TAMAT Paradiso!

Kata Pengantar​
Semusim, Pucuk Limau Pelangi, Supernova, Perahu Kertas. 4 Karya itulah yang membuat saya terinspirasi (kalau tidak mau dibilang ripped off) menulis Paradiso. Ditulis pertama kali pada tahun 2012, Paradiso dibantu oleh banyak orang yang tidak mungkin saya sebut satu persatu (takutnya ada yang kelupaan terus nelongso nggak kesebut). Beneran, saya sama sekali tidak akan bisa membuat plot cerita segede ini tanpa bantuan mereka. Makanya, saya sedikit sedih karena Paradiso ikut hilang menyusul hilangnya Jaya S 3 tahun yang lalu. Saya kemarin ngilang bukan buat nyari sensasi (seperti yang sempat dituduhkan) tapi emang dulu sempet ada masalah. Mudah-mudahan di tahun 2015 ini kita bisa saling memaafkan dan memulai lembaran baru yang indah Versi remastered ini tetap tidak akan berubah plotnya. Hanya disempurnakan bahasanya. Ibarat game, ini adalah versi HD-nya, kerena waktu awal saya menulis cerita ini, ‘software’ saya belum mumpuni buat menggambarkan imajinasi yang ada di kepala saya. Terima kasih banyak buat flavus.banana dan banunuba yang sudah menyimpan soft copy cerita ini, soalnya soft copy punya ane udah almarhum huhuhu. Terima kasih buat temen-temen yang sudah nyariin cerita ini. Terima kasih banyak buat tim sukses Paradiso, yang sudah saya ajak menulis cerita ini dulu. Terima kasih banyak buat pembaca sekalian yang dulu terus nemenin ane nulis cerita ini, juga buat spartan huha tempat berbagi suka dan duka. Salam, Jaya S.

Fragmen 1 The Dream Painter -Ava- ​
Ubud, 2012… Hanyalah pemadangan sawah bertingkat-tingkat yang indah dan deru skuter tua yang seolah tak mau lagi hidup yang menyusur di tengahnya. Matahari bersinar tinggi di langit biru tanpa awan, menyisakan silau di balik kacamata hitam Ava yang bundar besar. Skuter yang ditumpangi Ava berjalan perlahan melewati jalan kecil berkelok di tengah persawahan, mereka sedikit melambat saat melewati sekumpulan orang berpȧkȧïȧn hitam-hitam di jalan itu. “Bli, Bli Kadek, ada apa ini ramai-ramai?” Pemuda dengan brewok tebal itu menepuk pundak orang yang duduk di depannya. Kadek namanya, ia adalah kakak kelas Ava waktu kuliah di Institut Seni di Jogja. Kadek ini pula yang menawari Ava pekerjaan di tempat seorang seniman terkenal di kampungnya, setelah Ava lulus bulan lalu. “Oh, ini ada pengabenan,” Kadek menyahut tanpa menoleh. Kadek menganggukkan kepala kepada orang-orang itu, sekedar sopan santun saat melewati rombongan mereka. Aroma dupa dan alunan tetabuhan yang terdengar asing membuat bülü kuduk Ava merinding. Ava melirik ke arah patung lembu hitam yang diusung dan orang-orang berjalan dengan wajah murung. Sebüȧh upacara pemakaman. Ava menghela nafas. Mendȧdȧk dȧdȧnya dipenuhi dengan rasa takut yang purba. Pemuda itu tercenung lama, sampai akhirnya skuter mereka menjauhi rombongan itu. Beberapa saat kemudian mereka sudah tiba di sebüȧh villa yang indah. Villa itu terletak di pinggir jurang yang menjorok ke sungai. Skuter mereka melewati candi bentar berukir dan memasuki halaman yang dipenuhi oleh tanaman tropis yang eksotis. Kadek memarkir motor. Di halaman ada seorang laki-laki paruh baya berbadan subur sedang mengelus-elus ayam jago. “Ajik, siapa yang di-aben?” tanya Kadek kepada orang itu. “Oh, Pekak Gedang, dari banjar sebelah.” Kadek manggut-manggut, lalu meletakkan helmnya di bale-bale. [Ajik = Bapak] Pak De namanya. Pada awalnya Ava juga bingung, kenapa orang Bali sepertinya dipanggil Pak De, mungkin nama aslinya Pak Made, Pak Dewa, atau Pak Gede. Tapi cukup Pak De saja, itulah nama seniman yang digunakannya. Nama yang terkenal sampai ke luar negeri sebagai pelukis aliran realisme yang berpengaruh. Ava ditawari Kadek untuk ‘berguru’ pada seniman yang kebetulan satu kampung dengannya. Sebagai gantinya, selama beberapa tahun Ava akan ‘ngayah’ di tempat itu; mengabdi tanpa pamrih kepada keluarga Pak De, dan selama itu pula Sang Maestro akan menurunkan ilmu yang dimiliki kepada Sang Murid. Jika beruntung karya-karya Ava akan ikut diorbitkan ke galer-galeri terkenal di Jakarta, bahkan ke tingkat Internasional, seperti murid-murid beliau terdahulu. “Saya Ava.” Ava menjulurkan tangannya ke arah orang itu, tampak canggung di depan tokoh yang diseganinya. “Hahaha.. berbeda jauh seperti bayangan saya, saya Gede, ah panggil saja Pak De, Hahaha… Ah, maaf tangan saya kotor.” “Memang seperti apa bayangan bapak?” “Ava Devine? Ava Lauren?” “Hahahaha” Ava tertawa, tahu siapa yang dimaksud -pemain film panas-, “Bukan, Saya Mustava Ibrȧhïm…” “Ah, ayahmu pasti penggemar Queen.” “Benar.” Suasana langsung cair, ternyata Pak De sangat humoris meskipun ia memiliki brewok lebat dan rambut panjang yang diikat ke belakang, yang sekilas mengingatkan Ava pada perawakan seniman Djaduk Ferianto. “Nanti saja ngobrol-ngobrolnya, saya juga belum mandi. Kamu istirahat saja dulu,” kata Pak De. “Dek, kamu antar Ava ke kamarnya.” Ava diantar Kadek melewati jalan setapak yang dirimbuni pepohonan tropis. Mereka melewati bangunan yang dicat tanah dengan atap jerami, dipisahkan oleh kolam renang kecil dari bangunan utama. Di dalamnya penuh dengan lukisan, ada pula yang belum jadi. Sepertinya itu studio Pak De, batin Ava. Yang di sebut ‘kamarnya’ ini lebih mirip gazebo, namun sudah difurnish halus. Bangunan ini berupa bale-bale di bawah, dengan tangga naik ke balik atapnya yang melambung tinggi seperti lumbung padi. Di dalam atap inilah Ava akan tidur. Dengan susah payah Ava menaikkan tas berisi baju dan peralatan lukisnya menaiki tangga, sampai akhirnya ia menghempaskan punggungnya ke atas kasur busa empuk yang digeletakkan begitu saja di ruangan 2×3 meter itu. Ava jadi teringat tempat kost-nya di Jogja. Namun ini jauh lebih baik. Ruangan itu terbuat dari kayu yang dipelitur mengkilap. Nyaris tanpa perabot kecuali sebüȧh meja kecil dan lemari kecil. Di ujungnya ada jendela kayu besar, Ava membukanya. Sontak udara persawahan mengalir masuk, segar. Ava bisa melihat Gunung Batur di utara dengan kaldera rakasasanya yang diisi jutaan galon air, mengalirkan puluhan anak sungai yang melewati lembah-lembah hijau yang dipenuhi sawah bertingkat-tingkat. Pemandangan dan udara Pulau Dewata ini begitu membius. Tahu-tahu Ava sudah terlelap dalam mimpi indah. Tidurnya dipenuhi dengan mimpi-mimpi muluk seorang sarjana fresh graduate. Waktu itu Ava masih belum mengetahui apa yang akan menantinya di perantauan ini. Tidak sama sekali.

Fragmen 2 Firdaus Terakhir ​
Senja mulai menjelang ketika Ava selesai berbincang dengan Kadek dan Pak De. Bergelas-gelas kopi yang sudah tandas dan pisang goreng yang tinggal bersisa sepotong menandakan lamanya percakapan Sang Maestro dan calon muridnya. “Woi, rajin amat,” goda Kadek pada juniornya itu. “Jelas, dong,” sahut Ava tanpa menoleh. Ava sedang sibuk mencuci gelas bekas kopi, ketika Kadek menepuk pundaknya dari belakang. Sebenarnya sudah ada Mbok Ketut dan Mbok Nengah, pembantu rumah tangga di Villa Pak De, juga beberapa karyawan yang membantu di tempat itu, namun Ava terlalu tidak enak hati kalau tidak mencuci gelasnya sendiri. “Ada apa, Dek?” Ava berkata acuh tak acuh. “Ava, manjus, yuk!” “Apa? Maknyus?” “Manjus, artinya mandi!” “Ooh, kamu duluan aja, Dek.” Ava menjawab malas, karena masih harus membilas sebuah gelas kotor dengan ampas kopi di dasarnya. “Ah, nggak seru! Ayo manjus sama-sama!” “Hah!” Gelas yang sedang sedang dicucinya cuci jatuh di bak cuci piring, untung tidak pecah. “Hahaha… Santai aja… aku sudah punya pacar kok!” kata Kadek. “Pacarmu… cowok?” tanya Ava takut-takut. “Hahaha…” Kadek malah tertawa-tawa sambil menyeret tangannya.
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =​
Skuter Kadek melewati jalan tanah yang agak menjauh dari desa. Di kiri-kanan terdapat areal persawahan yang menguning, siap untuk dipanen. Langit sudah mulai memerah, tanda matahari hampir beranjak ke peraduannya. Kumpulan burung melintas, menimbulkan bunyi dengung yang menggaung di udara. Suaranya ditenggelamkan bunyi skuter butut yang terkentut-kentut. Handuk yang tergantung di leher Ava berkibar diterpa angin sore. Ava tidak habis pikir, kenapa dirinya mau-maunya menuruti ajakan Kadek. Mandi bersama-sama? Yang benar saja! batin sang pemuda. Di ujung jalan, mereka berkelok menikung. Menyusuri pinggiran saluran irigasi yang terbuat dari beton. Beberapa wanita sedang asyik mandi di saluran irigasi yang terletak di pinggir jalan kecil itu. Sebagian mengenakan kemben, sebagian dengan santainya mencuci baju sambil bertelanjang bulat di dalamya. Mereka cuek melihat Kadek dan Ava melintas, meskipun ada beberapa yang tampak rikuh menyadari kehadiran Ava yang notabene orang asing di desa itu sehingga langsung berjongkok ke bagian air yang lebih dalam. Memang tak semuanya memiliki tubuh yang indah, namun di mata Ava –dengan segala keindahan alamnya- semua tampak begitu indah, seperti cerita orang-orang dulu, seperti lukisan yang sering dilihatnya! “Dek! Aku pikir sekarang sudah nggak ada orang mandi di sungai!” jerit Ava takjub. “Di Bali Barat memang sudah nggak ada! Tapi semakin ke Timur semakin kaya gini!” “O-oooh.” “Melestarikan budaya,” kata Kadek lagi, dan Ava hanya bisa manggut-manggut mendengar penjelasan itu. Sepengetahuannya di daerah pedesaan memang masih ada penduduk yang mandi di tempat terbuka, namun ia benar-benar tidak menyangka di pulau yang diserbu arus modernisasi seperti Bali, dirinya masih bisa menjumpai pemandangan seperti ini. Kadek memarkir motornya di pinggir jalan, di samping berapa motor yang sudah lebih dulu terparkir. Ava mengikuti Kadek dari belakang. Mereka berjalan di jalan setapak yang sedikit curam, menuruni tebing yang diteduhi tanaman paku-pakuan, hingga akhirnya terdengar suara bergemericik dari kejauhan. Ava menyibak daun pisang yang menutupi jalan, dan dia segera disambut oleh pemandangan yang eksotis. Sungai kecil yang dipenuhi batu dan dirimbuni pepohonan. Airnya mengalir jernih, sehingga dasar sungai yang dipenuhi batu tampak jelas. Suara air mengalir bergemericik menyelinap di antara batu besar. Beberapa orang dalam berbagai usia, tua-muda, anak-anak, laki-laki, perempuan menikmati suasana senja tanpa apapun menutupi tubuh mereka. Beberapa merendam tubuh telanjangnya di bawah arus sungai yang mengalir pelan. Beberapa lagi sambil berjongkok sambil melipat tangan di depan puting susunya. Kadek menjelaskan bahwa, ada norma kesopanan di mana wajib menutupi bagian terlarang dengan tangan. Masing-masing daerah di Bali berbeda-beda adat istiadatnya. Di desa itu tempat mandi lelaki dan perempuan dipisahkan oleh sebuah batu besar, namun tetap saja, di mata Ava sekat itu tidak bisa memberikan segregasi seksual yang memadai karena beberapa remaja nampak berbincang santai, saling meminjam sabun ataupun shampo, seolah masih berpakaian lengkap dan rapi. Memang tak semuanya memiliki tubuh yang indah, namun di mata Ava –dengan segala keindahan alamnya- semua tampak begitu indah, seperti cerita orang-orang dulu, seperti lukisan yang sering dilihatnya! Lembayung senja memantul di riak air, ke tubuh sintal seorang perempuan muda yang sedang membasuh diri di bawah pancuran. Payudaranya yang bulat sekal berwarna sawo matang menjadi berkilat kekuningan, dihimpit lengan yang menutup rapat bagian-bagian intimnya. Ava menelan ludah, merasakan sesak di balik celananya. Sadar sedang diperhatikan, perempuan itu segera berbalik memunggungi, sedikit rikuh dengan tatapan Ava. “Jangan diliatin! Dimarah nanti. Cool aja,” tegur Kadek, lalu mengucapkan salam pada keluarga yang sedang mencuci pakaian di sebelahnya. Ava terkekeh pelan, menggaruk rambutnya yang tak gatal. “Dek! Kadek” Suara seorang wanita memanggil dari kejauhan. Ava baru saja mencelupkan sebelah kakinya di permukaan air yang jernih berkilauan, ketika seorang wanita muda menuruni jalan setapak yang mereka lewati tadi. Usia belasan akhir mungkin, taksir Ava. Tubuhnya montok sintal dengan kulit sawo matang nan eksotis, cukup manis menurut pandangan Ava. Di belakangnya menyusul beberapa gadis dengan wajah khas Bali sambil menenteng ember dan peralatan mandi. “Hei, Luh!” kadek melambaikan tangan. “Kenalin, ini Ava, muridnya Pak De yang baru.” “Ava,” Ava berkata sambil mengulurkan sebelah tangannya. “Luh Sari,” sahut gadis itu, menjabat tangan Ava. “Luh Sari pacarku, Va,” kata Kadek enteng. Nafas lega menghembus. Ternyata pacar Kadek bukan cowok! jerit Ava dalam hati, menertawakan kebodohannya sendiri.
= = = = = = = = = = = = = = =​
Para gadis mengambil posisi agak jauh dari tempat para pemuda, terpisah oleh batu besar dan rimbunan daun pisang yang menjuntai sampai bawah. Sementara Kadek menyapa kumpulan pemuda tanpa busana yang sudah lebih dulu ada di situ. Mereka berbincang dengan bahasa yang tak dimengerti Ava, namun yang sepenangkapannya ada kata “Pak De,” dan “Murid.” Ava tersenyum geli, entah kenapa, kata-kata ‘murid’ membuatnya membayangkan Pak De sebagai seorang petapa sakti. Tanpa banyak basa-basi, Kadek melepas pakaian dan bergabung dengan rekan-rekannya. Agak rikuh sebenarnya, maka Ava menyisakan celana dalam, ikut menggabungkan diri di tengah tengah kumpulan batangan yang asyik bercanda dan mengumpat dalam bahasa setempat. Sebenarnya pemuda-pemuda desa itu sangat ramah, namun segala ketelanjangan ini membuat semuanya menjadi canggung. “Va, kamu pasti belum pernah lihat yang kayak gini.” Kadek menolehkan kepalanya ke arah para gadis, berbisik ke arah sahabatnya. Ava terhenyak. Luh Sari menyilangkan tangan dan menarik lepas kaus yang dikenakannya. Sepasang gundukan indah segera menyembul dari balik kaus kutang warna krem yang nampak kesempitan. Perempuan berkulit sawo matang itu lalu berjingkat, melepas celana pendek dan diikuti kaus kutang yang segera menyusul terlipat, sehingga tubuh montok dan sintalnya kini hanya tertutup celana dalam tipis yang menampakkan bayangan rambut kemaluan yang menyemburat dari baliknya. Belum cukup Ava terperangah, gadis-gadis di belakang Luh Sari juga melakuan hal serupa, ada yang menyisakan kemben ketat dan pula yang sudah telanjang bulat dan menceburkan tubuh ke dalam aliran sungai. Menyadari tatapan sang pemuda, Luh Sari menutupi bagian-bagian terpenting tubuhnya sambil tersipu. Namun jemarinya yang membuka secelah, seolah membiarkan aerola yang berwarna kehitaman itu mengintip ke dalam pupil mata Ava yang seketika membesar. Ava terpaksa menahan nafas, bahkan menelannya bila perlu. Luh Sari melirik ke arahnya, hingga tanpa disengaja pandangan mereka saling bersitatap. Sepersekian detik saja, namun itu saja sudah cukup bagi Ava untuk menangkap kilasan senyum di bibir manis kekasih sahabatnya. Gadis manis itu tersenyum dalam hati begitu melihat Ava yang cepat-cepat mengalihkan pandangannya dengan wajah tersipu. Tawa kecil membersit di hati Luh Sari, menyadari Ava diam-diam memperhatikannya. Sudah banyak orang melihatnya telanjang, namun satu orang ini sepertinya begitu lugu dan lucu. Hal ini pun menimbulkan gejolak di hati Luh Sari. Gadis bertubuh sintal itu lalu duduk di atas batu sambil menaikkan paha. Seolah tak ingin berlekas-lekas, Luh Sari menurunkan celana dalamnya dalam gerakan perlahan, seolah sengaja menjadikan batu itu laksana sebuah panggung dengan dirinya sebagai primadona! Darah Ava semakin berdesir. Adrenalin yang memenuhi aliran darahnya membuat segalanya bergerak dalam gerakan slow motion. Termasuk saat Luh Sari mengerling manis ke arahnya, sambil menutupi area pubis yang ditumbuhi bulu lebat dengan tangan kiri. Tanpa bisa diantisipasi, sesuatu yang terletak di antara dua paha Ava mulai bereaksi dan makin lama makin mengeras. Cepat-cepat ia menceburkan diri ke dalam air, hanya agar reaksi fisiologisnya tidak tampak oleh yang lain. Sekilas saja barangkali, tapi Luh Sari sempat menangkap kelebatan kejantanan Ava yang mengacung dari balik celana dalamnya. Terdengar tertawa berderai ketika gadis manis itu menggabungkan diri dengan teman-temannya yang sudah tertawa-tawa sambil melirik ke sang pemuda yang kini hanya bisa meringkuk dengan wajah merah padam!
= = = = = = = = = = = = = = =​
Manusia kehilangan keluguannya ketika memakan Buah Pohon Pengetahuan. Bersamanya hadir mortalitas, sensasi yang membuatmu bisa merasa malu dan birahi pada saat yang sama. Konon manusia diciptakan tanpa sehelai benangpun di Paradiso. Ketika Bapa Adam dan Bunda Hawa memakan Buah Pengetahuan, barulah hadir perasaan jengah atas ketelanjangan mereka, sehingga masing-masing terpaksa mencari dedaunan untuk menutupi bagian intim yang terbuka. The Last Lost Paradise . Ratusan tahun lalu, Bali pernah disebut firdaus terakhir di muka bumi oleh para petualang dari seberang benua, karena di tempat inilah engkau masih bisa menghargai tubuh manusia tanpa perlu dinodai birahi. Cahaya langit senja yang kemerahan memantul pada riak-riak air sungai ke arah orang-orang tanpa busana. Tidak, mereka tidak nampak seperti manusia-manusia di Sodom dan Gomorah, namun lebih mirip dengan penghuni pertama taman firdaus. Para penduduk desa telanjang begitu saja, apa adanya tanpa ada kepalsuan yang ditutupi. Mereka hanyalah penduduk-penduduk desa yang polos, yang hanya ingin melestarikan budaya mandi yang tua, yang semakin lama semakin tergerus oleh modernisasi dan vila-vila yang merengsek ke dalam teritori mereka. Keadaan ini membuat Ava merenung. Mereka telanjang begitu saja, apa adanya tanpa ada kepalsuan yang ditutupi. Mereka hanyalah penduduk-penduduk desa yang polos, yang hanya ingin melestarikan budaya mandi yang tua, yang semakin lama semakin tergerus oleh modernisasi dan vila-vila yang merengsek ke dalam teritori mereka. Ava menghela nafas, mencpba menghayati segala pemandangan di depannya. Sungai yang mengalir indah, pepohonan yang merindangi sungai itu, dengan segala keindahan panoramanya, membuat semuanya tampak seperti lukisan Michelangelo. Ava menarik nafas panjang sebelum melepas penutup terakhir tubuhnya. Dan kali ini, yang hadir hanyalah ketelanjangan yang membebaskan, ketelanjangan yang membebaskannya dari pakaian kepalsuan yang menutupinya selama ini. Ava memejamkan mata, menikmati udara sore dan dingin air yang mengalir membasahi tubuhnya. Sore itu ia merasa menyatu dengan alam. Senyum Ava tersungging, membayangkan hari-harinya di sini. Ava membaringkan tubuhnya, membiarkan arus sungai menghanyutkan telanjang tubuh itu. Ava memandangi langit yang berwarna kemerahan tanda Sandyakala hampir tiba. Ava, Sang Pelukis Mimpi larut dalam indah panorama lukisan yang serasa nyata. Indah.
To Be Continude