Dindung Sekeluarga

Kusumo Hadi/Papa Dindung Ratna Sari/Mama Dindung Desi Kumala/Kakak Dindung Sobur/Kakek Dindung​
DINDUNG
BANTUIN MBAK DESI
DINDUNG​
Suatu hari seorang remaja bau kencur berbaring di tikar reot yang digelarnya sambil menonton televisi. Berbantal tangan dan kedua kaki menekuk, dia terkadang mengupil atau dikeruk-keruknya daki di leher. Digumal-gumal daki tersebut hingga membundar seperti bola. Meskipun Acara Televisi cenderung penuh intrik kebohongan, dia tetap nikmat menonton, tersenyum sendiri mengamati lakon para pembawa acara yang melontarkan lelucon bernada menghina. Tiba-tiba seekor nyamuk dengan perut gembung hinggap di dada, karena keserakahannya berujung naas. “PLAAAKKK!!” “Mampuusss Luhhh! Kena juga akhirnya..!”, dicuil bangkai nyamuk yang penyek. Dibuntel dengan daki yang sudah tebal membundar. Dindung Sukmara, umurnya baru 16 tahun. Dia belum mandi pagi itu, masih ingin bermalas-malasan. Padahal jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Dia harus berangkat les yang terjadwal pukul 10 pagi. Anehnya, bukannya segera bergegas, Dindung yang telah menewaskan seekor nyamuk justru melamun, memandangi bagian triplek yang terjurai menggantung. Cicak betina yang merayap pun merasa gede rasa, disangka dia yang dilirik. “Uuuhh…..”, lenguh pelan Dindung. Salah satu tangannya menyelip ke dalam celana pendek, menggapai burung yang berdiri seakan ingin terbang menerjang pagi. Dindung bukan punya kemauan menambal. Apalagi sampai membetulkan keadaan rumah yang memang betul-betul harus direnovasi. Bayang pikirannya melambung, mengingat-ngingat dia semalam mengintip kakak kandungnya, Desi, masturbasi sendirian. Bukan sekali dua kali Dindung mendapati kakaknya masturbasi. Kebanyakan tidak disengaja dan Dindung tidak sampai menangkap basah aktivitas tidak lazim itu. Justru, Dindung paling menanti-nanti. Pikirnya, kalau sampai dipergokki, bisa-bisa Dindung tidak bisa lagi mengamati kelakuan aneh kakaknya. Desi Kumala Ningsih adalah kakak kandung Dindung. Usianya 22 tahun. Dia sedang menempuh pendidikan di sebuah kampus swasta di Jakarta. Rambut hitam yang tergerai panjang, lebih sering diikat bando. Perawakan tubuh Desi seperti gadis pada umumnya. Tidak terlalu kurus, tetapi berisi, terutama lengan dan paha. Dibilang gemuk juga tidak. Namun, kalau sudah lihat isi dalamnya, bakal sempoyongan seperti yang dialami Dindung. Sukar untuk dilupakan. Bahkan, sering terbayang-bayang. “Uhh, Mmmbaaak Deeesssi…” “kalau bukan kakak gue, udah gue entot dia dari kemarin hari..” “Tapi mau gimanapun, dia emang selalu bikin gue sange kalo di rumah…” “Dung, Dindung!!” “BRUKKKK”, siku tangan Dindung tertubruk kaki meja di dekatnya. “Aduhh! si Mama ganggu ajah!”, oceh Dindung, sedangkan dia sedang keenakan mengelus-ngelus burung yang sedang perkasa-perkasanya. “Sini Dung! Bantu Mama sebentar!” Dindung tidak menghiraukan panggilan mamanya. Dia pura-pura tidak mendengar. Volume televisi justru diperbesar supaya suara mamanya semakin terdengar tidak jelas. Bagi Dindung urusan Burungnya sekarang harus dinomorsatukan. Dia tidak mau Burungnya kehilangan keperkasaan yang sudah cape-cape dihimpun melalui sederet imajinasi cabul tentang Mbak Desi. Kalau ruyup, masa Dindung harus merunut ingatan. Sama saja menonton episode sinetron yang sama untuk kedua kalinya alias membosankan. “HHOYY DUNG! Mamahmu itu manggil!” “Kamu malah enak-enakkan tidur…?!” “DURHAKA KAMU!”

“EEEH?? IYYA MBAHH…”, Dindung lekas berdiri. Dia KAGET dengan kemunculan Mbah Sobur. Mbah Sobur adalah ayah dari Papa Dindung. Umurnya 64 tahun. Dia sedang mudik ke rumah anak pertamanya yang merupakan Papa Dindung sendiri. “Iya Maa!”, sahut Dindung tergesa-gesa bertelanjang dada menuju halaman belakang rumah, tempat menjemur pakaian. “Bantu Mama sebentar…” “Tolong jemurin pakaian nih..”, ujar Mama Dindung, Ratna Sari. Usianya 40 tahun. Dia adalah seorang guru di sebuah sekolah swasta di Bekasi. Kini, Dia berdiri di dekat sebuah ember besar berwarna merah. Mengetahui bakal disuruh menjemur, Dindung mengerahkan sebuah alasan. “Yaah gak bisa Ma! aku mau berangkat les…” “Udah jam 9 lewat, belum mandi akunya” “Alesan aja kamuh bisanya…” “Gak usah mama kasih uang jajan aja kamu ya…?”, ujar Mama Dindung, dengan tubuh terbelit kain jarit batik, dia mulai menjemur sehelai pakaian. “Yaah Mama… jangan gitu dong..”, Dindung memberengut, mendatangi mamanya. “Makanya ini bantuin Mamah….” “Iya deh, iyyaa….”, Dindung memungut salah satu pakaian di ember dan itu adalah pakaiannya sendiri. Sambil mengepak-ngepak pakaian yang basah, Dindung mencuri pandang ke arah mamanya. Ditatap tubuh semok dengan kulit putih merona. Lengan yang padat, terdapat butir-butir air sisa mandi. Mama Dindung menyeka dahi. Matahari pagi bikin dia agak berkeringat. Dindung merinding. Buah dada mamanya rasanya ingin melompat keluar karena dibebat kain. Belahan buah dada mencerminkan bagaimana besarnya payudara mama Dindung sehingga membuat Burung kepunyaan Dindung membengkak. Keadaan Tubuh Mama Dindung yang hanya terbungkus sehelai kain membuat Burung kepunyaan Dindung gerah setengah mati. Dindung bisa saja berbuat kurang ajar. Ditaut kain itu, dalam sekejap Mamanya telanjang di depan mata Dindung. Dindung tidak mau ambil risiko. Perhatian Dindung mendadak teralihkan, dia merasa ada sepasang mata mengawasi di balik tembok tinggi yang mengelilingi halaman belakang rumah. Dindung menengok ke segala arah. Bahkan, pohon Belimbing dan Mangga yang tumbuh di halaman belakang dia tengok dari jauh. Setelah dijemur satu pakaiannya, Dindung berusaha memeriksa seisi halaman belakang yang mana terdapat gudang, kamar mandi, dan sebuah bangunan tempat berlesehan, menyerupai Gazebo. Dindung sambangi, pastikan sungguh tidak ada siapapun di halaman belakang. Lagipula memang tidak pernah ada orang yang menyelundup masuk melalui halaman belakang rumahnya, maling sekalipun. Duri-duri besi menjarum-jarum di atas tembok yang kokoh memancang. Siap menusuk mereka yang nekat memanjat. “Kenapa Dung?”, tanya Mama Dindung yang sudah menjemur beberapa kain. “Gak kenapa-kenapa Maa…” “Huummh.. yaudah kamu mending siap-siap aja gih..” “Terus uang jajan akuh?” “Yaudah dapet kok, sekarang kamu mending mandi..” “Nanti telat lagi kamu sampai di tempat les…” “Beressss…”, jawab Dindung yang bahagia lantas mengacungkan jempol. Sebelum menuju kamar mandi, Dindung mengaut bajunya yang tergeletak di atas tikar. Dia ambil remot dan hendak matikan televisi yang menyala. “HOY! HOY! HOY! Jangan dimatikan! Mbah mau nonton…” Akan tetapi, Mbah Sobur tiba-tiba muncul lagi. Dia datang mencegah. Mbah Sobur yang tadi Dindung lihat sibuk berdiri di halaman depan rumah, menggantikan cucunya menonton televisi. Dindung pun lantas membiarkan. Dia segera meniti jalan ke arah kamar mandi setelah mencomot handuk yang tersangkut di atas kursi. Melewati mamanya yang masih menjemur pakaian, Dindung menengok-nengok lagi. Dia penasaran. Firasatnya menyatakan dia tidak keliru kalau tadi ada yang mengintip barangkali. Apa boleh buat Dindung tidak mau menyia-nyiakan waktu. BBBBYUUUUURRRRRSHHH…. Di dalam kamar mandi Dindung menyirami seluruh bagian tubuhnya. Tiada satupun sela yang tidak dibasahi dengan air. Dia tidak mau bau kecut sisa-sisa keringat malam menguap di tempat les. Memalukan karena kebanyakan teman lesnya berkantong tebal, meskipun tidak kaya-kaya amat. Ketika hendak menyabuni rambut selangkangan dan burung yang entah semenjak kapan layu, lirik mata Dindung tertuju pada sebuah bakul yang ditaruh menindih sebuah ember tempat menampung air. Dilihatnya beberapa pakaian dalam wanita yang bercampur aduk dengan helaian kain lainnya, seperti t-shirt, blouse, tanktop, dan celana pendek berbahan katun. Dalam keadaan tubuh berbusa Dindung menghampiri, mengubek-ngubek satu per satu pakaian kepunyaan kakaknya. Dicari, didapati satu yang dia inginkan. “Nah ini dia!” “Hummhhh…..” “Harum memek Mbak Desi…” Hidung Dindung mengendus celana dalam kakaknya penuh kebanggaan. Diciumi aroma selangkangan kakaknya yang dikatakannya harum. Dihayati dan dibayangkan seolah-olah dia sedang menggerayangi tubuh kakaknya di dalam kamar mandi. Bukan hanya Dindung yang menaruh minat kepada celana dalam itu, burung kepunyaan Dindung nimbrung kepengen merasakan celah dalam celana dalam Mbak Desi, terutama yang bersentuhan langsung dengan vagina mbak desi. Disodorkan oleh Dindung ke arah leher Burungnya yang kembali ngacung berdiri. Diusap-usap hingga burung itu berdiri makin maksimal. “Orhh mbakk Dessi…” “Dindung entot memeknyaa yaaa…” “Anngett banget mbakk…” “Orhhh……..” Benak yang mengawang-ngawang, Dindung lupa kalau dia harus berangkat les dan segera menyudahi mandinya. Akan tetapi, Dindung malah memilih terjaga dengan tubuh terbalur busa dan menempel serpihan putih di sana-sini. Hasrat biologis melonjak. Burung kemaluan Dindung semakin tegang, semakin memerah. Ujung Kepalanya semakin keras. Dindung harus berpacu dengan waktu. Dia tidak bisa berlama-lama di dalam kamar mandi. “Dung! Buruan mandinya! Ini udah jam berapa inih!” “Iya sebentar lagi Maa!”, sahut Dindung dengan nafas mendengus.

BRUUK… BRRUUKKK…. BBBRUUKKK…., pintu berbahan papan kayu digedor-gedor. “Dung, tolongin ambilin ember yang isinya baju mbak Desi…” “Mama mau rendem pakaian kakak kamu….”, lagi-lagi Mama Dindung mengganggu keasyikan Dindung. “Aduh si Mama, sebentar Maa!”, jengkel Dindung mendengarnya. “Ayo Dung! Keluarin baju mbak Desi dulu” “Haddddooohhhhhh…. iyaaa!! Iya Maa!”, kembali dipanggil, Dindung akhirnya mengalah. Dia buru-buru melingkari tubuhnya dengan handuk. Kemudian ia membopong bakul yang dimaksud Mamanya dengan kedua tangan. Berat. Dindung sampai menahan nafas dan menaruh bakul itu terlebih dulu di lantai kamar mandi. Dindung membuka pintu. Dia lihat mamanya sudah berdiri menunggu di depan pintu kamar mandi. Dia tatap lagi tubuh semok mamanya yang masih terbelit kain jarit batik yang membungkus kencang. Dindung menduga mamanya sudah berganti pakaian usai menjemur kain di halaman belakang. Ternyata belum. “Inihh Maa…. beraat AWAAS….!!” “Iyaaaaa”, Mama Dindung menyerahterimakan. Akan tetapi ketika sudah berhasil kedua tangannya mencengkeram kuat dan hendak menggotong bakul pakaian anak sulungnya ke dapur, BBLLEEEETTT, kain batik yang membelit tubuhnya spontan terlepas, terbang jatuh ke dasar semen. Otomatis tubuh bugil Mama Dindung terekspose di hadapan putra kandungnya sendiri. Mama Dindung sontak berusaha sebisa mungkin menutupi tubuh bagian depannya seraya membalikkan badan. Dia berjongkok dan memungut kembali kain batik tersebut untuk dikenakan lagi. “WWUUUHH!”, tergugah Dindung membatin. Dindung yang mendapat rejeki durian runtuh, batinnya uring-uringan. Mulut hendak jatuh. Pura-pura mengalihkan mata, pinggul besar mamanya disorot tajam diam-diam. Apalagi Dindung jelas-jelas tadi melihat gunung kembar mamanya. Sayang hanya sebentar. Dia seakan mengingat-ngingat apa betul puting susu itu yang dihisapnya dulu. Puting Coklat muda dengan pentil yang rasanya ingin lagi Dindung cucup. “SUDAH SANA MANDI!”, bentak Mama Dindung. Dia kerepotan memakai jarit karena diperhatikan Dindung. “IYA MAAA!” BBBLLLAAAAKKKK, pintu kamar mandi diayunkan cepat sehingga membentur penyanggah besi. Setelah memindahkan bakul yang diminta mamanya, Dindung bisa konsenterasi dengan kebutuhan Burungnya. “NAHH!! CELANA DALAM MBAK DESI YANG INIH BIAR AKU PEGANG AJA DULU!” Celana dalam yang ditaruh di atas bak, dijadikan Dindung sebagai alat pemuas birahi. Ditempatkan untuk mengalasi Burung Dindung yang sedang dikocok-kocok oleh Tuannya. “Ohhh Mbak Dessii…” “Dindung entot memeknya…” “Goyaang dong mbaakk” “Biar kontol Dindung cepet NGECROOOTTT” Dindung mengap-mengap. Dia tak mau waktu tersita banyak. Cepat cairan kemaluan laki-lakinya terdorong ke ujung kepala burung kemaluan. Kocokan cepat lantas menumpahkan spermanya percis di celana dalam Mbak Desi. Terkumpul membuntal, dibiarkan menempel tanpa dicuci. Dia ronyok celana dalam Mbak Desi. Kemudian diletakkan celana dalam itu di atas Bak lagi. Dindung segera buru-buru mandi seakan Insaf mendadak. Digayungi air ke tubuh hingga sisa sabun luput. See You Next