu dan bercocok tanam. Jangan tanyakan ada sinyal dan internet di sini. Peralatan paling canggih dari mereka hanyalah pisau yang terbuat dari batu. Aku seperti terlempar ke zaman megalitikum!! Kami menghabiskan waktu dengan mengamati keseharian dan aktivitas mereka. Meski penuh kesederhanaan tapi mereka terlihat bahagia. Beda sekali dengan masyarakat kota. Yang penting mereka bisa makan sudah senang. Para pria hidup berburu, sedangkan wanita memasak dan melayani suami-suami mereka. “Anggu dan Ria tinggal di rumah itu, sedangkan aku dan Arya akan tinggal di rumah sebelah sana” ujar Toni. “Makasih ya” ujarku. “Kalau mau, kalian boleh berganti pakaian seperti mereka. Ini pakaian buat kalian” ujar Toni menyerahkan pakaian tradisional lalu diterima Ria. “Eh, benaran kamu asli dari desa ini?” Ujarku ke Toni. “Nggak, kakekku yang berasal dari desa ini, kenapa?” ujarnya. “Beda banget,

 

kamu lebih modern dan bisa kuliah S2 bareng kita” ujarku. “Hahaha kamu tuh salah menilai. Itu kan kehidupan kakekku, aku sudah modern dong. Aku besar bukan di desa ini, tapi di kota. Walaupun mereka hidup di desa terpencil, tapi mereka makmur. Mereka memang tidak terpengaruh sama dunia luar. Adat dan budayanya masih asli dan alami” ujarnya. “Biaya kuliahnya kamu dapat dari mana?” Ujar Ria. “Biaya selain dari ortu, kakekku punya warisan dari desa ini. Yaitu harta yang tidak diketahui orang luar. Tapi, untuk kalian aku beri tahu. Tapi janji jangan mengambik foto dan jangan dibocorkan ya? Karena itu dilarang. Hukumannya berat kalau melanggar” Ujar Toni. “Iya iya.. aku janji” ujarku. “Iya, aku janji” ujar Ria. “Desa ini punya bukit yang mengandung emas. Tuh ada di sebelah sana. Itu kalau dijual, bisa buat biaya kuliahku” ujarnya. “Wooow… jualnya gimana tuh, gak takut di tangkap karena tidak ada sertifikatnya?” Ujar Ria. “Hahaha itu ada caranya. Jual ilegal” ujarnya. “Hihihi bener juga” ujarku. “Ya udah, kalian istirahat aja dulu, nanti kita kumpul lagi” ujarnya. “Sipp… makasih ya” ujarku. Toni balik badan pergi meninggalkan aku dan Ria. “Yuk Anggu kita istirahat dulu” ujar Ria menarik pergelangan tanganku berjalan menuju rumah tempat tinggal kami. Gak jauh, cuma 13 meteran. Kamipun akhirnya sampai di rumah yang terbuat dari tumpukan batu besar dan kayu sebagai penahan dengan ukuran sekitar 3 kali 4 meter. Ukurannya sih tidak sebesar kamarku di rumah, tapi cukup untuk istirahat. Yang bikin kaget, pintunya dari batu berbentuk lingkaran yang pipih mirip uang logam ukuran besar. Aku teringat flintstone yang kutonton waktu aku masih kecil. Ternyata di zaman sekarang masih ada pintu seperti ini. Ranjangnya dari balok batu dengan lembaran-lembaran kulit rusa yang dikeringkan. Tidak ada bantal dan guling. Semuanya serba alami. Ventilasi udara ada di bagian dinding batu bagian atas. Atapnya dari kayu dan jerami kering. Di Atas jerami tersebut ditumpuk oleh bebatuan agar tidak jatuh terhempas angin. “Anggu…. Cocok nggak?” Ujar Ria dari arah belakang. Aku menoleh kemudian balik badan ke belakang. Mataku terbelalak. Aku kaget Ria sudah berganti pakaian seperti masyarakat desa ini. Sepasang tangannya masih memegang tali seperti dari sabut kelapa yang ada di bawah ketiaknya. Atasannya berupa kemben dari serat batang pepohonan kering yang disulam dan dianyam rapi. Itupun hanya menutupi sebagian buah dadanya yang terbilang berisi. Bagian perut dan pusar terpampang jelas. Untuk bagian bawahnya, berupa rok yang juga dari anyaman sabut dengan ada belahan di bagian sisi pinggul kiri dan kanan. Panjangnya kira-kira setengah jengkal dari lututnya. Kontras sekali kulit Ria dengan pakaian itu. Seperti cosplay. Pakaian atasnya mirip bikini sih. Sepasang buah dadanya hanya ditutupi lembaran anyaman persegi panjang yang lebarnya cuma sejengkal tanganku. “Kok bengong sih…?” Ujarnya. “Hihihi… cocok banget kamu Ria” “Jangan diliatin gitu. Dasar kamu mesum…. ” “Nggak mesum kok, tapi kagum aja. Gak nyangka kamu berani pakai pakaian itu. Sejak kapan kamu ganti pakaian? Cepet banget” ujarku. “Iya lah berani, toh bagi masyarakat sini pakaian ini wajar dan normal-normal aja. Aku ganti pakaian sejak kamu bengong membelakangiku” ujarnya. “Bengong. Nggak. Aku ngamati kok” “Ngamati apaan?” “Unik aja tempat bermalam kita” “Iya sih. Anggu.. jangan diem aja, bantuin pasangin tali ini” ujarnya sambil tetap memegangi sepasang tali. “Iya iya sayang…” ujarku lalu menghampirinya. Aku berjalan hingga berada di punggungnya. Wow, aku baru tahu ternyata pakaian ini tidak menutupi punggung. Jadi hanya sebatas menutupi buah dada sampai di bawah ketiak. Kugapai 2 tali lalu kulihat dia melepaskan pegangannya. Aku iseng menariknya kebawah. “Anggguuuu….. apa-apaan sih.” Gerutunya saat pakaian atasnya lepas dan kupegang di tangan kiriku. Tangan kanannya tampak menutupi sepasang buah dadanya. “Hihihi… gak sekalian aja kamu topless gini” ujarku. “Enak aja.. toketku ini bukan barang buat dipamerin” ujarnya. “Nih kalau mau lihat” ia balik badan, lalu melepaskan tangan kanan yang menutupi sepasang buah dadanya. “Waaaww… ” ujarku saat melihat sepasang buah dadanya. “Gimana? Besar mana sama punyamu?” Ujarnya sambil memegang bagian bawah buah dada dan mengangkatnya sedikit ke atas dengan telapak tangannya. “Besar punya kamu….” ujarku. “Ah masak sih? Punyamu juga besar lhooo” ujarnya tiba-tiba tangannya hinggap di buah dadaku yang masih terbalut bra dan pakaian. “Iihh… Ria nakal…” ujarku. “Ayo dong dibuka juga terus pakai pakaian seperti ini” ujarnya. “Maaf Ria, aku gak bisa. Lebih baik aku pakai pakain ini saja” ujarku. Aku tidak mau mengenakan pakaian terbuka seperti itu. Ria sepertinya paham ideologiku. Jadi dia tidak memaksaku untuk mengenakan pakaian itu. “Eh Ria, sejak kapan kamu punya tato?” Ujarku mencairkan suasana. “Oh ini?” Ujarnya sambil menunjuk tato bergambar bunga mawar yang tidak terlalu besar di buah dada sebelah kiri diatas putingnya. “Sejak 2 tahun lalu” “Suka bunga mawar ya?” Tanyaku. “Iya suka. Karena Filosofi bunga mawar bagus” “Iya, aku juga suka bunga mawar. Lalu, kalau tindiknya juga sudah lama?” Ujarku sambil melihat puting kirinya yang ditindik dan terdapat cincin. “Ini baru 5 bulan lalu” ujarnya. “Wooow.. jangan-jangan yang nindik cowok ya” ujarku. “Ya enggak lah. Yang nindik itu temen cewek dan seorang dokter. Dia sendiri sih yang nindik. Aku coba nindik tanpa dibius. Rasanya sakit tapi enak” ujarnya. “Hihihi… kok satunya gak di tindik juga?” Tanyaku. “Kalau ini aku biarkan polos” “Ooh.. kukira satunya bakal dibikin binal” “Maunya sih gitu. Eh kamu tanya tanya emang mau di tindik dan di tato juga ya Anggu?” Tanyanya. “Nggak.. cuma penasaran aja. Makanya aku tanya” ujarku. “Kalau mau, biar aku bantu kok” ujarnya. “Enggak deh makasih. Eh, di balik pakaian ini ada yang halus ya?” Ujarnya sambil membalik pakaian adat yang menutupi buah dada di genggaman tanganku. “Biar nyaman Anggu. Yuk pasangin dong. Aku gak mau keluar topless” ujarnya. “Ya udah, sini sini buruan balik badan” ujarku. Ria berbalik badan. Aku mendekat, lalu memasangkan pakaian atas tradisional Ria kemudian aku ikat sepasang tali pengait di punggung yang melingkar dari bawah ketiaknya. Aku ikat dengan simpul hidup yang sederhana. “Gimana Ria?” Tanyaku. Kulihat ia sedang membenarkan kemben tersebut. “Nah, kalau begini sudah pas” ujarnya. “Bunga mawarnya keliatan tuh hihihi” ujarku. “Gak apa-apa, yang penting putingku aman. Hihihi” ujarnya. “Eh, kamu pakai celana dalam nggak?” Tanyaku. “Lihat nih” ujarnya sambil menunjukkan belahan di samping pinggul dan paha sampingnya tidak ada kain celana dalam. “Gimana rasanya tuh” ujarku. “Kalau penasaran, buruan bugil terus pakai ini” ujarnya dengan menyerahkan pakaian tradisional itu kepadaku. “Nggak..nggak” ujarku menolak dengan isyarat dua telapak tanganku. “Ya udah aku gak akan maksa kok, yuk kita keluar” ujarnya. “Baiklah” Ujarku. Akupun menggeser pintu batu kemudian kami keluar. Terlihat matahari yang cahayanya menguning menembus dedaunan dari pohon yang tinggi berada di sudut atas dari dari pohon di arah depanku. Kulihat ponsel menunjukkan pukul 3 sore. Para penduduk melihat sejenak ke arah kami. Tidak lama, berselang 2 detik mereka kemudian melanjutkan aktifitas. Kalau di kota, yang ada malah melototin terus. Aku yang masih berpakaian kota dengan hijab yang lengkap, sedangkan Ria mengenakan pakaian adat tradisional dan tanpa alas kaki. Murni, dia mengenakan alas kaki kulit alami. “Wah Ria cantik banget pakai pakian itu” ujar Toni yang sedang berjalan dari arah kiri menuju ke aku dan Ria. Dia sudah berpakaian seperti penduduk sini. Pakian atasnya topless, sedangkan bawahannya seperti dari kulit hewan yang disarungkan sebatas lutut gitu. “Benar banget ton. Kulitnya bersih dan putih. Eh, tapi kenapa Anggu tidak pakai juga?” Lanjut Toni. “Ngawur kamu Ton, keyakinannya melarang pakai pakaian terbuka seperti ini” ujar Arya. “Eh maaf maaf” ujar Toni. “Nggak apa-apa kok. Eh, gimana bahan penelitianmu Arya?” Tanyaku. “Baru diskusi sebentar. Aku diskusi sama mereka dengan Toni. Toni ini penerjemah untuk penelitianku hehehe” ujar Arya. “Baguslah. Jadi kamu gak bingung dan segera dapat bahan untuk tesis” ujarku. “Kalau kamu gimana Anggu?” Ujar Arya. “Aku sudah dapat bahan. Setelah diskusi bersama profesor, tema penelitian untuk tesisku diapresiasi” Ujarku. “Enaknya….” Ujar Arya. “Makanya rajin belajar. Jangan cuma main game dan pacaran aja” celetuk Ria. “Sial. Janganlah kamu buka kartu as ku” ujar Arya lesu. “Menurutku main game dan pacaran sah sah aja. Asal bisa memanajemen waktu dan memanajemen emosi, kamu bisa belajar dan dapat nilai baik. Melakukan sesuatu jangan berlebihan.. walaupun itu baik, tapi masih ada sesuatu yang kita lakukan. Misal main game 5 jam, ya jangan lupa belajar, mandi, makan. Kalau bisa belajarnya juga 5 jam” ujarku. “Wooow.. terimakasih sensei…” Ujar Arya seraya meraih telapak tangan kananku lalu ia sedikit menundukkan kepala menempelkan punggung tangan kanan ke jidatnya. “Iih… apa-apaan sih. Biasa aja kali….” Ujarku langsung menarik tangan kananku. “Hahaha kalian ini masih sama aja, suka gurau” ujar Toni. “Ya namanya teman kan tentu ada bercandanya” Ujar Ria. “Eh.. Kita kan baru datang dengan perjalanan cukup jauh. Yuk teman-teman ikut aku” ujar Toni. “Kemana?” Ujarku. “Makan. Emang kamu gak lapar?” Tanyanya. “Lapar… hihihi” ujarku disambut tawa mereka. Toni berjalan di depan.

Sedangkan kami mengikutinya dari belakang. Kami menuju rumah yang agak besar dan tangga batu berundak. Saat di dalam, ruangan ini cukup besar. Ada beberapa orang berlalu lalang. Sepertinya mereka pembantu atau bawahan. Kami disambut oleh seorang yang cukup tua dengan mahkota di kepalanya. Toni memperkenalkan kami satu persatu dengan bahasa daerah. Toni bilang bahwa penduduk sini menerima kedatangan kami dan mengijinkan kami tinggal sebanyak yang kami mau. Sejauh ini, tampaknya penduduk sini tidak ada yang mengerti bahasa Indonesia. Hanya Toni satu-satunya penerjemah kami. Toni menjelaskan bahwa orang tua tersebut adalah ketua adat disini. Dia mempersilahkan aku duduk lesehan di pelataran batu yang dilapisi kulit sebagai alas. Kemudian, datang 3 orang membawa makanan. Dari buah buahan segar, ikan bakar, sampai daging ayam. Piringnya menggunakan daun pisang. Kami berempat pun makan. Sang ketua adat tidak ikut makan bersama kami. Ia meninggalkan kami untuk makan. Aku hanya mengambil ikan laut, sayuran dan buah. Saat makan, Ria yang duduk di sampingku membisikiku dan melihat ke arah Arya. Duduk Arya bersila. Entah dia sadar atau nggak, aku sempat melihat kepala penisnya yang menggantung. Akupun mengucapkan istighfar. Arya kaget, lalu dia membetulkan posisi duduknya. Dia tampak malu. Setelah menyantap makanan, tidak lupa menutupnya dengan minum. Para pelayan datang meringkas makanan, lalu datang ketua adat. Dengan bantuan Toni, ketua adat mengucapkan selamat bersenang-senang. Anggap desa ini sebagai kampung halaman kami. Kamipun mengucapkan terimakasih, lalu keluar meninggalkan rumah megah ini. “Arya, kamu langsung mau meneliti?” Ujar Toni saat setelah turun dari batu tangga berundak. “Iya” ujar Arya. “Kalau gitu, aku kenalkan ke salah satu orang pandai di desa ini” ujar Toni. “Wah.. ok tuh. Anggu.. Ria, kalian gak perlu ikut. Kalian istirahat aja” ujar Arya. “Nggak.. aku belum ngantuk” ujar Ria. “Sama” sambungku. “Gini aja. Disebelah sana ada pantai yang bagus. Kalian menyusuri jalan setapak ini ke arah sana.. lalu kalau mau mandi, di dekat pantai ada air terjun” ujar Toni. “Gimana Anggu?” Ujar Ria. “Yaudah. Kita kan liburan. Yuk ke pantai” ujarku. Sebelum Aku dan Ria meninggalkan mereka, Arya mengucapkan agar aku berhati-hati. Ria balik badan dan menjulurkan lidah. “Selamat meneliti ya?” Ujarku kemudian pergelangan tanganku ditarik Ria. Kami berjalan melalui jalan setapak. Menjauhi perkampungan desa. Yang awalnya di kiri dan kanan ada rumah-rumah batu, sekarang di samping kiri dan kanan sudah tidak ada. Yang ada ialah semak-semak belukar dan pepohonan tinggi dan lebat. Semakin jauh, semak-semak belukar menutupi jalan. Jadi, aku dan Ria menggunakan tangan untuk menyingkirkannya. Saat berjalan, kami 3 kali bertemu babi hutan yang melintas dari arah kiri ke arah kanan maupun sebaliknya. Jalan setapak yang kami lalui sudah cukup jauh. Kulihat layar di ponsel menunjukkan pukul 1 siang, tapi tidak terasa panas. Hutan sebagai paru-paru dunia memang benar adanya. Udara segar yang kami hirup sangat berbeda dari perkotaan yang telah terkontaminasi oleh asap. Baik itu asap kendaraan, pabrik, maupun asap rokok. Apalagi, sekarang ada beberapa kalangan orang yang beralih ke vape. Dengan sekali hisap, asap mengepul mencemari udara. “Awww…” ujar Ria saat jalan setapak kami melewati semak-semak. Salah lengan kiri Ria tergores ranting dan daun semak-semak. Akupun mendekati Ria yang berjalan di depanku. “Duh, lenganmu terluka” ujarku. “Nggak apa-apa kok. Cuma tergores dikit. Beberapa jam lagi sudah kering” ujarnya. “Ya walaupun begitu, tetap bahaya. Kamu sih gak hati-hati” ujarku. Dia malah cengengesan. Dalam perjalanan, akhirnya aku bisa melihat laut. Beberapa menit kemudian, kami sudah di pinggir tebing. Jalan setapak ini menuruni tebing yang dalamnya 150an meter. “Angggu… lihat tuh pantainya” ujar Ria menunjuk di arah jam 10 ke arah bawah. “Woaaaa…. Bagus banget pantainya” ujarku. “Iya, pasirnya putih dan air laut di teluk warnanya hijau” ujar Ria. “Heiii… jangan cepet-cepet!!!!” Teriaku. Huhh… Ria ini malah ninggalin aku di belakang. Padahal jalan menurunnya ini berliku-liku dan menyusuri tebing. Jalan setapak menuju ke pantai lebarnya tidak sampai 1 meter dan hanya berupa tanah. Sebagian ada yang berundak dari bebatuan. Kalau tidak hati-hati, aku bisa kepleset masuk jurang nih. Aku melihat Ria sudah tidak ada dalam pandanganku. Jalan setapak yang berkelok-kelok dan tingginya pepohonan yang rapat membuatku tak mengetahui keberadaan Ria. Mungkin dia sudah sampai duluan. Aku fokus berjalan sambil melihat jalan setapak ini. Suara burung serta monyet liar bergelantungan menemani perjalananku. Puluhan menit kemudian, sepertinya aku sudah hampir sampai. Yang penting aku sudah menuruni tebing. Jalan yang kulalui kali ini landai. Yang kuinjak bukan tanah dari tebing, melainkan pasir yang masih ditumbuhi beberapa rerumputan dan semak-semak. Suara ombak pun semakin jelas terdengar. “Heiii Angguu… sini…” Teriak Ria. Aku lihat Ria sedang berlari kecil mengejar ombak. Saat terhempas ombak, Ria menjerit kecil. Kulihat dalamnya air laut sepinggulnya. Terlihat Ada ombak yang gak besar datang. Ria menoleh dan berlari kecil ke arahku. Karena kalah cepat, ia terhempas ombak sampai jatuh. “Seru banget Angguu.. sini ikutan mandi” ujar Ria sambil berdiri dari jatuhnya. “Aku gak bawa salinan Ria” ujarku. “Lepasin aja pakaianmu” ujarnya. “Iihh.. ogah…” ujarku. “Hihihihii…” tawa kecilnya berjalan ke arahku. Jarak bibir pantai dengan tempatku berdiri jaraknya sekitar 9 meter. Ketika jaraknya 5 meter dariku, tangan kirinya kulihat meraih sesuatu. Dalam beberapa hitungan detik, pakaian atas tradisionalnya lepas dan ia lempar ke samping kanan. Aku ingat, tadi sewaktu mengikat tali pakaian atas di punggunya, aku ikat dengan tali simpul hidup sederhana. Jadi dengan sekali tarik, mudah dilepas. Sepasang buah dadanya menggantung bebas dan berayun-ayun sambil berjalan layaknya model catwalk. Ia tidak menutupi puting dan areolanya tersebut. Ketika jaraknya 3 meter dariku, ia melepaskan tali yang mengikat di pinggulnya. Saat lepas, ia menenteng dengan tangan kiri pakaian bawahan tradisional tersebut, lalu melemparkan ke arah kirinya. Kini ia telanjang bulat sambil melenggak-lenggok ke arahku. Rambut kemaluannya tidak ada. Bulir-bulir air laut menempel di sekujur tubuhnya, juga butiran-butiran pasir akibat jatuh yang menyelimuti lutut paha bagian kiri, dan lengannya. Warna butiran pasir ini masih kalah putih dibandingkan kulitnya. Jadi, pasirnya terlihat lebih gelap. “Jangan sampai terangsang ya.. ” ujar Ria saat ada dihadapanku. “Emangnya aku lesbi.. sorry ya. Aku masih normal” ujarku. “Ya siapa tau.. hihihi… eh fotoin aku dong” ujarnya. “Yakin kamu difoto telanjang seperti itu?” “Yakin dong. Jangan sampai kesebar ya? Aku percayakan sama kamu foto-fotonya nanti” ujarnya.

“Iya iya.. kalau diberi amanah, aku pasti menjaganya” ujarku. Dia lalu berdiri membelakangi laut. Aku mengambil ponsel di sakuku, kemudian menyalakan kamera. Kulihat tangan kiri Ria menutupi buah dadanya, dari buah dada kiri hingga telapak tangannya meremas buah dada kanannya. Sedangkan telapak tangan kanannya ia rapatkan menutupi kemaluannya. Aku arahkan kamera lalu mengambil gambar. Ia tersenyum mani, saat itulah aku mengambilnya gambar. Ada sekitar 4 foto. Pose selanjutnya, ia melepaskan jemari tangan kiri yang menutupi buah dada kanan sehingga puting dan areolanya mencuat diantar jari telunjuk dan jari tengah. Tangan kiri dekat siku ia tekan ke buah dada sebelah kiri, sehingga bongkahan buah dada tersebut tampak menggembung di bagian bawah dan bagian atas. Puting dan areola kirinya masih tertutupi tangannya. Sebagian gambar tato bunga mawarnya nampak jelas dari bagian atas tangan, lalu bersambung ke bagian tangkai di bagian bawah. Sedangkan tangan kanannya menutupi kemaluannya, tapi hanya menggunakan 2 jari yang ia tekan, sehingga jari telunjuk dan jari tengahnya diapit dan seolah tertelan oleh labia mayora. Ia juga melebarkan sepasang kakinya. Akupun mengambil gambar lebih dari 2. “Sudah” ujarku. Ia kemudian tersenyum lalu melepaskan tangan kiri dan telapaknya hinggap di kemaluan bersama tangan kanannya. Lengannya ia apit ke sepasang buah dada sehingga saling berhimpitan. Ia memasang wajah genit ke kamera. 5 gambar terabadikan. Ria balik badan dan menuju laut membasahi diri, kemudian ia kembali dan duduk bersimpuh menghadapku. Sepasang tangannya mengambil pasir laut lalu menyiramkan ke tubuhnya. Lalu mendongakkan kepalanya dan wajahnya menatap laut. Sepasang tangannya ia taruh belasan dari ujung kaki menopang badannya. Dadanya membusung dan kalau kulihat dari samping, dari pinggul sampai bahu berbentuk curve. Sepasang paha ia rapatkan. Kemaluannya tidak terlihat. Hanya bongkahan buah dadanya saja. Tubuhnya yang terbalut pasir tampak artistik. Aku arahkan kameraku dari berdiri dan kuambil 3 gambar dari depan. Kemudian aku turunkan sedikit hingga dagunya terlihat diantara sepasang buah dadanya. Aku turunkan dikit hingga tak terlihat dagu serta lehernya dan mengambil gambar. Aku lalu mendekatinya. Dan mengarahkan kameraku secara landscape ke sepasang buah dadanya. Kemudian kuambil satu persatu buah dadanya. Dari sebelah kanan lalu sebelah kiri. Walaupun areola dan putingnya tertutup pasir, samar-samar masih terlihat warnanya. Kali ini aku fokus close up ke puting. Tap Tap!!! Terabadikanlah 2 foto puting kanannya. Sekarang aku mengambil gambar dari sebelah kanannya. Seperti sebelumnya, Aku mengambil gambar dari depan dan kuawali dengan jarak jauh. Rambutnya yang basah menggantung ke bawah wajahnya menatap laut “Sudah kamu foto?” “Sudah” KRESEK……KRESEKKKKK….. Tiba-tiba dari arah kananku dan di arah depan Ria muncul suara yang berasal dari semak-semak. KRESEKK….. Bersambung……..