PENANTI (racebannon)

 

PENANTI​
Penanti adalah soal sebuah penantian, menunggu, dan berharap. Kita selalu menunggu dan bergantung semata hanya kepada ekspektasi kita. Dan ketika menunggu, kita tak bisa berusaha untuk merubah hasil yang kita terima. Kita hanya bisa menerima. Penanti adalah sebuah cerita, tentang seni menunggu. Menunggu dia, menunggu siapapun, dan menunggu kamu yang diharapkan. Penanti adalah tentang Gilang, yang setia menanti Saras. Gilang menanti, dan berusaha hidup bersama Tara. Gilang adalah seorang pria berumur 30 tahun, yang menanti cinta sejatinya datang kembali ke Indonesia. Saras adalah seorang perempuan berumur 28 tahun, yang dinanti pulang oleh Gilang Tara adalah seorang perempuan berumur 30 tahun, yang bersama dengan Gilang, merintis sebuah usaha. Penanti adalah tentang mereka, mencoba menjadi sabar, dan menentukan arah mereka setelah penantian mereka.

PENANTI – PART 1

—————————— #GILANG – 1 Aku selalu suka kalau sehabis hujan. Baunya bau rumput. Baunya mengingatkanku pada zaman SMA dulu. Bau terakhir yang aku cium sebelum dia terbang. Biasanya bandara baunya tidak seperti itu. Tapi waktu itu aneh. Bau nya seperti bau hujan di taman.

Terlebih lagi ketika kamu jalan di tengah macetnya Jakarta. Selalu ada perasaan deg-degan di tengah macet sehabis hujan ini. Deg-degan karena aku selalu ingat hari itu. Hari itu hujan, rintik-rintik pelan. Tunggu aku di Jakarta, katanya. Aku pasti bakal balik lagi. Jujur, aku sudah lupa mukanya seperti apa. Muka yang terakhir kuingat adalah mukanya ketika masuk ke dalam bandara. Senyumnya tidak akan pernah bisa dilupakan. Dan terbang dia. Aku selalu menyangka suara pesawat yang terdengar setelah orang yang kita antarkan masuk ke dalam bandara adalah pesawat yang dia tumpangi. Pemikiran anak kecil. Tapi aku waktu itu membiarkan anak kecil yang tumbuh di dalam diriku bermain. Bermain dengan hujan dan rumput. Seperti aku dan dia waktu masih kecil. Bermain hujan, di tengah rumput, di halaman rumahnya. Dan selalu, akhirnya kami dimarahi oleh orang tuanya atau orang tuaku. Mungkin konyol, di zaman sosial media seperti sekarang, bisa lupa muka orang. Apalagi sekarang gampang sekali nyari muka teman sekolah zaman dahulu. Enak banget bisa liat gebetan zaman dulu kalo udah jadi ibu-ibu sekarang kayak gimana. Bisa tau siapa nikah sama siapa. Tapi aku cukup sabar. Cukup sabar, karena waktu SMA dulu belum zaman sosmed, dan dia pun menghilang begitu saja dari mataku. Sudah cukup sabar aku selama bertahun-tahun tidak melihat mukanya. Dan tidak sedikitpun aku penasaran untuk mencarinya di sosial media. Foto-foto yang muncul antara diriku dan dirinya cuma foto-foto dari zaman dahulu. Jaman SD. Jaman SMP. Jaman SMA. Aku mengenalnya sudah lama sekali. Dari aku lahir sepertinya aku sudah hapal dengan mukanya. Dia dua tahun lebih muda dari diriku. Dia sudah seperti adik buatku. Dia teman bermainku, teman masa kecilku, teman sekolahku, dan cinta pertamaku. Bukan. Bukan hanya cinta pertamaku. Dia sukses menjadikanku tidak tertarik kepada perempuan lain. Sekarang motor tuaku sudah parkir di tempat semestinya. Vespa kuno ini, peninggalan almarhum ayahku. Aku turun dari motorku, menyalakan rokok, menghisapnya dalam-dalam, dan tersenyum. Pukul 4 sore. Jam tangan digital yang sudah buluk, hadiah ulang tahun ke-17 ku dari almarhum ibuku melingkar dengan setia di tanganku, memperlihatkan waktu kepada diriku. “Nah itu dia penjahatnya datang” suara seorang perempuan yang menyambutku membuatku tersenyum makin lebar. “Gue perlu masak gak hari ini?” ——————————

“Mas, cheese burgernya dua lagi ya” teriak Asep di depan mukaku. “Sip” aku tersenyum kepadanya. Ya, ini aku, di dalam dapur. Tidak di dalam sebenarnya. Orang-orang bisa melihatku. Tempat di Kemang ini jadi hal yang terpenting dalam hidupku. Setelah kedua orang tuaku tidak ada, aku ditinggal sendiri dalam kebingungan. Bisa dibilang aku kehilangan pegangan. Pertama ibu. Kanker. Sudah habis uang keluarga kami, sudah habis semuanya. You name it. Mobil? dijual. Tanah di pinggir Jakarta? dijual. Motor? Habis semua kecuali satu. Dan tak lama setelah ibu meninggal, ayah tumbang. Dia selama ini menyembunyikan penyakitnya. Oh iya, dia pura-pura kuat. Dia pura-pura tidak memiliki penyumbatan pembuluh darah di jantung. Dia pura-pura sehat demi ibu. Apa yang lebih parah dari orang yang sakit? Yang lebih parah adalah orang yang pura-pura sehat. Dua pahlawan dalam hidupku tumbang, tidak menyisakan sepeser apapun untukku. Keluargaku yang tadinya benar-benar hangat, kini mendadak sepi. Aku cuma tinggal berdua dengan nenekku. Eyang putri kesayanganku. Dia sudah terlalu tua untuk mencari nafkah, jadi aku terpaksa menghentikan semua kegiatan kuliahku. Aku tidak sepintar itu untuk punya kesempatan mencari beasiswa. Tapi walaupun ada, duniaku sudah hancur. Aku merasa kuliah tidak penting lagi waktu itu. Waktuku dihabiskan dengan mencari cara apapun untuk bisa hidup. Aku harus memberi makan Eyang Putri, aku harus bisa bayar pajak bumi dan bangunan, bayar listrik, bayar PDAM, dan membayar apapun yang mesti dibayar. Kerja serabutan? Jangan ditanya lagi. Mulai dari operator warnet, penjaga clothing, jual beli motor bekas, jadi sales promotion boy, semua sudah kujalani sepertinya. Tapi untung, tidak lama setelah itu, ada kesempatan yang gila. Ini semua gara-gara Tara. Tara, dia juga tidak beres kuliahnya sama sepertiku. Tapi dia sepertinya lebih karena tidak nyaman dengan perkuliahan. Tara selalu senang mencari uang di luar kampus. Dan dia sepertinya nyaman dengan hidup seperti itu. Gadis berumur 30 tahun itu lah yang menjadi malaikat untuk diriku. Itu semua karena burger ayahku. Salah satu yang kurindukan dari ayah adalah, setiap weekend, ketika dia sedang libur dari pekerjaannya, dia selalu mengambil alih dapur. Dia senang sekali bereksperimen dengan masakan. Dan ada satu masakannya yang paling kusukai. Cheeseburger. Sederhana, tapi sangat enak. Racikan sausnya masih kuingat sampai sekarang. Suatu ketika, Tara sedang di rumah, dan aku memutuskan untuk memasakkan cheese burger tersebut untuk dirinya dan Eyang Putri. Waktu kuhidangkan ke Tara, dia langsung melotot. Dia bilang ini adalah cheese burger ternikmat yang pernah dia makan. Aku kaget. Karena selama ini memang tidak pernah ada orang di luar keluargaku yang pernah memakan makanan itu. Dan Tara bilang, kalau ini dijual, ini bisa laku. Aku mengangguk saja, dan membiarkan Tara mengatur semuanya. Dan sekarang, setelah bertahun-tahun lamanya, aku sudah sampai di titik ini sekarang. Aku bisa menafkahi nenekku dengan nyaman. Ekonomi kami berdua membaik dan aku sudah ada di tahap yang settle sekarang. Penghasilanku per bulannya bisa dibilang sama dengan pekerja kantoran di usia yang sama. Semuanya tenang. Semuanya senang. Dan ini usaha milikku sendiri. Aku tidak menjadi kaya karena usaha ini, tapi semuanya cukup buatku. Cukup untuk makan, cukup untuk mengisi bensin, cukup untuk bayar segala macam pajak dan semuanya cukup. Tidak lebih, tidak kurang. Semuanya pas. Tabungan ada, walau kecil. Tidak sampai berpuluh-puluh digit, tapi ada. Dan aku bangga pada diriku sendiri, walaupun aku putus kuliah dan sempat bingung hidup mau dibawa ke mana, berdua dengan Tara, aku bisa menjadikan burger bar ini sebagai tempat yang menjadi kebanggaanku. Dan aku bisa mengenang ayahku dengan resep cheese burgernya, aku bisa merasakan dirinya ada di dalam diriku setiap kali aku mendengar suara daging berdesis di penggorengan. Setiap bau harum daging terbakar, aku bisa merasakan parfum ibuku. Setiap potongan sayuran yang segar, aku bisa mengingat lagi semua obrolan-obrolan menyenangkan di saat keluargaku masih lengkap. Ayah, Ibu, dan Eyang Putri. Semuanya menyenangkan, dan menjadi penyemangat diriku di balik dapur ini. Sebagai salah satu owner tempat ini, tentu aku tidak wajib berada di dalam dapur, memasak. Aku biasanya hanya memonitor dari luar, bersama dengan Tara mengatur agar tempat ini tetap berjalan dengan baik. Tetapi, karena aku selalu rindu keluargaku, aku sangat senang berada di dalam dapur. Kalau bisa, aku selalu ingin memasak. Itu caraku untuk mengobati rasa kangen pada Ayah dan Ibu. Dan satu lagi, kalau sudah tengah malam begini, biasanya ada teman atau kenalan yang mampir. Dan mereka biasanya ingin aku saja yang memasak. “Gue telat gak?” suara yang familiar mengagetkanku. “Eh Zul” tawaku sambil mengintip dari balik separator yang memisahkan antara dunia memasakku dan dunia luar. Benar kan? Zul, temanku yang memiliki coffee shop di Kemang juga, mampir setelah dia beres dari urusan per kopiannya. “Gue bungkusin dong dua” “Buat bini juga?” “Halo Gilang” “Loh ada Ai juga di sini rupanya? Baru pada balik dari Mitaka?” tanyaku dengan ramah. “Iya..” jawab Ai yang ikut suaminya, mengintip ke dapur. “Apa kabar kalian?” “Baik… elo?” “Baik, kalo gak baik, gak bisa masakin cemilan tengah malam kalian” “Hehehehe….” tawa Ai dengan lucunya. “Gue nunggu di depan ya… Awas jangan biarin laki gue masuk dapur, bisa rusak masakan lo nanti rasanya” senyum perempuan manis itu. “Sialan” “Setelah bertahun-tahun lo punya coffee shop, tetep aja lo gak bisa masak ya Zul” candaku. “Masak itu susah” “Untung sekarang ada Kyoko ya di Mitaka?” “Ah, kalo soal masak mah dia jagonya, tapi kalo buat urusan burger, elo juaranya Lang” “Bisa aja Mas Zul ini ngegombal, mentang-mentang baru jadi penganten baru” lanjutku. “Sembarangan hahahaha” “Zul, jangan gangguin Gilang dong” tegur Tara yang tiba-tiba muncul di dapur. “eh Bu Tara” Tara muncul. Tampangnya tidak terlihat seperti berusia hampir 30 tahunan. Dia terlihat seperti masih berumur 20an awal. Badannya ramping, tingginya rata-rata perempuan indonesia lah. Rambutnya selalu pendek. Malam ini dia memakai jeans dan atasan bermotif floral. Mukanya terlihat begitu kekanak-kanakan, tapi dia jago sekali masalah duit duitan. “Mana barang titipan gue?” tanya Tara. “Ini” Zul melempar sebuah kantong plastik bening ke arah Tara. Tara menangkapnya dan dia membuka plastiknya. Dia memamerkan isinya kepadaku. “Taraaaa” “Ngapain lo nyebut nama lo sendiri?” tawaku. “Hahahaha” dia menunjukkan t-shirt hitam dengan tulisan HANTAMAN besar-besar di depannya. “Emang masih jaman pake kaos band indie?” “Masih dong, kan gue beli ini… suport band kakak iparnya Zul dong ah…” “Makasih yak” “Sama-sama Zul…. Nah gitu dong jadi mantan pacar, bisa jadi middle man beliin kaos nya Hantaman hahahaha” tawa Tara. “Apa sih” Zul terdengar sewot. Ya, Tara pernah pacaran sama Zul. But It didn’t work out. Sama sekali gak berjalan. Jam tidur mereka beda. Tara baru bangun siang, tidur subuh. Aku juga begitu. Sementara Zul biasa bangun pagi. Dan Zul serta Tara, hampir tidak mengenal hari libur. Sama sepertiku. Kegiatanku setiap hari seperti ini, pulang selalu hampir subuh. Setelah sampai rumah, lalu aku masak, memasakkan makanan untuk Eyang Putri hari itu. Setelah masak aku mandi dan tidur. Lalu setelah cukup tidur, sekitar jam 2-3 siang aku bangun. Setelah mandi, aku berangkat ke tempat ini lagi, untuk bekerja, memonitor tempat yang jadi sumber penghasilanku ini dan sekali-kali memasak ketika ingin, atau masak untuk teman dan kenalan. Begitu terus. Diulang saja terus menerus. Tanpa hari libur kecuali hari senin atau hari-hari besar seperti lebaran. Capek? tidak. Ini caranya aku bertahan. Bertahan untuk terus bernapas. No time for woman. Gak ada sama sekali. Kecuali untuk besok. Aku sudah mempersiapkan ketidakhadiranku di tempat ini besok. Aku sudah menyiapkan batch untuk dimasak para pegawai kami besok. Besok, penantianku akan berakhir. Dan penantian ini akan memuaskan dahagaku selama bertahun-tahun. 12 tahun lebih mungkin. Entah mukanya sekarang seperti apa. Tapi pasti tidak berkurang cantiknya. Dan tanpa sadar, aku tersenyum. —————————— —————————— ——————————

Jam 3 pagi. Beres-beres di burger bar kami sudah selesai. Aku duduk di kursi tamu, sambil merokok dengan puas, sambil melihat papan nama burger bar kami yang terpampang begitu jelasnya. RED COMET BURGER. 3 TIMES TASTIER THAN ORDINARY BURGER. Tara berjalan pelan ke arahku sambil tersenyum. Dia habis dari parkiran, mungkin habis mengobrol dengan para pelayan yang pamit pulang. “Gimana malam ini?” “Lumayan sukses” senyum Tara. Dia mengeluarkan handphonenya dan dia memutar sebuah lagu. “BURUNG BERWARNA PERAK, KENARI, TERBANG TERBANG SEPERTI, KUDAAAAAAAAA” kaget aku. Lagu rock dengan intensitas tinggi itu langsung membahana dari handphone Tara. Musik rock kencang tanpa suara bass. Dan lirik yang ngaco. “Frank’s Chamber?” tanyaku. “Iyah… Lagu barunya mereka ini” Tara mengambil rokokku dengan sigap dan membakarnya. “Woi malak!” “Hahaha” dia lalu melihat ke botol di depan mejaku dan langsung bergumam. “Gilang, sampe sekarang udah ngambil tiga botol bir minggu ini, ntar gue potong lagi nih penghasilan lo bulan ini….” “Cuma bir ini lah, sekali ini lolosin aja” senyumku. “Cuma… Bir juga pake duit belinya” bantahnya. “Eh tapi si Zul berani juga ya suka ngajak bini ke sini” aku menggoda Tara, dengan statusnya sebagai mantan pacar Zul. “Lah, kan gue udah ga ada apa-apa lagi sama Zul” “Berarti dia gak tau dong kalo elo pernah pacaran sama Zul?” “Ga tau kayaknya… Lagian pacaran apaan sih, cuma status doang, jalan aja susah dulu, gak ngapa-ngapain juga, ga bisa lah ngapa-ngapain, lo tahu hidup gue gimana, hidup Zul gimana?” “Panjang amat jawabnya Bu” tawaku. “Panjang lah, hahaha… Eh, ngomong-ngomong mantan, elo gimana besok?” “Besok? Gue ke rumahnya” jawabku. “Lagian dia bukan mantan kan, kita gak pernah officially jadi pacar” “Ah, pokoknya itu lah ya…. Gak ke bandara jemputnya?” “Bokap nyokapnya aja yang jemput” “Elo pas dia udah di rumah?” “Iya” “Gimana perasaan lo ketemu dia lagi?” “Gak tau, deg-degan banget yang pasti…. 12 tahun….” “Gila ya” “Gila, gue harap mukanya masih sama kayak dulu” “Lo hebat banget ya bisa gak ngepoin cewek itu” “Hahaha…. Susah tapi…” “Tapi hebat, bisa tahan gak pacaran 12 tahun demi cewek ini, gue jadi pengen ketemu, kayak apa sih orang ini haha…” “Dia…. Segalanya lah” senyumku. “Lo dulu pake putus gak sih pas dia pergi dari Indonesia?” “Ngapain pake putus, jadian aja enggak” senyumku. “Rasanya manis banget pasti ya, kenal dari kecil gitu….” “Dan gue gak pernah lupa janjinya…. Dia pasti gak bakal lupa juga” Gilang, suatu hari nanti aku bakal pulang ke Indonesia, kita bakal ketemu lagi, dan kita bakal jadi suami istri. Suami istri seperti zaman kita TK dulu main rumah-rumahan. Zaman aku jadiin boneka beruangku jadi anak kita. Aku janji, Gilang. Itu ucapan terakhirnya uamg paling kuingat sebelum dia berangkat. Dan aku benar-benar tidak sabar untuk besok. Besok aku akan bertemu dengannya lagi. Teman masa kecilku, satu TK, satu SD, satu SMP, satu SMA, cinta pertamaku dan satu-satunya perempuan yang pernah kucium. Walaupun itu hanya ciuman singkat khas anak SMA. Ciuman tolol dua orang anak remaja yang dimabuk cinta. Besok, aku akan bertemu dengan Saras lagi. ——————————

BERSAMBUNG