RINDIANI The Series – Pelangi untukku

RINDIANI The Series – Seri 1 Pelangi Untukku​
Kehidupanku sebagai seorang perempuan sangatlah bahagia. Hampir tidak ada halangan berarti yang kurasakan. Semua berjalan dengan sewajarnya, sesuai dengan rencana yang ada di dalam benakku. Setelah menyelesaikan pendidikan di bangku universitas, aku langsung menikah dengan kekasihku, yang merupakan kakak kelasku saat kuliah. Kebahagiaanku sebagai seorang perempuan semakin lengkap dengan kehadiran anak pertama kami. Serorang putri kecil, yang lahir tak lama setelahnya. Sejak saat itu, aku semakin optimis, dan semakin bahagia dengan keadaanku. Dimataku, suamiku adalah seorang kepala keluarga yang sempurna. Ia begitu perhatian dan penyayang. Dan hal itu pun tak berubah setelah kelahiran anak kami yang pertama. Impianku untuk bekerja pun hilang dengan sendirinya pasca kelahiran putri kecil kami. Dan sebagai gantinya, suamiku membangun kost di samping rumah kami. Pekarangan yang dulunya hanya ditumbuhi oleh semak belukar itu berganti menjadi sebuah bangunan sederhana dengan tiga kamar tidur. Letak rumah kami sedikit jauh diluar kota, namun sebagai salah satu kota pendidikan yang terkenal dengan banyak kampusnya, kost itu pun akhirnya memiliki penghuni. Lingkungan yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk kota menjadi alasan utama mereka yang memilih tempat itu. Pram adalah salah satu penguni kostku, orang pertama yang menempati kamar paling pojok, dekat dekat dengan teras samping rumah, tempat biasa kami sekeluarga bersantai. Sejak awal, Pram telah menunjukkan kesan yang baik dan sopan, dan hal itulah yang membuatku dan suamiku yakin untuk menerimanya tinggal disini. Tubuhnya cenderung kurus dan tinggi, dan wajahnya terbilang lumayan bagiku. Ia lebih banyak menghabiskan waktu dikamarnya sehingga kami jarang berinteraksi. Begitu juga dengan aktivitas diluar, jarang sekalia ia keluar untuk hangout, atau sekedar menghabiskan waktu dengan teman-temannya. Sosoknya terlihat cuek dan penyendiri.

Rindiani adalah nama pemberian orangtuaku, dan sebagaimana orang lainnya, Pram pun memanggilku dengan sebutan ‘bu Rindi’. Dan selama ini, Pram pun sangat menghormatiku sebagai ibu kost karena dalam keseharian, aku selalu menutupi tubuhku dengan memakai jilbab, dan kebiasaan itu telah kumulai sejak duduk dibangku SMP. Suatu malam, ponselku berdering. Sebuah panggilan dari nomor tak dikenal tertera di layarnya. Kulihat jam di dinding, waktu telah menunjukkan pukul dua dinihari. Karena penasaran, kuterima panggilang masuk itu. Itulah telfon yang mengguncang duniaku dalam dalam sekejab, hingga akhirnya meruntuhkannya. Panggilan itu berasal dari seorang petugas kepolisian, yang menginformasikan bahwa suamiku terjaring operasi penyakit masyarakat. Dia ditangkap disebuah kamar hotel saat sedang berduaan dwngan seorang wanita. Tubuhku mendadak lemah dan jatuh terduduk di sofa ruang tamu. Sedih, marah, bingung, semua bercampur aduk dalam hati dan pikiranku. Apa yang harus aku lakukan? Hampir setengah jam aku mencoba menguatkan diri, mencoba menenagkan diriku sendiri sebelum memenuhi permintaan pihak kepolisian itu. ‘Pram’… ya, itulah nama yang terlintas di benakku. Dengan mata sembab, kuketuk pintu kamarnya sambil memanggil namanya dengan suara pelan. Hampir lima menit aku melakukannya hingga akhirnya ia membuka pintu. Tampaknya ia telah tertidur pulas karena wajahnya yang sayu dan matanya sedikit memerah karena terbangun dengan terpaksa. “Pram, kamu bisa tolongin ibu?” “Iya, ada apa bu?” “Kamu bisa nyetir kan? Tolong anterin ibu, sekarang.” “Iya bu, bisa. Tunggu sebentar ya bu, saya siap-siap dulu.” “Ya, ibu tunggu di depan ya.” Putri kecilku masih terlelap dalam pelukanku, sangat tenang dan damai, sangat kontras dwngan keadaanku. “Kita mau kemana bu?” “Kantor polisi, ke polsek.” jawabku singkat. Air mata masih mengalir dipipiku, pikiranku kacau. Aku benar-benar bingung menghadapi masalah ini. Pram pun hanya diam membisu. Entah apa yang ada di pikirannya. Tak berapa lama, kami tiba di kantor polisi. Aku berjalan mendahului Pram dan putri kecilku masih terlelap dalam gendonganku. Seorang petugas menerima kedatangan kami, dan mempersilahkankami memasuki sebuah ruangan. “Nama ibu siapa?” “Rindiani” jawabku singkat. Si petugas pun bertanya pada Pram yang duduk disampingku. “Dia adik saya” jawabku singkat setelah pram menjawab pertanyaan si petugas. Setelah itu, si petugas mulai menjelaskan detail kronologi kejadian, mulai dari awal hingga akhir. Hatiku terasa seperti tersayat-sayat kerika mendengar bahwa suamiku ditangkap dengan seorang wanita saat mereka sedang bercinta disebuah hotel kelas melati di pusat kota. Keadaanku benar-benar payah!, pikiranku kacau balau. Airmataku semakin deras mengalir, sementara suara tangisanku tertahan di dada. “Saya ingin bertemu suami saya” pintaku. Tanpa menunggu lama, si petugas mengantarkan kami ke sebuah rungan lain dan Pram masih mendampingi aku. Lututku gemetar, dan jantungku semakin berdebar-debar. Pikiranku benar-benar buntu, benar-kacau. Kami tiba didepan sebuah ruangan dengan pintu yang masih tertutup. Si petugas segera membukanya. Dengan putri kecilku yang masih terlelap didadaku, aku memasuki ruangan itu, setelah sebelumnya si petugas kepolisian mendahului. Pram berdiri tepat disampingku. Di salah satu sudut ruangan, berkumpul beberapa pria yang terjaring dalam operasi tersebut, salah satunya adalah suamiku. Entah apa yang ada dipikiranku, aku langsung menyerahkan putri kecilku pada Pram. Pram tampak terkejut, namun ia langsung menyambut putri kecilku ketika kuserahkan padanya. Suamiku melihatku sekilas, kemudian ia kembali menundukkan wajahnya. Ia tampak pasrah, tak berani menatapku. Aku melangkah mendekatinya, dengan air mata yang masih mengalir. ‘PLLAAAAKKK’ Sebuah tamparan kulayangkan padanya. Entah darimana datangnya keberanian itu, tetapi aku benar-benar melakukannya. Kuluapkan emosiku yang sejak tadi tertahan didadaku. Seorang polawan yang kebetulan berada di ruangan itu segera menghampiriku, mencoba menenangkanku. “Aku minta ceri.” Pintaku dengan suara bergetar. Seisi ruangan hening. “Mana perempuan yang bersamanya?” tanyaku pada polwan yang berdiri disampingku. Ia melangkah, mendekati sekumpulan perempuan yang berkumpul di sudut lainnya. Ia berhenti dihadapan seorang wanita muda. Wajahnya tak begitu jelas terlihat karena ia selalu menundukkan wajahnya, dan rambutnya yang panjang pun menutupi wajahnya. Aku mendekatinya, ‘PLAAAKKKK’ sebuah tamparan pun kulayangkan. Polwan yang mendampingiku pun sedikit terlambat mencegahnya. Mataku terasa perih dan tubuhku lelah. Aku ingin keluar dari tempat ini. “Kita pulang..” kataku pada Pram. Ia masih menggendong putri kecilku saat kami berjalan menuju keluar. Tak sepatah katapun ia ucapkan, dan aku yakin, Pram telah mengerti sepenuhnya terhadap duduk permasalahan yang telah menimpa keluargaku. Pikiranku benar-benar kacau, dan yang membuatku semakin terpuruk adalah ketika melihat putri kecilku yang tengah terlelap dalam pelukan Pram. Aku benar-benar letih. Tak sepatah katapun diucapkan oleh Pram hingga kami tiba kembali di rumah. “Makasih ya Pram. Maaf ibu merepotkan kamu malam-malam begini.” “Gak apa-apa kok bu, saya hanya membantu semampu saya. Sekarang ibu istirahat dulu. Kalo ada apa-apa, ibu bisa panggil saya” “Iya..makasih ya.” Sepertiga malam kulewati dengan tangisan. Aku membayangkan bagaimana jahatnya suamiku mengkhianatiku, menghancurkan mimpi-mimpiku. Lelaki yang menjadi pacar pertamaku, lelaki yang selama ini sangat kucintai, sangat kupercayai, kini menghancurkan hidupku. Lembar-lembar kenangan tentang kami pun silih berganti datang mengisi pikiranku. Kucoba merenungkan kekuranganku, kesalahanku, atau hal apapun yang membuatnya begitu tega mengkhianatiku. Wanita yang menjadi selingkuhannya memang cukup menarik, walaupun aku hanya melihat wajahnya secara sekilas. Tubuhnya ramping dengan kulit yang putih bersih. Berbanding terbalik dengan kondisiku, dimana tubuhku sedikit lebih gemuk pasca melahirkan. Apakah hanya karena kondisi fisikku sehingga ia berselingkuh? Apakah aku kurang perhatian? Apakah aku? Dan ratusan pertanyaan lain hilir mudik dikepalaku, hingga pagi menjelang. Dari balik jendela kamarku, kulihat Pram telah bangun dan menikmati segelas kopi di teras depan kamarnya. “Pagii Pram” “Iya, pagi bu.” “Pram, maaf ya, ibu mau minta tolong lagi. Bisa?” “Bisa kok bu, lagian ini hari minggu, gak ada kuliah” “Ibu mau pulang kerumah orang tua ibu, kamu bisa anterin? Nanti pulangnya kamu bawa lagi mobilnya. Bisa?” “Bisa kok bu” “Tapi.. kok mobilnya gak ditinggal aja disana bu?” tanyanya keheranan. “Hhmmm.. kamu kan udah tau permasalahan ibu. Nah, kali aja suami ibu berniat mau mengambil mobil itu, jadi sebaiknya mobil itu tetap berada disini aja, walaupun sebenernya mobil itu hadiah pernikahan dari orang tua ibu.” “Iya bu, kalo gitu saya siap-siap dulu ya bu.” Dengan cekatan Pram membantu memasukan beberapa tas berisi pakaianku dan putri kecilku kedalam bagasi mobil. Aku tak bisa membantunya karena harus menggendong anakku, selain itu kondisi tubuhku pun kelelahan karena belum beristirahat sejak semalam. Dalam perjalanan, sesekali aku tertidur karena kelelahan, dan Pram sangat memakluminya. Suara putri kecilku, maupun pertanyaan Pram tentang rute jalan menuju ke kampung halamankulah yang membuatku terjaga. “Ibu pergi sampai kapan, bu?” “Belum tau Pram, ibu butuh istirahat, mau menenangkan diri dulu.” Pram hanya mengangguk mendengar jawabanku. Hampir 2 jam berlalu, akhirnya kami sampai dikampung halamanku. Dusun kecil di sebelah selatan kota pendidikan ini adalah tempat tinggal orangtuaku, tanah kelahiranku. Sepi, jauh dari keramaian kota, bahkan setiap rumah warganya pun saling berjauhan. Inilah pertama kalinya Pram melihat kampung halamanku. Kedua orang tuaku telah mengenal Pram, karena dalam beberapa kesempatan, saat mereka mengunjungiku, sempat berkenalan dengannya. Suara deru mesin mobil menarik perhatian kedua orangtuaku, sehingga mereka keluar dan berdiri diteras. Keluar dari mobil, aku langsung berlari kecil menghampiri mereka dan memeluk erat keduanya. Setelahbsebelumnya, didalam mobil, putri kecilku kuserahkan pada Pram. Sambil menggendong putriku, ia berjalan mengikutiku. Aku kembali menangis, air mataku kembali tertumpah dalam dekapan ibuku. “Lho kok nangis? Ada apa tho nak?” tanya ibuku sambil memelukku erat. “Nak Pram” sapa bapakku. “Iya pak” Keduanya berjabat tangan, lalu kami masuk ke ruang tamu. Sambil menangis, kuceritakan semua kejadian semalam, kutumpahkan semua keluh kesahku. Ibuku pun ikut meneteskan air mata, sementara bapak sesekali menghela nafas. Terlihat kemarahan diwajahnya. Putri kecilku tampak gelisah dan sedikit rewel, sehingga Pram pun berinisiatif mengajaknya keluar ruangan. Dibawanya putri kecilku menelusuri halaman rumahku, yang ditumbuhi beberapa pohon mangga dan rambutan. Suasana sejuk dan tenang itu membuat ia pun kembali tenang, dalam dekapan Pram. Setelah beberapa saat, Pram kembali dengan putri kecilku yang telah terlelap dalam dekapannya. “Biar ibu yang gendong, nak Pram istirahat dulu.” Aku beranjak ke dapur, membuat segelas kopi untuknya, sementara bapak menemani Pram. “Bapak ucapkan terima kasih, karena nak Pram sudah membantu anak saya.” “Saya hanya membantu sebisa saya pak, lagipula, saya gak mungkin biarin bu Rindi pergi sendiri. Saya gak tega pak.” Perbincangan yang samar-samar kudengar, membuatku terharu.

Betapa terpuruknya hidupku kini namun masih ada orang yang baik dan peduli padaku. Setelah menghidangkan minuman, aku membantu Pram mengeluarkan tas dari bagasi mobil dan meletakkannya didalam kamar tidurku. Setelah menghabiskan segelas kopi buatanku, Pram pun berpamitan. “Pram, ibu titip rumah sama kamu ya. Kalo ada apa-apa, kamu telpon ibu.” “Ini untuk kamu beli bensin ya Pram.” Kataku sembari menyerahkan sedikit uang padanya. Awalnya ia menolak, namun aku tetap memaksa hingga ia menerimanya. == == == Waktu terus berjalan dan tak terasa, hampir empat bulan kuhabiskan waktuku di kampung halaman. Putri kecilku pun kini semakin lucu dan menggemaskan. Dialah yang selalu menjadi pusat perhatian kedua orangtuaku. Dan berkat dukungan mereka, perlahan, aku pun mulai bangkit kembali, mulai bisa menerima kenyataan hidupku. Ya, walaupun belum secara resmi bercerai, namun aku telah menganggap diriku sebagai janda karena sejak peristiwa itu, suamiku menghilang tanpa kabar. Dukungan penuh dari kedua orangtuaku pula yang membuatku semakin bertekad untuk segera bangkit, berbenah diri dan menyusun rencana untuk hidupku dan putri kecilku. Kuputuskan untuk mulai mencari kerja bermodalkan ijasah kuliah yang kumiliki. Kini, mimpi untuk bekerja mulai kujalani dan aku yakin, aku akan mampu menjalaninya. Dari kota pendidikan, sesekali Pram mengirimkan kabar tentang keadaan rumahku, tentang keadaan lingkungan sekitar rumahku, dan hal lainnya yang sekiranya penting untuk ku ketahui. Hari jum’at pagi, aku meminta ijin pada kedua orangtuaku untuk untuk kembli ke kota pendidikan, untuk melihat keadaan rumah dan mencari informasi lowongan pekerjaan. Mereka pun setuju, namun mereka meminta agar putri kecilku tetap tinggal bersama mereka, apalagi ia telah berhenti menyusui sejak satu bulan terakhir. Selama perjalanan pulang, banyak hal yang kurenungkan, banyak hal yang kupikirkan. Tentang semua yang terlewati selama beberapa waktu belakangan, tentang masa depanku, masa sepan buah hatiku. ‘Aku harus bisa. Aku harus segera bangkit dan menata kehidupanku’ itulah tekadku. Dan tak terasa, aku sudah sampai ditujuanku. Rumahku. Rumah yang menyimpan begitu banyak memori didalamnya. Setelah membuka pintu pagar, aku takjub dan terharu melihat pemandangan dihadapanku. Halamannya bersih, rumput-rumput liar telah dipangkas, dan bunga-bunga yang aku tanam tampak segar dan sehat. Siapa yang telah melakukan semua ini? Pemandangan ini sungguh berbanding terbalik dengan apa yang aku bayangkan. Keadaan sangat sepi, karena hari jum’at biasanya ketiga penghuni kostku masih disibukkan oleh aktifitas mereka masing-masing. Keadaan didalam rumahku masih sama seperti saat kutinggalkan, hanya saja debu-debu sudah mulai terlihat menempel dimana-mana. ‘saatnya bekerja’ gumanku pelan. Dan mulailah aku membersihkan rumahku, membereskan semua perabot-perbaot rumah tangga yang berserakan , karena tak sempat melakukannya saat kutinggalkan beberapa bulan lalu. Membersihkan debu, menyapu, mengepel, dan merapikan seisi rumah, agar bersih dan nyaman untuk kutempati lagi. Dan tak terasa, sudah hampir dua jam berlalu. Satu-satunya bagian rumah yang belum kubereskan adalah dapur. Beberpa saat setelah mulai membereskan bagian dapur, terdengar suara mesin motor memasuki pekarangan rumahku. ‘Pram’ gumanku dalam hati, karena familiar dengan suara motornya. “Pram.. selamat siang” “Siang bu” “Kok ibu pulang gak ngabarin saya?” “Ibu naik apa kesini?” sambungnya lagi tanpa memberi waktu padaku untuk menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Aku hanya tersenyum melihatnya. “Dduuuuhhh.. kamu ini udah jadi penyidik kepolisian ya? Kok nanyanya sampe segitunya.” Pram pun tertawa. “Ibu sendirian kesini, naik angkot tadi. Ibu gak mau ngerepotin kamu. Si dedek tinggal disana sama opa oma. Ibu cuman sebentar aja disini, nanti hari minggu pulang kok” jawabku. “Ooooo gitu.” “Oh iya, ibu mau minta tolong sama kamu. Tapi kamu ganti pakaian dulu, biar gak kena kotor bajunya.” “Iya bu, bisa kok” “Ya udah, ibu kedalam dulu ya, nanti kamu nyusul aja, masuk aja kalo udah ganti pakaian.” “Iya bu.” Beberapa saat kemudian, Pram menemuiku di ruang tengah. Kemeja dan jeans yang ia kenakan telah berganti dengan kaos oblong yang lengannya telah dipotong, begitu juga dengan celananya, jeans yang terpotong hingga ke bagian lututnya. “Ibu minta tolong kamu turunin foto-foto ini ya Pram, trus taruh digudang” kataku sembari menunjuk ke arah bingkai foto yang terpampang didinding, berisi foto-foto pernikahanku dengan suamiku, total ada lima bingkai berukuran besar disana. “Ibu yakin..?” “Iyaaa.. ibu yakin” jawabku mantap. Aku ingin move on. Aku ingin melanjutkan bab kehidupanku dalam lembaran baru. Pram pun segera melaksanakannya, sementara aku kembali melanjutkan pekerjaanku didapur. “Pram, minum dulu.” Kuserahkan segelas es sirup padanya. Kami berdiri, bersandar di dekat pintu dapur. “Kamu baik-baik aja kan Pram? Sehat kan?” tanyaku yang juga bersandar disampingnya. “Sehat bu, baik-baik aja kok.” “Syukurlaaah.. oh iya, siapa yang bersih-bersih halaman rumah, Pram?” “Saya bu, soalnya rumputnya udah pada tinggi, jadi kelihatan gak rapi. Makanya saya pangkas, biar enak dilihat” “Oohhh.. jadi kamu..? Makasih ya Pram. Kamu udah banyak membantu ibu” “Hehehehe.. gapapa bu, lagian saya juga tinggal disini, ngekost disini, saya cuman membantu semampu saya kok.” Pram benar-benar seorang pemuda yang baik, itulah kesanku setelah lebih dekatnya, setelah peristiwa memilukan malam itu. Usianya yang terpaut empat tahun dibawahku tertutupi dengan sempurna oleh prilakunya yang baik dan cara berpikirnya yang dewasa. Aku beruntung, bisa mengenalnya. “Pram, kalo kamu tau atau denger info lowongan pekerjaan, beritahu ibu ya, ibu mau cari kerja nih.” “Ibu yakin? Trus si dedek gimana? Siapa yang ngurusin si dedek kalo ibu kerja?” “Kalo si dedek, mungkin nanti biar tinggal sama opa omanya, atau nanti ibu titipkan di tempat penitipan anak. Nanti ibu lihat deh, mana yang baik untuk dedek.” “Iya bu, nanti kalo ada info, saya kabarkan ke ibu.” Sejenak, tidak ada obrolan diantara kami. Pandangan kami menerawang melewati pintu belakang dapur, melihat beragam bunga dan pepohonan yang tumbuh subur sehingga Tembok setinggi 2 meter dibelakangnya nyaris tertutupi dengan sempurna. “Ibu baik-baik aja?” kali ini ia bertanya dengan serius sambil menoleh kearahku, menatap mataku dalam-dalam. Sebuah pertanyaan yang rasanya seperti sebuah pukulan untukku. “Kamu sudah dewasa, dan pasti sudah bisa mengerti apa yang terjadi. Ibu hanya ingin mencoba bangkit, mencoba untuk menata kehidupan lagi. Harus, untuk si dedek” “Dan untuk ibu juga” sambung Pram. “Ibu juga berhak bahagia, berhak untuk mendapatkan cinta lagi, berhak bahagia.” Lanjutnya. Aku memandangnya lirih, terharu mendengar kata-kata yang ia ucapkan. Aku tahu, Pram mengucapkannya dengan kesungguhan hati. Ia masih saja melayangkan pandangannya kedepan, seolah sedang melamun. “Makasih ya, Pram” “ngomong-ngomong, kamu udah makan siang belum? Ibu laper nih, tapi disini gak ada makanan, soalnya ibu belum belanja” “Belum sih bu, nanti aja.” “Ya udah, kita makan diluar aja yuk, ntar ibu traktir deh.” “Okeeeeee, siap…” jawabnya dengan penuh semangat. “Ya udah, kamu ganti pakaian dulu. Trus kita makan.” Beberapa saat kemudian, Pram kembali. “Kamu ini..” kataku sambil menggelengkan kepala. “Kamu mau pergi makan apa mau pergi ke sawah?” protesku setelah melihat pakaian yang ia kenakan. Celana jeans yang lagi-lagi terpotong hingga kebagian lutut, di padu dengan kaos oblong yang warnanya hampir pudar. Ia menatap dirinya sendiri, mulai dari ujung kaki hingga tubuhnya. “Gak pantas ya?” tanyanya heran. Aku hanya menggelengkan kepala. Sejurus kemudian, ia kembali ke kamarnya. “Nah, kalo gitu kan bagusss.” Komentarku saat melihat dia telah berganti pakaian. “Pakai motor aja ya bu, biar cepet” “Iya, boleh. Tapi jangan ngebut ya.” “Iyaaaaa buuuuu. Eh, ngomong-ngomong, kita makan dimana bu?” “Hhmmmm.. kita ke sekitaran Babarsari aja, disana ada banyak tempat makan yang enak.” “Okeee bu.” Hampir 40 menit kemudian, sampailah kami di sebuah warung makan yang terkenal dengan cita rasa pedasnya. Warung yang cukup sederhana dan dengan harga terjangkau bagi kantong mahasiswa ini selalu ramai pengunjung setiap harinya. Dan beruntung bagi kami, karena masih mendapatkan tempat disana. Disekitar kami tampak sejumlah mahasiswa tengah menikmati makan siangnya. Ada juga rombongan keluarga, karyawan kantoran, hingga siswa siswi dengan seragam sekolahnya. “Kamu jalan sama ibu, ntar ada yang marah gak Pram?” “Maksud ibu?” “Ka… kali aja kamu udah punya pacar, trus ngelihat kamu jalan sama ibu. Ntar dia bisa marah kan?” Pram tertawa kecil mendengar celoteh gak penting dariku. “Gak ada bu. Saya belum punya pacar. Lagian mana ada cewek mau sama cowok seperti saya. Naik motor butut, gak gaul gini” “Ya sudah, malah bagus itu. Jadi kamu bisa fokus kuliah dulu. Nanti kalo udah lulus, cari kerja. Kamu kumpulin duit buat beli mobil, biar makin gaul, makin kece.” “Hehehehe.. rencanya sih gitu bu, tapi bagian yang beli mobil itu belum kepikiran. Sekarang yang penting kuliah aja dulu, bisa lulus.” “Anak yang baik” balasku. Dan obrolan singkat kami terhenti ketika makanan pesanan kami dihidangkan oleh pelayan warung tersebut. Tanpa basa-basi, kami menyantapnya dengan lahap karena lapar. Keringat bercucuran diwajah kami karena rasa pedas yang luar biasa dari masakan khas warung tersebut. Rasa puas, kenyang dan nikmat akhirnya kami dapati ketika selesai makan. “Eh Pram, nanti pulangnya sekalian belanja ya. Buat masak makan malam. Nanti malam kamu makan dirumah aja, temenin ibu. Mau kan?” “Bisa kok bu. Belanja dimana?” “Kita belanja di Miro*a campus U*M aja.”

“Ya udah, kita pergi sekarang aja bu, langsung belanja, trus pulang.” Dan akhirnya kami sampai di tujuan berikutnya. Toko yang terkenal dengan harga murah meriah ini hampir selalu dipenuhi oleh pengunjung. Bagian sayur dan buah pun disesaki oleh pengunjung yang didominasi oleh kaum perempuan. Entah dengan sadar atau hanya secara reflek, Pram menggandeng tanganku, menerobos kerumunan orang yang tengah sibuk memilih barang yang hendak mereka beli. Aku mengekor dibelakangnya. Setelah selesai belanja, yang memakan waktu lumayan lama karena antrian kasir yang panjang, kami meninggalkan tempat itu. Dan seperti perempuan yang mengenakan jilbab pada umumnya, aku duduk menyamping, karena hanya dengan posisi itulah aku bisa duduk. Dan setelah kejadian Pram menggengam tanganku tadi, kini satu tanganku pun memegang pinggangnya, hanya sekedar untuk menjaga keseimbangan agar aku tidak terjatuh. Tidak ada maksud lainnya. “Eh Pram, beli es kelapa yuk” kataku. “Dibungkus aja, nanti minum dirumah aja” sambungku lagi. Pram menghentikan laju sepeda motornya. Dan lagi-lagi, ia memegang tanganku untuk menyebrangi jalan, sementara matanya mengawasi kendaraan yang lalu lalang didepan kami. ‘anak yang baik’ gumanku dalam hati. Hal yang sama dilakukannya ketika kami hendak menyebrang jalan untuk kembali pulang. Jujur saja, aku merasa tersanjung, merasa nyaman dan terlindungi dengan sikapnya. Mungkin terlalu dini untuk menilai Pram adalah pria yang baik, anak muda yang sifat dan sikapnya baik. Tetapi sejauh ini, itulah kesan yang aku dapatkan. “Pram.. makasih ya.” “Bu.. jangan bilang gitu, saya hanya membantu semampu saya.” “Iya.. pokoknya ibu makasih sama kamu. Maaf ya kalo merepotkan kamu” “Enggak merepotkan kok bu. Beneran, gak merepotkan saya kok.” “Ya udah, kamu istirahat dulu, nanti malam makan dirumah ya. Jangan lupa lho Pram.” Tubuhku terasa lelah, namun mataku tak kunjung terpejam walaupun sudah merebahkan diri diatas kasur. Banyak hal yang melintas dibenakku, salah satunya rencana untuk mencari kerja. Bagaimana aku akan membagi waktu antara mengurus putri kecilku, dan pekerjaanku. Aku cukup beruntung karena mendapat dukungan penuh dari kedua orangtuaku, ditambah dengan kehadiran Pram, yang sejauh ini sangat meringankan langkahku, sangat membantuku dimasa-masa sulit. Dan seperti yang telah kami rencanakan, kami menyantap makan malam bersama, dengan masakan sederhana ala rumahan. Kami berbincang tentang banyak hal, sekedar obrolan ringan sebagai selingan untuk menghangatkan suasana. “Masakan ibu enak, kayaknya cocok kalo buat warung makan” “Halahhh.. kamu ini. Cuman tumisan kangkung sama tahu goreng aja kok enak.” “Maksud saya, kalo ibu buka warung, jualan makanan, saya bisa ngutang.” “……” Aku tertawa mendengar jawabannya. Terdengar seperti candaan garing, tapi sudah sangat cukup menghiburku. “Nah.. gitu dong. Sesekali ibu harus tertawa, tertawa lepas seperti itu. Udah lama lho ibu gak ketawa kayak gitu.” Ucapannya benar-benar membuatku terharu. Dia benar, terlalu lama aku hidup didalam kemuraman, dan dia sangat benar, telah sekian lama aku tidak tertawa lepas. Aku menundukkan wajah, karena air mataku terasa hendak mengalir keluar. “Iya. Kamu benar Pram.” jawabku singkat sambil menyeka air mata disudut mataku. “Udah, jangan di ingat lagi bu. Sekarang ibu harus bangkit, menjalankan rencana yang sudah ibu buat. Saya akan membantu ibu semampu saya” ‘Kamu benar-benar anak muda yang baik’ gumanku dalam hati. Dia benar-benar berusaha membantuku, menghiburku dengan caranya yang mungkin terlihat norak dan garing. Itulah Pram yang aku kenal sejak beberapa waktu belakangan, pribadi yang bisa menghadirkan tawaku, lagi. Selesai makan, kami melanjutkan ngobrol diruang tengah, hingga larut malam. Hampir jam duabelas malam, obrolan kami berakhir karena rasa kantuk yang mulai menghampiri. Aku pun harus beristirahat karena seharian belum beristirahat. === Mentari telah bersinar cerah ketika kubuka mataku. Suasana sepi karena para penghuni kost telah pergi melakukan aktivitasnya masing-masing. Lelah membuat tidurku sangat lelap sampai-sampai terlambat bangun. Kulihat jam didinding menunjukan pukul delapan lewat beberapa menit. Setelah mandi, kusempatkan diri untuk bercermin. Bobot tubuhku tampak menurun dratis beberapa waktu belakangan, benar-benar sangat berantakan, sejalan dengan keadaan hatiku yang hancur. Saat kubuka pintu teras samping rumah, yang berhadapan dengan bangunan kost, kudapati setumpuk koran dan kunci mobilku tergeletak didepan pintu. Ada secarik kertas bertuliskan sebuah pesan, ‘bu, ini ada koran buat nyari lowongan pekerjaan.’ “Pram…” gumanku setelah membaca pesan itu. Sambil menikmati segelas teh panas, aku mulai melihat barisan iklan-iklan dikoran. Kulingkari iklan yang sesuai dengan kualifikasi ijasah sarjanaku, ekonomi manejemen. Setelah selesai, aku langsung membuat surat lamaran, dengan melampirkan syarat-sayarat yang tertera diiklan tersebut. Aku sadar, aku tengah berpacu dengan waktu, oleh karena itu, setelah menyelesaikan membuat surat lamaran, aku langsung mengirimkannya. Saat melintas didepan kampus Pram, sekilas kulihat Pram tengah menikmati semangkuk bakso bersama teman-temannya di pinggiran pagar kampus. Segera kupelankan laju mobilku, mencari tempat memarkirkannya. “Pram.” Sapaku dari arah belakang. “Lho buu, kok ada disini? Ibu dari mana?” tanyanya heran, sementara beberapa temannya pun menatapku. “Ibu barusan selesai ngirim lamaran kerjaan. Pas lewat sini, lihat kamu lagi makan, jadi ya ibu mampir, sekalian makan siang. Soalnya dirumah ibu belum masak. Gak sempat” Dan sekali lagi, kuhabiskan waktuku bersama Pram diluar rumah, walaupun kali ini bersama teman-teman kuliahnya. Ia memperkenalkanku pada mereka. “Pantesan lo jarang ngumpul bareng kita, lo lebih milih ngeram kayak ayam dikost, betah amat. Ternyata ibu kost lo cantik gini” kata seorang teman Pram yang berasal dari ibukota. Pram hanya tertawa mendengar ocehan itu, sementara aku terunduk malu. “Diem, brisik. Kalian ngajak ngumpul tapi bawa pasangan masing-masing. Yang ada kalo aku ikut ngumpul jadi obat nyamuk doang.” “Ya udah, lo cari pacar gih, betah amat jadi jomblo. Bentar lagi musim ujan bro, mati kedinginan lo ntar.” “…..” Aku hanya bisa tertawa mendengar obrolan ala anak muda seperti mereka. “Lho, Pram belum punya pacar yah?” tanyaku berpura-pura tidak tahu pada mereka. “Belum mbak. Dia nunggu kiamat kayaknya.” jawab salah satu teman perempuan Pram. “Pacarnya masih dalam kandungan mbak. Masih ngunggu lahiran, nunggu gede” Aku tertawa mendengar jawaban-jawaban aneh itu sementara Pram hanya menggelengkan kepalanya. “diem. Habisin tu makan. Bentar lagi kita masuk” celetuk Pram. Mereka terus saja tertawa melihat Pram yang tak mampu membalas sindiran-sindiran itu. Akhirnya, satu persatu teman-teman Pram meninggalkan kami karena ada jadwal kuliah hingga yang yang tersisa hanyalah Pram dan aku. “Pram, makasih korannya ya.” “Iya bu, sama-sama” “Nanti kalo ada Info, saya kabari ibu” sambungnya. Sebagai ucapan terima kasih, aku membayar makanan yang telah ia santap. Awalnya ia menolak, namun aku tetap berkeras hingga ia mengalah dan membiarkan aku yang membayar. Setelah Pram kembali ke kampus, akupun meninggalkan tempat itu. Tak seperti biasanya, Pram tiba dikost saat hari sudah gelap. “malam bu” sapanya saat melihatku tengah bersantai diteras depan rumah. “Kok tumben pulangnya malam Pram?” “Iya bu, tadi ngobrol dulu sama temen-temen, sampe lupa waktu.” “Ooo gitu. Eh Pram, besok kan ibu pulang kampung, kamu mau gak temenin ibu jalan-jalan malam ini? Ibu udah lama gak jalan-jalan nih.” “Bisa bu, tapi saya mandi dulu ya bu.” “ya udah, mandi sana, ibu juga mau mandi dulu.” Dengan mengendarai mobil, kami menyusuri jalanan kota, menikmati malam minggu yang ramai. Muda mudi dengan pasangannya masing-masing nampak mesra berboncengan sepeda motor. “Tuh Pram, yang lain pada jalan sama pasangannya. Kamu malah jalan sama ibu” “lhooo… ini kan saya lagi jalan sama pasangan saya. Bedanya, pasangan saya ini bukan pacar, tapi ibu kost saya” “Kamu ini..” “Lho bener kan?” “Iya sih, kamu bener. Tapi sayang, pasangan kamu udah tua, udah ibu-ibu, punya anak lagi, udah gitu gendut lagi” balasku. “Cantik itu relatif lho bu, dan gak ada standartnya. Dan siapa bilang ibu gak cantik? Kalo menurut saya, ibu cantik kok!” “Eh, hayoooo, kamu mau gombalin ibu ya?” “Hahahahahahahaha.. ya gak lah bu. Kita kan lagi bahas ngebahas soal cantik. Oh iya, dan kalo menurut saya, ibu gak pantes kalo disebut ‘bu’, cocoknya sih dipanggil ‘mbak’” “Kok bisa?” tanyaku heran. “Soalnya ibu masih kelihatan muda. Lagian ibu kan baru 29 tahun.” jawabnya. “Duuhhhh, pinter banget kamu ngegombalnya.” “Lhooo bukan ngegombal kok. Buktinya tadi dikampus temen-temen pada manggil mbak kan? Bukan manggil ibu.” “Hehehehe, iya sih.” Berkelana mengitari setiap ruas jalan kota pelajar sungguh sangat menghiburku. Menikmati kemacetan karena banyaknya orang yang tumpah ruah, ingin menikmati malam minggu seperti kami. “Pram, kita ke Am*laz yuk.” “Boleh tuh bu, sekali-sekali cuci mata.” “Huuuhhh..maunya!”

“Hahahahahahahaha, enggak kok bu, cuman canda aja.” Sebelum memasuki gedung mall, kami sempatkan untuk makan malam diwarung lesehan yang banyak bertebaran disekitarnya. Dan seperti biasanya, malam minggu adalah waktu favorit bagi muda mudi untuk bersenang-senang, menikmati masa mudanya. Mall yang terletak dijalan poros kota pelajar ini selalu ramai pengunjung, terutama setiap malam minggu. Banyak yang bertujuan untuk berlanja, ada juga yang hanya sekedar jalan-jalan menikmati suasananya. Kami sedang berjalan pelan, melihat-lihat berbagai dagangan yang dipajang di etalase gerai ketika dari kejauhan aku melihat suamiku sedang bersama wanita selingkuhannya. Mereka tampak mesra. Tangan suamiku melingkar di pinggang si perempuan, begitupun sebaliknya. Langkahku terhenti seketika. Dadaku terasa sesak dan mataku terasa panas. Suamiku benar-benar telah melupakan aku, melupakan putri kecilnya. Dia telah benar-benar melenyapkan kami dari hatinya, dari kehidupannya. Pram kebingungan melihatku berdiri mematung dengan pandangan seolah hampa. Akhirnya ia pun memandang kedepan, dan mendapati pemandangan yang telah membuatku merasakan sakit luar biasa. “Ayo bu, kita pulang.” Tanpa persetujuanku, dengan setengah memaksa, ia menggandeng tanganku dan menarikku. Disepanjang perjalanan, aku hanya terdiam. Ternyata aku belum bisa menerima kenyataan. Ternyata aku belum mampu menerima kenyataan bahwa kini suamiku bukanlah suamiku lagi. Tak terasa, air mataku kembali jatuh. “Dia sudah melupakan aku, melupakan darah dagingnya” gumanku. “Dia lebih memilih perempuan itu daripada kami” sambungku. Pram hanya diam membisu. “Kita pulang aja ya Pram” pintaku. Setelah memarkirkan mobil digarasi, Pram menyusulku kedalam rumah. “Minum dulu ya Pram. Kopi atau Teh?” tanyaku sambil menyeka air mata yang membasahi pipiku. “Kopi bu.” Aku melangkah kedapur, dan disana airmataku mengalir lagi. Tanpa kusadari, Pram menyusulku dan memberi selembar tissue padaku. “Maaf bu, tapi ibu gak pantes menangis untuk laki-laki itu.” Aku benar-benar terpuruk, aku benar-benar hancur. Aku lantas memeluk Pram dan menangis dalam pelukannya. Ia membiarkanku menangis, membiarkanku menumpahkan airmataku dalam pelukannya. Dalam keheningan malam, didapur rumahku, untuk pertama kalinya tubuhku dipeluk laki-laki lain selain suamiku. Dan laki-laki itulah yang selama beberapa saat belakangan selalu hadir, menemaniku disaat aku sedang terpuruk oleh ujian kehidupan. Setelah cukup tenang, aku melepaskan pelukanku dan Pram yang melanjutkan membuat minuman. Segelas kopi dan segelas teh panas untukku. Ditatapnya wajahku, dan dengan lembut disekanya air mata dipipiku. Dadaku masih terasa sesak, dan pikiranku pun kacau. Sekali lagi, aku memeluknya dan menagis tersedu didadanya. Kali ini, ia membalasnya dengan memelukku erat. Kurasakan ia mengusap kepalaku yang masih tertutupi jilbab. Tampaknya ia benar-benar berusaha menenangkanku ketika kurasakan ia juga mencium kepalaku. “Ayo.” Katanya sambil mengajakku kembali keruang tengah. Suasana sangat sepi karena letak rumahku yang sedikit jauh dari rumah-rumah tetangga, selain itu, kedua penghuni kost yang lain pun belum kembali ke kost. Pram menyalakan televisi untuk mengusir sepi. Aku duduk disamping Pram dan kembali menyandarkan kepalaku dipundaknya. Hampir dua jam kami duduk dan tak saling berbicara. Perlahan, aku pun mulai tenang, mulai bisa mengendalikan kesedihanku. “Makasih ya Pram.” gumanku. Pram kembali mengecup kepalaku, “Kamu capek? Mau istirahat?” tanyaku. “Kalo ibu mau istirahat, saya pulang, biar ibu bisa tidur.” “Enggak, ibu belum ngantuk. Kamu?” “saya juga belum ngantuk bu.” Kehadirannya membuatku masa-masa sulit yang kualami menjadi sedikit lebih ringan. Dia benar-benar tulus membantuku, dan aku bisa merasakannya. Tanpa kusadari, aku kembali menyandarkan kepalaku didadanya, sementara tangan Pram merangkul pundakku. Tak terasa, waktu telah menunjukkan hampir jam 12 malam. Suasana diluar semakin sepi, apalagi kedua penghuni kost lainnya belum pulang. Terbawa oleh suasana, kulingkarkan tanganku ditubuh Pram. Aku hanya ingin mendapatkan kenyamanan, hanya ingin menentramkan hatiku yang masih terluka. Dan tanpa kami sadari, akhirnya kami tertidur hingga pagi. Jam 6 lewat beberapa menit, aku terjaga. Ternyata sepanjang malam aku tertidur didada Pram, dengan tanganku melingakar dipinggangnya, sementara Pram masih terlelap. Kutatap wajahnya yang nampak tenang. ‘Makasih Pram, kamu selalu ada disampingku’ ucapku dalam hati. Pram terjaga ketika kulepaskan pelukanku dan sedikit bergeser menjauh darinya. “Pagi bu.” “Pagii Pram.” “Pram, ibu…” Tiba-tiba ia Meletakkan jari telunjuknya tepat didepan bibirku, kemudian menarik tubuhku untuk kembali mendekat padanya. Ia pun menuntun kedua tanganku, kembali melingkar dipinggangnya. Kami kembali berpelukan, dengan kepalaku bersandar didadanya. “Pram..” “Sssstttt.” Kembali ia memotong ucapanku. “Sesekali ibu harus menikmati kesunyian pagi” bisiknya. Sekali lagi, kurasakan hangat dekapannya yang nyaman dan menenangkan. Pram Benar, suasana pagi memang sangat menentramkan jika dinikmati. Mendengar suara kicauan burung-burung yang menghuni pohon rindang dibelakang dapur, merasakan hawa dingin karena embun yang berjatuhan diluar sana. Inilah pengalaman pertamaku, dan aku sangat menyukainya. Hampir satu jam kami menikmati keheningan pagi ala Pram dalam diam, dan selama itu pula aku merasakan kehangatan dekapannya ditengah pagi yang dingin. “Pram.” “Hhmmm.” “Kita Pelukannya sampai jam berapa?” Ia hanya menghela nafas sambil mengeratkan pelukannya. “Pram..” “Pelukannya masih lama” tanyaku lagi. “Hhhmmmm…” jawabnya singkat. “Pram… ibu kebelet pipis” “Kalo gini terus, bisa-bisa ibu ngompol disini.” “Astagaaaaa…” ########## Part 2 dalam proses editing ya, mohon kesabarannya

 

Part 2-Tamat

Pram lantas melepaskan pelukannya, dan aku berlari kecil menuju ke kamar mandi yang berada dikamar tidurku. Ketika aku kembali, Pram sudah tidak ada disana. Kusempatkan diri untuk mandi, menajakan diriku dengan berlama-lama disana, menikmati guyuran air hangat disekujur tubuhku yang mengalir lewat shower. Terlintas dalam pikiranku moment ketika bertemu dengan suamiku dan selingkuhannya. Hatiku terasa seperti tertusuk belati. Sakitnya teramat dalam. Wanita selingkuhannya memang jauh lebih menarik dariku, jauh lebih cantik dengan tubuhnya yang langsing dan kulitnya yang putih bersih. Aku masih belum mampu menerima kenyataan pahit ini. Beruntung bagiku, ada sosok Pram yang menemani, memberiku pelukan yang mampu meredam duka dihatiku. Dialah sosok yang telah berusaha mengembalikan senyum diwajahku. Dan dia berhasil. Sore harinya, aku kembali ke rumah orangtuaku, sambil berharap akan ada panggilan wawancara pekerjaan untuk aku. Aku sengaja mengendari mobilku sendiri, agar tak selalu merepotkan Pram. Hari berlalu, namun belum ada kabar baik perlihal surat lamaran pekerjaan yang kukirim. Selagi menunggu kabar tersebut, aku menyibukkan diri dengan merawat putri kecilku, menghabiskan waktuku dengan mengurusi beraneka ragam bunga yang berjajar rapi di pinggiran rumah. Tak lupa, setiap pagi aku menikmati ‘keheningan pagi’ seperti yang telah diajarkan oleh Pram. Dan dia benar, cara itu berhasil membawa ketenangan, membuatku lebih mampu meredam gejolak emosiku. Waktu terus berjalan, dan tak terasa bulan November telah berjalan selama hampir seminggu. Semenjak kelahiran putri kecilku, November menjadi bulan istimewa, karena di bulan inilah, putri kecilku, Nova Andria lahir, tepatnya tanggal 8 November. Pagi-Pagi, aku dan ibuku telah berbelanja kepasar. Kami ingin merayakan hari istimewa itu untuknya. Hanya sebuah acara kecil, tanpa mengundang siapapun. Aku sangat bersemangat membantu ibuku memasak didapur, untuk menyiapkan segala sesuatunya. Tak lupa juga sebuah kue ulang tahun berukuran kecil, lengkap dengan lilinnya telah kami siapkan. Hujan gerimis membuat suasana dikampungku semakin sepi, karena semua orang memilih berdiam didalam rumahnya masing-masing. Dan sesuai rencana, kami merayakan ulang tahun putriku jam 6 sore. Kami sedang menyanyikan lagu selamat ulang tahun, dan samar-samar mendengar suara ketukan dari arah pintu depan. ‘Siapa yang datang malam-malam begini? Saat sedang hujan begini??’ tanyaku dalam hati sambil berjalan ke ruang tamu. “Hhaaa” kataku takjub sabil menutup mulutku dengan telapak tanganku. Pram berdiri didepanku, dengan sebuah kotak berukuran lumayan besar. “Saya ingat, hari ini si dedek ulang tahun, jadi saya kesini untuk ngasih ini.” Sedikit bagian pakaiannya tampak basah, walaupun ia telah mengenakan mantol untuk melindungi tubuhnya dari terpaan hujan. Aku benar-benar terharu dibuatnya. Suamiku, ayah kandung Nova saja sepertinya telah melupakan anaknya, sementara Pram, yang bukan siapa-siapa rela menempuh perjalanan jauh, melewati hujan, demi memberi sesuatu pada Nova. Tanpa sadar, sebutir air mata mengalir disudut mataku. Aku langsung memeluk erat tubuh Pram. “Bu, jangan lama-lama, gak enak kalo dilihat bapak ibu, dilihat tetangga” bisiknya. Aku lantas melepaskan pelukanku, lalu menyeka air mata dipipiku. “Ayo masuk, kita rayain sama-sama” Pram lantas mengikuti langkahku menuju ke ruang keluarga. “Pak, bu…” Sapa Pram dengan takzim. “Ini lho bu, Pram bawain Nova kue ulang tahun” kataku sabil meletakan kotak yang berisi kue itu diatas meja. Pram menjabat tangan kedua orangku kemudian duduk dikursi disampingku. Tampaknya Nova senang senang dengan kehadiran Pram, karena ia segera menjulurkan kedua tangannya, meminta Pram untuk menggendongnya. “Mas Pram masih capek lho dek. Nanti aja digendongnnya ya.” Kata ibu setelah melihat reaksi Nova. “Gak apa-apa bu, saya juga kangen sama si dedek.” Balas Pram sambil mengambil Nova dari pangkuan bapak. Putri kecilku, Nova tampaknya menyukai Pram. Sedari tadi tak henti-hentinya ia berbicara dengan bahasa ala balita yang tidak jelas maknanya. Pram pun dengan senang hati meladeninya, sehingga suasana menjadi sangat hangat dan penuh kebahagiaan. Sambil menyantap makan malam, Pram tetap bercanda dengan Nova, keduanya sangat akrab dan terlihat senang. “Diluar masih Hujan nak Pram, jadi pulangnya besok pagi saja” kata bapak saat kami bersantai diruang tamu. “Iya nak Pram, lebih baik besok pagi saja nak Pram pulang.” “Tapi maaf ya nak, tidurnya di sofa, soalnya gak ada kamar kosong” sambung ibuku. “Tapi besok pagi saya ada kuliah, jadi harus pulang malam ini pak, bu.” “Pram, kamu jangan ngeyel, dengerin kata bapak ibu. Besok pagi-pagi kamu pulang pakai mobil ibu aja. Mobil itu gak terpakai kok. Nanti kalo ibu mau pulang, ibu telpon kamu, biar kamu jemput. Gimana?” jawabku. “Iya deh, kalo gitu saya tidur disini.” Selanjutnya kami menghabiskan malam dengan sekedar ngobrol ringan ditemani teh panas buatanku. Bapak dan ibu pun terlihat menikmati perbincangan itu, terutama saat Pram menceritakan tentang kampung halamannya, bercerita tentang keluarganya. Sementara itu, Nova silih berganti bermanja-manja dipelukan kami, namun ia lebih banyak menghabiskan waktunya dipangkuan Pram. Tak terasa, waktu hampir menunjukkan hampir pukul 11 malam. Hujan pun masih saja membasahi bumi, bahkan intensitasnya cenderung semakin deras. Nova, putri kecilku telah terlelap dalam dekapan ibuku. “Nak Pram, bapak ibu pamit dulu ya, mau istirahat dulu.” “Iya pak, silahkan.” Mereka lantas meninggalkan aku dan Pram diruang tamu. Nova yang telah tertidur pun dibawa masuk, karena selama ini, mereka telah terbiasa tidur disamping cucunya. Dan sepertinya Nova pun yaman dengan hal itu. “Kita keruang tengah aja yuk, sambil nonton tv” “Iya bu.” Pram duduk disofa, lantas meraih remote tv dan menghidupkannya. “Sebentar…” kataku, lantas menuju ke kamar tidurku. Karena hendak beristirahat, kulepaskan jilbab yang menutupi kepalaku. “Ini…” kataku, seraya menyerahkan sebuah bantal dan selembar selimut padanya. Pram terpana melihatku sambil menerima bantal dan selimut yang kutawarkan. “Kenapa..? Aneh ya..?” tanyaku, lalu duduk disampingnya. “Gak sih, ternyata pakai jilbab atau enggak, ibu tetap cantik” “Huuuuuu.. gombal” jawabku sembari mencubit lengannya. “Kayaknya lebih pantas kalo dipanggil mbak. Umur ibu baru 29 kan?” “Terserah kamu aja Pram, panggil ibu, boleh. Panggil mbak, boleh.” Inilah pengalaman pertamaku tanpa jilbab dihadapan Pram, wajar saja jika ia menatapku dengan sedikit aneh. Pasca keretakan rumahtanggaku, hanya Pram sajalah laki-laki yang dekat denganku. Dan sejauh ini, hubungan kami berjalan baik. Sikap empatinya terhadap aku, perhatiannya terhadap aku dan putriku Nova membuatku merasa nyaman bersamanya. Usianya memang terpaut beberapa tahun lebih muda daripada usiaku, namun dimataku, Pram adalah sosok laki-laki dewasa. “Ibu baik-baik aja kan?” “Iya, ibu baik-baik aja Pram, sehat kok.” “Bukan itu bu, maksud saya hati ibu.” “Ya beginilah keadaan ibu. Harus selalu baik dan kuat. Demi Nova” jawabku. “Dan untuk kebaikan ibu sendiri juga. Jangan lupa itu bu.” Pram menyandarkan punggungnya di sofa, kemudian tangan kirinya merangkul pundakku. Dengan sedikit memaksa, ia memintaku untuk mendekat. Sekali lagi, kusandarkan kepalaku di dadanya. Sebenarnya, aku sedikit ragu berpelukan dengan Pram, karena sewaktu-waktu, kedua orangtuaku bisa saja memergoki kami. Tentu bukan sesuatu yang bisa mereka pahami melihat anaknya sedang berpelukan dengan laki-laki lain yang bukan suaminya. Kamar orangtuaku terletak dibagian belakang rumah, bersebelahan dengan dapur dan pintunya menghadap ke ruang makan. Ada sebuah lemari besar, yang memisahkan antara ruang tengah dan ruang dapur, ditambah sebuah rak berukuran besar yang berisi bingkai foto keluarga kami. Aku sedikit tenang dan lega, karena posisi kami tak akan langsung terlihat jika orang tuaku keluar dari kamarnya. Hujan yang masih membasahi bumi membuat suasana semakin sepi. Lampu-lampu telah dipadamkan dan hanya sinar remang-remang dari tv yang menyinari ruang tengah. Kuraih selimut yang ada diatas meja didepan sofa yang kami duduki lalu kupakai untuk menutupi tubuh tubuh kami dari sengatan hawa dingin, kemudian kedua tanganku kulingkarkan dipinggang Pram. Aku terbuai suasana dan tanpa sadar, kueratkan pelukanku. Aku benar-benar merasa nyaman dalam dekapannya. “Ibu bersyukur ada kamu. Ibu senang kamu selalu ada untuk ibu. Ibu gak tau gimana nasib ibu sekarang kalo kamu gak ada.” gumanku. “Saya yakin, ibu pasti bisa melewati semua ini walaupun saya gak ada. Saya tau, ibu bukan wanita lemah.” Kata-kata yang ia ucapkan, hampir sama persis dengan kata-kata ibuku. ‘Kami mendidik dan membesarkanmu untuk menjadi perempuan yang kuat, perempuan yang tangguh. Menangislah, tapi jangan pernah menyerah.’ “Makasih ya Pram.” ‘cuppp’ Kurasakan sebuah kecupan mendarat dikepalaku. Kualihkan pandanganku padanya. Redup sinar yang terpancar dari televisi tak mengaburkan penglihatanku. Pram balas menatpku. Tatapannya sungguh membuat jantungku berdebar. Aku tak kuasa untuk berlama-lama menatap matanya, ‘Cuuupppp’ Sekali lagi ia mengecupku, tepat dikeningku saat aku memejamkan mataku perlahan. Jarak wajah kami begitu dekat sehingga aku bisa merasakan hembusan nafasnya. Beberapa kali kurasakan kecupannya yang hangat mendarat dikeningku, sementara tangan kanannya dengan lembut ditempelkannya dipipiku. Perlakuannya itu benar-benar membuatku terbuai. Pelukanku pada tubuhnya pun semakin kupererat. ‘Cuup.’ Tiba-tiba kurasakan bibirnya mendarat dibibirku. Pram menciumku! Jantungku semakin berdebar, dan hawa hangat mulai menyelubungi tubuhku. Aku hanya bisa pasrah dan menikmati semua yang ia lakukan padaku. Dengan mata yang masih terpejam, kubuka sedikit kedua bibirku. Sejurus kemudian, kurasakan hembusan nafasnya semakin mendekat, dan ‘Ccuupp.’ Pram kembali mengecup bibirku. Tak seperti tadi, kali ini langsung sedikit melumat bibir atasku dengan lembut. Aku tak bereaksi apapun karena terlena dengan sikapnya yang romantis. Beberapa detik berlalu, giliran bibir bagian bawah yang dilumatnya. Suasana dingin sangat mendukung, dan sikapnya yang romatis, ditambah lagi kenyataan bahwa telah sekian lama tubuhku tak tersentuh lelaki, perlahan membangkitkan gairahku. Tanpa membuang waktu, aku membalas dengan melumat bibirnya. Kucoba mengikuti irama yang telah terbentuk, sebuah ciuman yang lembut dan perlahan, walalupun kurasakan gejolak nafsuku meningkat dengan cepat. Pram tak menampik ketika satu tanganku menyelinap masuk kedalam baju yang ia kenakan. Bisa kurasakan detak jantungnya berdegup kencang dan suhu tubuhnya sedikit hangat ketika kuusap dadanya. Aku yakin, kami berada dalam kondisi yang sama, sama-sama telah telah terangsang dengan sempurna. Hampir 5 menit berlalu, akhirnya ciuman kami terhenti. Perlahan kubuka mataku, dan kudapati wajahnya tepat didepanku. Tatapan matanya benar-benar teduh, dan aku yakin, kami menginginkan hal ini berlanjut. Tanganku yang menyelinap dibalik bajunya beralih. Kuusap pipinya dengan lembut dan membelai rambutnya. Aku benar-benar tak mampu menahan gejolak didalam diriku. Nafsu birahi seakan telah merasuki sekujur tubuhku. Hampir semenit berlalu setelah ciuman kami terhenti, giliran aku yang memulainya lagi. Kecupanku dibibirnya berbalas dengan lumatan terhadap bibirku. Atas dan bawah, secara bergantian menjadi santapannya, begitu pun sebaliknya. Satu tanganku kembali menyelinap masuk kedalam bajunya dan kembali mengusap dadanya yang terasa semakin hangat. Jemariku pun bergerak mempermainkan dadanya. Sepertinya Pram telah terangsang, sama seperti aku, ketika kurasakan lumatan bibirnya semakin panas dan liar. Satu tangannya mulai bergerak membelai perutku yang masih tertutupi pakaian, dan terus bergerak naik hingga kebagian payudaraku yang tersembunyi dibalik bra dan baju. Aku mendesah pelan, suaraku tertahan oleh aksi saling lumat bibir ketika ia mulai meremas lembut dadaku. Seiring detik berlalu, birahiku semakin menggelora. Secara bergantian, kedua belah payugaraku dipermainkannya sementara bibir-bibir kami masih terus saling bertautan. “Tunggu sebentar..” bisikku pelan. Aku segera berlari kecil menuju ke kamar tidurku. Aku menginginkan sesuatu yang lebih dari sekedar ciuman dan rabaannya. Didepan lemari besar yang berisi pakaianku dan pakaian Nova, kutanggalkan bajuku, sekaligus dengan pakaian dalam yang menutupi bagian vital tubuhku. Sebagai gantinya, kupilih selembar baju tidur berbahan satin dengan belahan dada rendah. Dibaliknya, aku sengaja membiarkan tubuhku tak tertutupi pakaian dalam. Aku ingin menghabiskan sisa malam ini dengan menikmati belaian dan cumbuan Pram disekujur tubuhku. Aku ingin ia memuaskanku, aku ingin ia menuntaskan rasa hausku akan bercinta, setelah sekian lama tak merasakannya.

Sebelum membuka pintu kamarku, kuhembuskan nafasku untuk sekedar mencoba menenangkan pikiranku, meredan gejolak nafsu birahi yang menyelimutiku. Dalam keremangan ruangan itu, aku berjalan pelan mendekati Pram. Ia tampak terkesima dengan penampilanku. Tanpa mengucap sepatah kata pun, kuraih tangannya, dan mengajaknya untuk memasuki kamarku. Gayung pun bersambut, Pram menerima uluran tanganku, kemudian mengikuti langkahku memasuki kamar tidur. Segera setelah pintu kamarku terkunci, aku kembali menciumnya. Rasa haus akan sentuhan lelaki membuatku lupa akan segalanya. Dibalik pintu kamarku, kami kembali bercumbu, tepat dibalik pintu, bukan diatas kasur empuk yang berjarak hanya beberapa langkah dari posisi kami bercumbu. Seolah tak ingin menyia-nyiakan waktu, kami terus bercumbu, saling melumat bibir, saling mengigit lembut demi menyalurkan hasrat membara. Kedua tangannya menempel erat dipinggangku, tak bergerak sedikitpun. Berlawanan denganku yang sibuk menjelajahi dadanya. Setelah cukup puas menikmati bibirnya, kuarahkan kecupanku kebagian leher. Bukan sekedar mengecup, sesekali lidahku bergerak liar disana, menelusuri permukaan kulitnya hingga ke telinga. Perlakuanku ini sukses memantik birahi Pram. Hembusan nafasnya terasa hangat ketika menerpa kulitku dan terdengar begitu berat. Setelah itu, Kedua tangannya pun mulai aktif bergerak. Perlahan namun pasti, satu tangannya bergerak naik, menelusuri perutku, hingga akhirnya berhenti di payudaraku. Tubuhku hanya tertutupi sehelai baju tidur tipis berbahan satin, sangat tipis sehingga Pram bisa dengan leluasa mengerjainya. Seperti yang kuinginkan, Pram kembali meremas lembut dadaku. Secara bergantian, kedua payudaraku dipermainkannya, kedua putingnya pun tak luput dari aksi liar jemarinya. Pram membuatku semakin bernafsu. Dadanya kujilati, kedua putingnya kuhisap dengan buas setelah sebelumnya dengan sedikit kasar, aku melucti baju kaosnya, sementara tanganku mulai membelai kemaluannya yang masih tertutupi celana jeans. Tangannya kembali meraih wajahku dan menuntunku untuk kembali berciuman. Lidah kami saling menari didalam rongga mulut secara bergantian, bahkan sesekali saling hisap. Akhirnya, Kedua tangannya meraih tali yang menyangga bajuku, kemudian menurunkannya ke lenganku. Dan seketika, baju itu meluncur bebas kelantai tanpa halangan sedikitpun. Kini, aku benar-benar telanjang, tidak ada lagi halangan yang berarti bagi Pram untuk menjamahku, untuk menikmati tubuhku. Ia mendesakku kebelakang pintu kamarku, kemudian mulai mencumbui leher dan seluruh bagian payudaraku. Pram sangat agresif, selaras dengan keinginanku untuk merasakan kenikmatan sentuhan lelaki. Saat satu putingku sedang dihisap, jemarinya ikut mempermainkan putingku yang lain. Dia benar-benar ingin menikmati tubuhku, dan aku menyukainya. Satu tanganku memegang kepalanya yang sibuk menikmati dadaku, sedangkan satu tanganku yang lain kugunakan untuk mempermainkan vaginaku sendiri, demi menambah sensasi kenikmatan yang tengah kurasakan. Sadar akan hal itu, satu tangan Pram segera menghalau jemariku yang tengah asyik bermain. Aku mengalah, dan selanjutnya jemarinya yang mulai bergerak liar disana. Aku benar-benar kepayahan menerima rangsangan bertubi-tubi dari Pram, lututku terasa lemas, tak mampu menahan beban bobot tubuhku sendiri. Pram tak memperdulikan hal itu, ia masih terus asik melahap setiap jengkal dadaku, sementara dibawah sana, jemarinya menelusuri kemaluanku, mengusap, mempermainkan klitorisku, menekannya, mengusapnya bahkan sesekali 1 jarinya menyelinap masuk kedalam celah sempit vaginaku. Sekuat tenaga aku menahan desahan ditengah badai kenikmatan yang melanda. Dengan mataku, aku menyaksikan Pram menjilati dan menghisap dadaku, dan dibawah sana, jemarinya sukses membuat vaginaku basah dan licin karena banyaknya cairan yang keluar. Setelah puas melahap dadaku, lidahnya bergerak perlahan, melusuri belahan dadaku, dan terus meluncur kebawah hingga akhirnya wajahnya berada tepat didepan kemaluanku. Jantungku semakin berdebar, menanti apa yang akan dilakukannya. Aku tahu, ia akan melahap kemaluanku, sama seperti ketika ia menikmati payudaraku. Namun kepiawaiannya telah memberiku kenikmatan dahsyat yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Dengan perlahan, Pram mendekatkan wajahnya ke vaginaku, dan dengan satu sapuan lidah, ditelusurinya belahan kemaluanku, mulai dari atas hingga ke bagian bawah. Tubuhku tersentak, bak teraliri listrik bertegangan tinggi. Kedua tangannya berusaha membuka bibir kemaluanku, lalu lidahnya yang hangat menjulur, menjilati bagian dalam vaginaku yang sangat sensitif. Mataku kembali disuguhi pemandangan erotis dan panas, dan aku sangat menikmatinya. Hanya tinggal menunggu waktu saja, aku akan merasakan orgasme hebat, orgasme pertamaku lewat oral seks yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Detik-detik yang mengantarkan orgame itu semakin dekat ketika ia melumat bibir kemaluanku, bak sedang melumat bibir diwajahku saat kami berciuman. Sontak saja kujambak rambutnya, kutekan pinggulku kearah wajahnya. Tubuhku setengah melengkung dengan bagian punggung atas yang bersandar di daun pintu yang tertutup. Aku benar-benar terangsang hebat dibuatnya hingga cairan yang keluar dari vaginaku mengalir melalui pahaku. Dan kenikmatan itu semakin bertambah ketika bibirnya menempel erat tepat diatas vaginaku, sementara didalam mulutnya, lidahnya menari mengerjai segumpal daging kecil yang menjadi salah satu titik sensitif wanita. Hisapan dan jilatannya sukses membuatku mendesah pelan. Tubuhku terasa semakin panas, dan keringat mulai bercucuran. Hal lain yang semakin membuatku tak mampu menahan ledakan orgasme adalah ketika 2 jarinya mulai mengocok liang vaginaku, sementara bibirnya masih terus menghisap klitoris. Dan benar saja, tak sampai 5 menit ia melakukannya, kurasakan otot-otot disekitar selangkanganku menegang, jantungku berdetak lebih cepat. ‘Ssssshhhhhh…. Hhhhmmmmppphhh’ Aku mencapai orgasmeku! Kepalanya kudesakkan dengan sangat kuat kearaah kemaluanku hingga terhimpit kedua pahaku. Aku sangat yakin, cairan orgasmeku masuk kedalam mulutnya, dan mungkin saja ia menelannya. Tubuhku benar-benar lemas, tenagaku benar-benar terkuras akibat orgasme hebat yang baru saja melanda. Dari bawah sana, Pram menatapku, seutas senyum tersunging dibibirnya. Beberpa saat berlalu dan Pram berdiri, tangannya menempel dikedua sisi pipiku. Dengan lembut ia kembali melumat bibirku. Aroma khas vaginaku tercium dari wajahnya, namun aku tak memperdulikannya. Aku membalas ciumannya sambil memeluk tubuhnya yang bermandikan keringat. “Kamu hebat..” gumaku pelan ditelinganya. Ia hanya tersenyum, kemudian kembali mengecup keningku. Aku menarik lengannya, mengajaknya ke pinggiran ranjang, dan kembali melumat bibirnya disana. Seutas senyum kuberikan saat bibir kami saling berpisah. ‘Sekarang gilirangku’ kataku dalam hati. Sambil mengecup perut, kedua tanganku sibuk melepaskan ikat pinggangnya. Selesai dengan ikat pinggang, selanjutnya kancing celana jeans yang ia kenakan pun segera kubuka. Dengan perlahan, celana itu kuturunkan hingga ke lututnya. Aku menengadah, tersenyum padanya. Kini kemaluannya tepat berada didepanku, dan hanya terhalangi oleh celana dalam bwrwarna hitam. Sekilas kulihat kemaluan Pram telah mengeras, berdiri dengan gagah dibalik celana dalam. Tanpa membuang waktu, aku langsung menurunkan celana dalamnya. ‘wwoww’ seruku dalam hati karena takjub dengan penis milik Pram. Aku belum menyentuhnya, namun dari pandanganku, aku yakin penis Pram sedikit lebih besar dan panjang dari penis suamiku. Sesuatu yang sedikit lebih istimewa untuk ukuran kemaluan pria lokal. Dan benar saja dugaanku, penis itu tak mampu kugenggam seutuhnya ketika tanganku mulai memegangnya. Segera saja kukocok dengan pelan dan bibirku mulai bergerak mengecup bagian ujungnya. Pram tercekat ketika lidahku mulai menelusuri batang penisnya. Sekilas kulihat Pram memejamkan mata, menikmati setuip sapuan lidahku. Sambil mengocok penisnya, kuarahkan lidahku kebagian zakarnyan dan bukan hanya jilatan saja yang kuberi, sesekali aku menghisap kulit yang membungkusnya. Aku tak segan mempermainkan lubang kecil diujungnya dengan jemariku, karena aku yakin Pram pasti sangat menikmatinya. Beberapa menit berlalu, kocokanku menyebabkan sedikit cairan keluar dari ujung kemaluannya. Aku berhenti sejenak kemudian kembali menatapnya sementara penisnya masih dalam genggaman tanganku. Aku hanya sekedar ingin tahu, apakah Pram menyukai caraku, apakah Pram menikmatinya. Pram membuka matanya dan menatapku, tampaknya ia heran mengapa aku menghentikan permainanku. Hanya beberapa saat saling tatap, Pram lantas memajukan pinggulnya, mendekatkan penisnya kemulutku lagi. Aku menyambutnya dengan membuka mulutku, dan akhirnya masuklah penis itu. Rongga mulutku terasa sesak dan penuh sekali. Penis Pram benar-benar memiliki ukuran yang istimewa. Kini, mulutku yang bertugas mengocoknya, menganti peran tanganku yang sedang mencengkram kedua belah pantatnya. Dengan gerakan pelan dan lembut, Pram menggoyang pinggulnya, maju dan mundur sehingga penisnya bergerak keluar dan masuk dimulutku, seolah sedang menyetubuhiku. Air liur mulai menumpuk didalam sana, bahkan meluber keluar melalui sudut-sudut bibirku akibat goyangan pinggul Pram. Akibatnya, kemaluannya semakin licin dan lancar menyetubuhi mulutku. Hanya beberapa saat kemudian, kurasakan penisnya mulai berkedut, seolah memiliki jantungnya sendiri. Aku yakin, sebentar lagi Pram akan mencapai puncak orgasmenya. Pram lantas sedikit mempercepat gerakan pinggulnya, dan khirnya ia mendesah pelan disertai dengan hembusan panjang nafasnya. “Ssshhhhhhhh….” Sperma Pram keluar didalam mulutku, bercampur dengan air liurku sendiri! Tanpa pikir panjang, Cairan orgsme itu kutelan, kuhabiskan hanya dalam 1 tegukan. Pram melirik jam di dinding kamarku. Pukul 2 lewat beberapa menit. Aku menepuk kasur disebelah tubuhku, mengajaknya duduk bersamaku. Kami duduk sesaat, lalu merebahkan diri disana, dengan kaki terjuntai kelantai. Kami saling menatap mesra, tanpa satu kata pun terucap. Aku kembali mengusap pipinya dan memberikan 1 kecupan. “Terima kasih…” bisikku pelan. Pram mengangguk, lantas mengecup pipiku dengan lembut. Hanpir setengah jam kami berbaring, mengistirahatkan tubuh yang lelah, dalam keadaan telanjang hingga akhirnya Pram pamit padaku untuk kembali ke ruang tengah. Sebelum Beranjak pergi, ia menutupi tubuhku dengan selimut dan mengecup lembut keningku. Aku tidur dengan lelap, dalam keadaan telanjang hingga suara adzan subuh membangunkanku. Hari masih gelap ketika Pram telah bersiap untuk kembali ke kota. Segelas kopi panas dan pisang rebus tersaji dimeja makan. Bapak dan ibuku pun berada disana. “Pagiii…” “Pagi bu..” “Gimana tidurnya Pram..? Nyenyak?” “Iya bu, nyenyak pake banget.” “Maaf lho nak Pram, Cuman bisa tidur di sofa.” sambung ibuku. “Gak apa-apa bu, lagipula bisa tidur nyenyak kok.” “Saya yang terima kasih ke bapak dan ibu, ke bu Rindi, udah diberi tumpangan buat istirahat, dapet makan gratis lagi, hehehehehe.” balas Pram. “Jangan sungkan nak, bapak dan ibu sudah menganggap nak Pram sebagai anak kami, sering-seringlah mampir kerumah ini.” Sambung bapak. “Itu Nova juga senang lho kalo nak Pram ada disini, kayaknya dia manja dan gak rewel kalo sama nak Pram.” sahut ibuku. “Iya bu.. saya anak bungsu, jadi gak pernah ngerasain gimana punya adik. Nova saya anggap seperti adik saya juga bu.” Suasana penuh keakraban dan kekeluargaan itu membuatku bahagia, apalagi melihat respon kedua orang tuaku yang sangat baik terhadap Pram. Sepertinya keadaan mulai membaik untukku. Kami berdiri diteras, untuk melepaskan kepergian Pram. Dengan takzim, Pram menyalami kedua orang tuaku dan menciumi punggung tangan mereka. Yang membuatku kagum dan merasa lebih bahagia adalah pelukan yang diberikan oleh bapak dan ibuku padanya. “Hati-hati dijalan ya nak.” pesan ibuku segera setelah melepaskan pelukannya. “Iya bu.” Aku hanya menyalami Pram, karena masih sungkan terhadap kedua orangtuaku. “Hati-hati dijalan ya Pram, semoga kuliahnya lancar.” pesanku sambil menyalaminya. Hujan semalam masih belum berhenti, walaupun yang tersisa hanyalah gerimis. Saat mobil yang hendak keluar dari pekarangan rumahku, aku teringat satu hal. Kunci rumahku! Aku segera berlari, mencoba menghentikannya. “Pram, Ibu titip rumah ya. Ini kuncinya, kalo malam tolong lampunya dinyalain biar terang.” pesanku. Aku berdiri disisi kiri mobil itu, dan harus sedikit membungkuk agar bisa berbicara dengan Pram. Jalan kecil didepan rumahku sangat sepi, karena hari masih lumayan gelap, ditambah dengan gerimis dan hawa dingin. Pram meraih kunci itu, dan aku mendekatkan wajahku padanya. “Cium aku.” bisikku. Kaca mobilku sangat gelap, sehingga orang tuaku tak mungkin melihat kedalam mobil. Segera saja Pram melumat bibirku dengan lembut hingga hampir satu menit lamanya. Aku benar-benar sudah gila dan nekat. Akhirnya Pram pun pergi disertai lambaian tangan kami. “Anak yang baik” guman ibuku, sambil berlalu, masuk kedalam rumah. ‘Sangat baik, jauh sangat baik dan hebat!’ gumaku dalam hati setelah mendengar ucapan ibu. Nova masih terlelap, sementara bapak memilih menghabiskan waktunya didepan televisi. Kutarik selimutku, dan mencoba mengingat kembali kegilaanku semalam. Seumur hidupku, hanya suamikulah yang pernah melihat tubuhku secara utuh, hanya dia satu-satunya pria yang pernah menyentuhku. Bahkan ia nelakukannya saat kami telah menikah. Harus kuakui, Pram lebih piawai dalam hal memuaskanku, walaupun aku masih belum merasakan disetubuhi olehnya. Namun, caranya memperlakukanku membuatku nyaman dan membuatku terbuai. Mungkin karena setelah sekian lama tak merasakan sentuhan lelaki, sehingga timbul kegilaan, seperti yang kulakukan semalam. Aku bahkan memintanya menciumku, saat ia hendak pulang, dihadapan kedua orangtuaku. Aku benar-benar gila! Aku tak pernah merasakan bagaimana sensasi bercinta dengan laki-laki lain, selain suamiku. Kupikir, selama ini aku telah merasakan kedahsyatannya, dan ternyata aku salah, benar-benar salah. Pram, lelaki yang jauh lebih muda usianya telah membuka tabir dunia lain yang belum pernah kujajaki sebelumnya. Ia membuatku terlihat seperti seorang remaja yang baru saja merasakan nikmanya bercinta. Hari berlalu namun tak ada satupun kabar tentang lamaran pekerjaan yang kukirimkan “Sabar… mungkin memang belum rejeki, nak.” kata ibu. “Iya bu, mungkin Rindi harus kembali ke kota, cari lowongan lain lagi.” jawabku. Ibu mengusap lembut kepalaku, dan membiarkanku menyandarkan kepalaku dipundaknya. Aku beruntung, memiliki kedua orang tua yang selalu mendukungku, selalu memberikan semangat padaku. Aku yakin ibu masih memikirkan masalah yang menimpaku, masalah dengan suamiku yang sepertinya memang akan berujung dengan perceraian. Sungguh pahit, sebuah kenyataan pahit menimpaku, menimpa keluarga kecilku. Dalam hatiku pun demikian, bimbang dan bingung menatap masa depanku, bingung bagaimana akan mempersiapkan masa depan Nova, putri kecilku. Dan Pram. Aku tidak tahu bagaimana mengatakannya, aku tidak bisa menggambarkannya. Kehadirannya seperti pelangi setelah badai, sungguh indah, sangat mempesona. Dan aku sedang menatap pelangi itu, sedang merasakan keindahannya. Dan layaknya pelangi, hanya akan bertahan sesaat, lalu akan menguap, menghilang entah kemana. Mungkin hanya memori, hanya kenangan yang akan tersisa, sebuah kenangan indah yang layak untuk kusimpan dalam hatiku, dalam hidupku. Dan untuk saat ini, biarlah kurasakan indahnya, biarlah Nova, putri kecilku merasakan indahnya pelangi itu. Hidupku akan terus berlanjut, terus berjalan. Apa yang menantiku dimasa depan, biarlah terjawab oleh waktu yang bergulir. Aku yakin, akan ada mentari esok pagi, akan ada kebahagiaan menantiku dimasa depan. Yang kulakukan saat ini hanyalah terus berjalan, terus berusaha dan berharap aku akan sampai dimasa itu. Tamat